Dalam pertarungan narasi, suara kekuatan tengah tak kalah. Namun, dalam pertarungan politik nyata, elite politik yang memenangi pertarungan karena kekuasaan ada padanya.Jalan kompromi dilakukan. Pilkada pun dijalankan.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Pilkada serentak 9 Desember 2020 membelah narasi bangsa. Oligarki politik (pemerintah dan DPR) dan penyelenggara pemilihan satu bahasa: pilkada harus dijalankan. Agenda politik bangsa harus diamankan. Hak memilih dan dipilih jadi landasan argumentasi.
Kekuatan tengah yang diwakili Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Komnas HAM, dan kelompok sipil mengingatkan pemerintah agar hati-hati dan menyarankan pilkada ditunda sambil menunggu pandemi terkontrol. Pilkada di tengah pandemi berisiko. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
Realitas politik mengatakan, suara kekuatan tengah itu diabaikan. Elite bergeming. Dalam pertarungan narasi, suara kekuatan tengah tak kalah. Namun, dalam pertarungan politik nyata, elite politik yang memenangi pertarungan karena kekuasaan ada padanya. Jalan kompromi dilakukan. Pilkada dijalankan dengan protokol kesehatan ketat. Dalam peraturan KPU yang diperbarui selalu muncul ketentuan dengan memperhatikan protokol kesehatan. Implementasinya yang harus ditunggu.
Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020, pembaruan dari PKPU terkait tahapan pilkada di tengah pandemi Covid-19, masih membolehkan pertemuan terbatas maksimal 50 orang. Bagi Mohammad Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer, ”Seharusnya tidak boleh ada kerumunan massa. Situasi itu tetap membahayakan.” Dalam hitungan Qodari, akan ada 975.540 titik kerumunan pada masa kampanye 71 hari: 26 September hingga 5 Desember.
Dengan jumlah maksimal massa yang boleh hadir 50 orang akan ada potensi kerumunan 48,7 juta orang. Pada saat pemungutan suara akan ada potensi titik kerumunan di 305.000 TPS yang bisa melibatkan sekitar 82 juta orang dengan asumsi partisipasi 77 persen.
”Seharusnya, Presiden mengeluarkan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) yang melarang kampanye tatap muka,” tulis Qodari dalam pesannya kepada saya.
”Seharusnya, Presiden mengeluarkan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) yang melarang kampanye tatap muka”
Dalam Sidang Tahunan MPR 16 Agustus 2020, Presiden Joko Widodo berpidato. Pidatonya bagus. Presiden mengajak bangsa Indonesia membajak krisis akibat pandemi. Pidato itu mengingatkan apa yang dikatakan Arnold Joseph Toynbee; challenge and response.
Begitulah seharusnya pilkada serentak dijalankan. Harus ada respons. Pandemi Covid-19 meluluhlantakkan semuanya. Cara kerja berubah. Pandemi mengubah model kerja, dari kerja di kantor (work from office) menjadi
kerja dari rumah (work from home). Beribadah bisa dari rumah. Pertemuan massa berubah jadi pertemuan virtual dengan bantuan teknologi.
Jika pemerintah bisa memaksakan kerja di rumah, mengapa tak memanfaatkan pola serupa untuk menyaksikan calon kepala daerah menjual gagasan dari rumah melalui internet, memberikan suara dari rumah (vote from home), dan menghitung perolehan suara pilkada dari rumah (count from home). Terobosan itu seperti upaya membajak krisis akibat pandemi Covid-19 di bidang politik.
Presiden Jokowi dengan gaya kepemimpinan yang mengajak pembantunya berpikir tak linier seharusnya bisa mengambil keputusan politik e-voting di bidang pemilu. Karya itu akan jadi legacy Presiden Jokowi selain legacy di bidang infrastruktur yang sudah jadi.
Peluang e-voting telah dibuka dengan putusan Mahkamah Konstitusi 30 Maret 2010. Ketua MK Mahfud MD—kini Menko Polhukam—pernah menyatakan e-voting adalah konstitusional bersyarat.
Gugatan uji materi itu diajukan Bupati Jembrana Prof Dr I Gede Winasa yang menguji materi pasal di UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bupati menguji pasal untuk kepentingan e-voting pemilihan kepala desa. MK mengatakan e-voting bisa diterapkan sejauh tidak melanggar asas jujur dan adil, serta daerah siap melaksanakan, baik dari sisi teknologi maupun sumber daya manusia. MK menafsirkan memberikan suara tak harus diartikan sebagai mencoblos atau mencetak, tetapi juga menyentuh layar sentuh dengan platform teknologi.
E-voting sudah diterapkan dalam pemilihan kepala desa di sejumlah daerah, termasuk Desa Mendoyo, Jembrana (30 Juli 2013), Kabupaten Bantaeng (2014), dan Boyolali (2013). Pemilihan kepala desa melalui e-voting bisa jadi embrio. Memilih dari rumah di pilkada serentak bisa dilakukan sebelum menuju pemilu nasional.
Catatan Kompas, sepanjang November-Desember 2009 sebanyak 31 banjar/dusun di 18 desa melakukan e-voting. Pemberian suara tak dilakukan dengan mencoblos, tetapi cukup menyentuh atau menekan gambar calon di layar komputer. ”Tidak repot membuka kertas, lalu membaca semua tulisan. Kalau ini, tinggal colek, selesai,” kata I Nengah Suwela, warga Dusun Terusan, Kelurahan Lelateng, Jembrana, Jumat (9/4/2010).
"Dengan e-voting, pemilu menjadi lebih hemat dan penghitungan suara bisa lebih cepat. Namun, kendalanya ada. Kesiapan politisi yang mungkin belum percaya dengan teknologi. E-voting akan memangkas anggaran kertas suara, anggaran tinta pemilu, dan anggaran kotak suara. Itu semua adalah bisnis"
Dengan e-voting, pemilu menjadi lebih hemat dan penghitungan suara bisa lebih cepat. Namun, kendalanya ada. Kesiapan politisi yang mungkin belum percaya dengan teknologi. E-voting akan memangkas anggaran kertas suara, anggaran tinta pemilu, dan anggaran kotak suara. Itu semua adalah bisnis. Karena bisnis pemilu inilah, e-voting menghadapi resistensi.
Apakah e-voting bisa diterapkan 9 Desember 2020? Secara teoretis mungkin saja dilakukan di daerah yang siap. Di Solo, Surabaya, Medan misalnya, e-voting mungkin bisa dicoba. Namun, butuh aturan hukum. Butuh komitmen politik dan kesiapan masyarakat.
E-voting boleh jadi menjadi perwujudan retorika Presiden Jokowi membajak krisis. Itu adalah loncatan dan revolusi di bidang kepemiluan. Jika gagasan Mohammad Hatta soal koperasi bisa dimodernisasi melalui equity crowd funding (urun dana), jika sistem pendidikan direformasi dengan distance learning, mengapa pemilu tak juga direformasi menjadi e-voting?