Kampanye Pilkada Masih Cenderung Berbentuk Pertemuan Tatap Muka
Bawaslu menemukan ada pelanggaran protokol kesehatan di 35 kabupaten/kota yang menggelar pilkada. Pelanggaran terjadi ketika pasangan calon menggelar pertemuan tatap muka terbatas.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu masih menemukan pelanggaran protokol kesehatan terjadi dalam bentuk kampanye tatap muka terbatas. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah masih cenderung menggunakan metode konvensional dalam berkomunikasi dengan pemilih.
Ketua Bawaslu Abhan memaparkan, terjadi pelanggaran protokol kesehatan di 35 kabupaten/kota dalam rentang 26-30 September 2020. Pelanggaran terjadi ketika paslon menggelar pertemuan tatap muka. Hal itu, antara lain, disebabkan peserta melebihi kapasitas, jarak duduk tak diatur, serta masih banyak orang tak menggunakan masker.
”Memang kecenderungannya pasangan calon dan tim kampanye masih menggunakan metode konvensional, seperti pertemuan tatap muka. Mungkin itu dipandang bentuk ideal dalam berkomunikasi dengan publik. Ini masih menjadi persoalan. Kami mendorong pertemuan daring, tetapi ternyata di jajaran masyarakat kelas menengah dan bawah hal ini barangkali tidak familiar,” ujarnya, Kamis (1/10/2020), dalam diskusi daring bertajuk ”Menyongsong Pilkada Serentak 2020, Tertib Protokol Kesehatan atau Kami Tindak!”.
Diskusi turut dihadiri Asisten Operasi Kapolri Inspektur Jenderal Imam Sugianto, Pelaksana Harian Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra, dan senior medical lecturer di Universitas Sebelas Maret, Solo, Weka Gunawan.
Pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka serta dialog diatur dalam Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2020. Jumlah peserta maksimal 50 orang, jarak tempat duduk paling tidak satu meter. Namun dalam praktiknya, menurut Abhan, sejumlah paslon melanggar aturan ini.
Untuk itu, lanjutnya, kelompok kerja (Pokja) pencegahan pelanggaran protokol kesehatan selama pilkada akan mengevaluasi tahapan kampanye, Senin (5/10/2020) mendatang. Evaluasi menitikberatkan pada pengawasan selama kampanye untuk menghindari kluster Covid-19 pilkada.
Pilkada yang berlangsung di tengah wabah membuat pengawasan tak hanya berkait dengan elektoral, tetapi juga nonelektoral seperti protokol kesehatan. Kedua-duanya, menurut Abhan sama pentingnya. Dalam pengawasan protokol kesehatan, Bawaslu dibantu aparat penegak hukum yang tergabung dalam Pokja pencegahan pelanggaran protokol kesehatan selama pilkada.
Bawaslu, katanya, menindak dengan memberikan sanksi administratif. Sanksi administratif itu antara lain surat peringatan, pembubaran kegiatan, hingga pengurangan waktu kampanye. Sementara aparat penegak hukum menindak pelanggar dengan undang-undang pidana. ”Koordinasi antarlembaga menjadi sangat penting untuk mencegah pelanggaran protokol kesehatan,” katanya.
Imam Sugianto menjelaskan, catatan pelanggaran protokol kesehatan oleh Bawaslu menjadi catatan Polri. Jajaran reserse di lapangan sudah dibekali berbagai instrumen hukum untuk menindak pelanggar. Jika Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) menilai sebuah pelanggaran tak tergolong pidana pemilu, Polri akan menindak dengan undang-undang pidana lainnya.
Adapun instrumen hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan; serta Pasal 212, 216, 218 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
“Penetapan Wakil Ketua DPRD Kota Tegal Wasmad Edi Susilo sebagai tersangka karena menggelar protokol kesehatan di tengah pandemi sebagai publikasi bahwa jangan main-main dan melanggar protokol kesehatan. Siapa pun akan kami tindak,” ujarnya.
Selain menjaga protokol kesehatan, memastikan warga datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) tak kalah penting. Iham Saputra memastikan TPS aman untuk pemilih. Saat ini, KPU sedang menyiapkan draf perubahan PKPU tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara untuk dibahas bersama pemerintah dan DPR.
Adapun poin perubahan antara lain jam kedatangan pemilih diatur, suhu tubuh pemilih diukur. Selain itu, ada pula kamar khusus bagi pemilih yang suhunya melebih 37 derajat celcius. Kemudian, pemilih tidak lagi mencelupkan jari ke tinta. Petugas akan meneteskan tinta ke pemilih agar tinta pemilu tak menjadi medium penularan.
Selain itu, pemilih juga menggunakan masker dan sarung tangan sekali pakai. Ruangan akan disemprot dengan cairan disinfektan secara berkala.
Dalam semulasi yang dilakukan KPU, waktu pemungutan suara dari jam 07.00-13.00 tak cukup bila jumlah pemilih di satu TPS melebih 400 orang. Terkait hal ini, butuh terobosan hukum untuk memperpanjang waktu pemungutan suara.
Weka Gunawan menambahkan, pertemuan dalam ruangan harus memperhatikan sirkulasi udara. Disinfeksi pun harus rutin dilakukan. Ketika kampanye, paslon yang bertemu langsung dengan pemilih sedapat mungkin bertemu di ruang terbuka. Ini untuk mengurangi risiko penularan.
”Semua protokol yang sudah diatur harus dipatuhi agar kita selamat dari Covid-19,” katanya.