Pemerintah Didesak Bentuk Tim Independen Pencari Fakta
Presiden Jokowi diminta membentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki kasus penembakan enam anggota FPI. Koalisi Masyarakat Sipil menduga telah terjadi ”extrajudicial killing” dalam kasus tersebut.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai kelompok masyarakat sipil menuding terjadi extrajudicial killing, pembunuhan di luar putusan pengadilan, dalam kasus tewasnya enam anggota Front Pembela Islam atau FPI. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo diminta untuk membentuk tim independen pencari fakta terkait tewasnya enam anggota FPI tersebut.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas 20 LSM juga mendesak pemerintah untuk membentuk tim independen yang melibatkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Ombudsman RI untuk menyelidiki dengan serius tindakan penembakan dari aparat kepolisian dalam peristiwa tersebut. ”Setiap tindakan yang diambil oleh aparat kepolisian haruslah sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku serta dapat dipertanggungjawabkan,” kata Nelson Simamora dari LBH Jakarta, Selasa (8/12/2020).
Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Human Rights Working Group (HRWG), Institut Perempuan, LBH Masyarakat, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LEIP), Kontras, Setara Institute, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Elsam, Amnesty International Indonesia, Public Virtue Institute, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), PIL-Net, Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Asosiasi LBH APIK Indonesia, Imparsial, dan LBH Pers.
Kejanggalan-kejanggalan ini yang harus diusut karena diduga kuat terdapat pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas peradilan yang adil dan hak hidup warga negara.
Koalisi menilai ada kejanggalan dalam peristiwa ini. Kejanggalan-kejanggalan ini yang harus diusut karena diduga kuat terdapat pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas peradilan yang adil dan hak hidup warga negara. ”Konstitusi RI menjamin setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia harus diajukan ke pengadilan dan dihukum melalui proses yang adil dan transparan,” kata Nelson.
Koalisi khawatir tindakan brutal seperti ini tidak mendapatkan sanksi. Selama ini, hampir tak ada penegakan hukum sungguh-sungguh terhadap tindakan unlawful killing ataupun extrajudicial killing yang diduga kuat dilakukan oleh aparat. Akibatnya, kasus-kasus serupa terus berulang.
YLBHI mencatat sedikitnya 67 orang meninggal pada 2019. Berkaca pada kasus-kasus pada tahun tersebut, mayoritas pelaku adalah aparat kepolisian, yaitu 98,5 persen atau 66 kasus, dan sisanya satu kasus terindikasi militer.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil meminta penyelidikan yang serius, transparan, dan akuntabel terhadap penembakan oleh aparat kepolisian yang menyebabkan enam orang meninggal. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga didesak untuk memberikan perlindungan terhadap saksi, yang keterangannya sangat diperlukan untuk membuat terang perkara ini.
YLBHI mencatat, sedikitnya 67 orang meninggal pada 2019. Berkaca pada kasus-kasus pada tahun tersebut, mayoritas pelaku adalah aparat kepolisian, yaitu 98,5 persen atau 66 kasus, dan sisanya satu kasus terindikasi militer.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan, pembunuhan di luar putusan pengadilan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap orang-orang yang diduga terlibat kejahatan merupakan pelanggaran hukum acara pidana yang serius. Orang–orang yang diduga terlibat kejahatan mempunyai hak untuk dibawa ke persidangan dan mendapatkan peradilan yang adil. Hak-hak tersebut jelas tidak akan terpenuhi apabila para tersangka ”dihilangkan nyawanya” sebelum proses peradilan dapat dimulai.
Walau tidak menampik bahwa anggota Polri juga harus dilindungi, Erasmus mengatakan, penggunaan senjata api harus merupakan upaya terakhir. Penggunaan senjata api itu juga seharusnya untuk melumpuhkan, bukan mematikan. ”ICJR meminta agar dilakukan penyelidikan serius terhadap penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Peristiwa ini harus diusut secara transparan dan akuntabel,” katanya.
ICJR mendorong agar dilakukan investigasi atas penembakan itu bukan hanya oleh pihak internal Polri. ICJR meminta agar pihak-pihak di luar Polri, seperti Komisi Kepolisian Nasional, Komnas HAM, dan Ombudsman RI, untuk menyelidiki dengan serius tindakan penembakan oleh aparat kepolisian dalam peristiwa tersebut.
”Setiap tindakan yang diambil oleh aparat kepolisian haruslah sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku serta dapat dipertanggungjawabkan,” kata Erasmus.
Fatia Maulidiyanti sebagai Koordinator Badan Pekerja Kontras juga menilai penembakan itu sebagai bentuk pelanggaran prinsip fair trial atau peradilan yang jujur dan adil. Prinsip fair trial dalam peristiwa ini pun memuat jaminan perlindungan hak asasi manusia serta asas praduga tidak bersalah. Fatia menyoroti keterangan yang berbeda antara Polri dan FPI terkait tewasnya enam orang tersebut.
”Kendati demikian, penembakan yang dilakukan terhadap enam orang itu tidak dapat dibenarkan,” ujarnya.
Ia mengatakan, dalam pemantauan Kontras, selama tiga bulan terakhir terdapat 29 peristiwa extrajudicial killing atau pembunuhan di luar proses hukum yang mengakibatkan 34 orang tewas. Polisi menggunakan berbagai alasan tanpa bisa diusut secara transparan dan akuntabel.
Dalam konteks kematian enam orang yang sedang mendampingi Rizieq Shihab, anggota kepolisian dinilai sewenang-wenang dalam penggunaan senjata api karena tidak diiringi dengan membuka akses seterang-terangnya dengan memonopoli informasi penyebab peristiwa tersebut. ”Kami mengindikasikan adanya praktik extrajudicial killing atau unlawful killing dalam peristiwa tersebut,” kata Fatia.
Selain meminta Kapolri melakukan pemeriksaan internal, berbagai pihak di luar Polri diminta untuk melakukan investigasi. Komnas HAM dan Kompolnas secara independen harus melakukan pemantauan langsung dan mendalam terhadap peristiwa penembakan ini.
Oleh karena itu, selain meminta Kapolri melakukan pemeriksaan internal, berbagai pihak di luar Polri diminta untuk melakukan investigasi. Komnas HAM dan Kompolnas secara independen harus melakukan pemantauan langsung dan mendalam terhadap peristiwa penembakan ini. Kedua lembaga itu harus memastikan bahwa rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan nantinya akan memiliki tekanan pada proses hukum yang berjalan serta memenuhi hak-hak dari korban penembakan.
”Ombudsman RI perlu investigasi terkait dengan dugaan malaadministrasi dalam proses penyelidikan yang menyebabkan tewasnya enam orang tersebut,” ujarnya.