Meski sukses dalam dua penangkapan terakhir, KPK masih dibayangi problem internal kelembagaan dan masalah independensi pascarevisi UU KPK. Persoalan tersebut perlu segera dicarikan jalan keluar.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi baru-baru ini diapresiasi masyarakat. Penindakan hukum masih berdenyut meski kewenangan KPK dibatasi pascarevisi Undang-Undang KPK. Masyarakat sipil berharap independensi KPK dikembalikan agar kinerja pemberantasan korupsi semakin kuat.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Oce Madril dalam diskusi ”Evaluasi dan Prospek Hukum dan Demokrasi: Mungkinkah KPK Bangkit Kembali?”, Minggu (29/11/2020), mengatakan, dua penangkapan terakhir, yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Wali Kota Cimahi, Jawa Barat, Ajay Muhammad Priatna, merupakan capaian luar biasa di tengah keterbatasan pascarevisi UU KPK. Dalam setahun terakhir, dua kasus ini menjadi tangkapan besar bagi KPK. Kasus besar lainnya yang berhasil dikerjakan KPK adalah menangkap mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiono.
Dua penangkapan terakhir, yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Wali Kota Cimahi, Jawa Barat, Ajay Muhammad Priatna, merupakan capaian luar biasa di tengah keterbatasan pascarevisi UU KPK.
Hal itu merupakan capaian luar biasa KPK di tengah skeptisisme publik terhadap KPK. Namun, di luar itu, masih banyak pula kasus korupsi yang belum terselesaikan. Contohnya, kasus korupsi calon anggota legislatif dari PDI-P, Harun Masiku. Sampai sekarang Harun menjadi buron sehingga kasus masih menyisakan tanda tanya besar.
”Setelah revisi UU KPK, kewenangan KPK banyak yang dibatasi. Seperti soal penyadapan yang harus seizin Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Di sisi lain, Dewas mengklaim mereka tidak pernah menghambat izin penyadapan. Namun, hasilnya (operasi tangkap tangan) masih sedikit tahun ini,” ujar Oce.
Selain Oce, narasumber lain dalam acara tersebut adalah peneliti senior Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Malik Ruslan, dan Direktur Pusat Demokrasi dan Media LP3ES Wijayanto.
Melihat kinerja KPK akhir-akhir ini, Oce mengatakan, masih terlalu dini untuk melihat apakah KPK bisa kembali bertaji seperti dulu. Sebab, revisi UU KPK sangat berpengaruh pada KPK secara kelembagaan. Kewenangan di bidang penindakan, misalnya, banyak dibatasi dengan aturan baru, di antaranya tentang penyadapan. Penyadapan yang kerap menjadi pintu masuk OTT harus dilakukan seizin Dewas KPK.
Setelah revisi UU KPK, tetap saja bagi kami pegiat antikorupsi, KPK masih ada masalah di bidang kelembagaan. Jika tidak diperbaiki, ini akan berpengaruh secara jangka panjang dan memengaruhi kerja-kerja pemberantasan korupsi. (Oce Madril)
Di luar itu, KPK juga mengalami problem internal, yaitu status kepegawaian berubah menjadi aparatur sipil negara (ASN). Perubahan status kepegawaian itu membuat satu per satu pegawai KPK mengundurkan diri. Total ada 31 pegawai KPK yang mengundurkan diri hingga September. Sampai sekarang pun belum ada solusi dari masalah kepegawaian ini. Dengan segala keterbatasan yang ada, penyidik berintegritas di KPK memang bisa mengungkap kasus korupsi. Namun, apakah selamanya publik hanya akan mengandalkan pada sosok berintegritas itu. Tentunya masyarakat berharap ada sistem yang mendukung upaya pemberantasan korupsi.
”Setelah revisi UU KPK, tetap saja bagi kami pegiat antikorupsi, KPK masih ada masalah di bidang kelembagaan. Jika tidak diperbaiki, ini akan berpengaruh secara jangka panjang dan memengaruhi kerja-kerja pemberantasan korupsi,” kata Oce.
Di luar tangkapan kemarin, Oce juga mengatakan, masih ada sejumlah kasus besar dan strategis yang menumpuk dan menunggu untuk diungkap oleh KPK. Kasus Harun Masiku, supervisi kasus suap dan gratifikasi buronan Joko S Tjandra, beberapa di antaranya. Publik berharap KPK juga akan mengungkap kasus tersebut.
Terlalu sedikit
Direktur Pusat Demokrasi dan Media LP3ES Wijayanto mengatakan, dua pengungkapan kasus korupsi terakhir memang memberikan secercah harapan bagi pemberantasan korupsi. Namun, jika dilihat secara akumulasi, sebenarnya penindakan yang dilakukan KPK tahun ini terlalu sedikit. Dengan demikian, mau tidak mau, publik pasti akan membandingkan antara pengungkapan kasus terakhir dan kasus lain yang ditangani KPK. Publik akan membandingkan kasus korupsi Edhy Prabowo dengan Harun Masiku.
Untuk meyakinkan publik, bahwa semangat penindakan itu ada dan tidak tebang pilih, KPK memang masih harus membuktikan kinerjanya. KPK harus membuktikan bahwa OTT masih bisa dilakukan tanpa pandang bulu.
Untuk meyakinkan publik, bahwa semangat penindakan itu ada dan tidak tebang pilih, KPK memang masih harus membuktikan kinerjanya. KPK harus membuktikan bahwa OTT masih bisa dilakukan tanpa pandang bulu. KPK juga harus membuktikan produktivitasnya dalam penindakan kasus korupsi. Jika tidak, anggapan bahwa penindakan KPK mengikuti selera eksekutif akan mengemuka di masyarakat.
”Masyarakat sipil memberikan apresiasi terhadap kinerja KPK, tetapi kami juga mengingatkan bahwa masih banyak masalah yang dihadapi KPK pascarevisi UU KPK ini yang membuat penindakan masih sangat kurang,” kata Wijayanto.
Ancaman kelembagaan
Sementara itu, Peneliti Senior LP3ES Malik Ruslan menuturkan, revisi UU KPK tetap menjadi ganjalan bagi KPK untuk kembali menjadi lembaga antirasuah independen. Menurut dia, Pasal 3 UU No 19/2019 menempatkan KPK di rumpun kekuasaan eksekutif. Ini akan sangat memengaruhi independensi KPK. Sebab, akan muncul anggapan bahwa siapa yang menguasai eksekutif akan mengendalikan KPK.
”Jika ini berlanjut, masa depan KPK akan bermasalah. Sebab, pemberantasan korupsi di KPK akan dipengaruhi oleh selera penguasa, bukan sesuai dengan kehendak publik,” kata Malik.
Jika KPK sampai mengikuti selera elite politik dalam pemberantasan korupsi, KPK akan terjerumus dalam narasi politik koalisi-oposisi. Ini akan membuat KPK mati secara institusi meskipun semangat antikorupsinya masih ada. (Malik Ruslan)
Malik membandingkan, penangkapan Edhy Prabowo dan Ajay Muhammad Priatna bisa dibilang lancar dan sukses. Namun, mengapa buronan dalam kasus suap lain, yaitu Harun Masiku, seolah sulit diungkap. Jika kasus tersebut tidak segera dituntaskan, lama-lama bisa menimbulkan kesan bahwa KPK dianggap tebang pilih dalam penegakan hukum.
”Jika KPK sampai mengikuti selera elite politik dalam pemberantasan korupsi, KPK akan terjerumus dalam narasi politik koalisi-oposisi. Ini akan membuat KPK mati secara institusi meskipun semangat antikorupsinya masih ada,” kata Malik.
Melihat fenomena tersebut, Malik merekomendasikan sejumlah hal agar KPK kembali menjadi lembaga independen, sesuai cita-cita reformasi. Pertama, posisi strategis di KPK harus diduduki oleh elemen masyarakat sipil. KPK yang dikuasi oleh unsur tertentu, misalnya Polri, hanya akan memunculkan skeptisisme publik. Kedua, upaya pencegahan dan penindakan harus berjalan dengan simultan. Jangan sampai, KPK terkesan lebih berat pada aspek pencegahan saja. Padahal, aspek penindakan sangat penting untuk menciptakan efek jera.
”Ini bisa dilakukan apabila ada inisiatif untuk merevisi UU No 19/2019. Melalui revisi itu, harapan masyarakat, KPK bisa dikembalikan sebagai lembaga antikorupsi yang independen,” kata Malik.