Cegah Korupsi, KPK Rekomendasikan Perbaikan Data Terpadu ke Mensos
Menteri Sosial Tri Rismaharini untuk pertama kalinya berkunjung ke Komisi Pemberantasan Korupsi, Senin. Ia berkonsultasi agar penyaluran bansos tak terjebak pada korupsi, selain memperbaiki sistem dan mekanismenya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Menteri Sosial Tri Rismaharini berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mencegah korupsi pengadaan dana bantuan sosial Covid-19. Rekomendasi KPK, Mensos diminta untuk memperbaiki Data Terpadu Kesejahteraan Sosial atau DTKS. Sistem pengecekan DTKS secara daring yang dibangun oleh Kemensos diharapkan dapat secara bertahap diperbaiki validitas pendataannya.
Menteri Sosial Tri Rismaharini untuk pertama kalinya berkunjung ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (11/1/2021). Kunjungan itu, salah satunya untuk berkonsultasi terkait perbaikan data DTKS Kemensos. Risma mengatakan, untuk pencegahan korupsi, Kemensos akan melakukan koordinasi dengan berbagai aparat penegak hukum. Kemensos sudah berkoordinasi dengan KPK, Kejaksaan Agung, dan Mabes Polri untuk upaya pencegahan. Kemensos juga berkolaborasi dengan perguruan tinggi yaitu Universitas Indonesia (UI) untuk perbaikan data bansos.
"Kami berharap bisa dibantu untuk menghindari korupsi dan memperbaiki permasalahan yang harus diselesaikan di Kemensos," ujar Risma.
Saat ini, program bansos yang semula disalurkan Kemensos dalam bentuk barang diubah menjadi uang tunai. Menurut Risma, Kemensos membuat sistem pemantauan penyaluran bantuan dengan data Nomor Induk Kependudukan (NIK). Data penerima bansos dari Kemensos sudah tersambung dengan data kependudukan. Akibatnya, ketika penerima sudah meninggal dunia, misalnya, diharapkan dapat terverifikasi untuk kemudian diperbarui data-datanya.
"Kami berharap bisa dibantu untuk menghindari korupsi dan memperbaiki permasalahan yang harus diselesaikan di Kemensos"
Menurut Risma, sebenarnya pengecekan DTKS dengan data kependudukan itu tidak sulit. Apalagi, jika data penerima itu terkoneksi dengan jaringan perbankan. Data perbankan biasanya lebih terbarui dan sesuai dengan situasi di lapangan. Misalnya, penerima sudah meninggal dunia. Data itu terekam di basis data perbankan.
Namun, kendalanya adalah masih banyak penerima bansos yang tidak memiliki akses perbankan. Mereka masih menerima uang bansos secara manual melalui Kantor Pos. Data dari penerima manual ini lebih sulit dicek kebenarannya. Sebab, Kemensos harus mengecek ke instansi terkait di daerah.
“Kalau memang data tidak bisa dicek ulang secara daring di perbankan, kami akan tindak lanjuti ke daerah. Jika ada yang perlu diperbarui, kami perbaiki data yang ada,” terang Risma.
Integrasi dengan NIK
Pimpinan KPK Nurul Gufron mengapresiasi, langkah Kemensos berkonsultasi kepada KPK untuk mencegah korupsi dan memastikan dana bansos Covid-19 tepat sasaran. Baik program bansos untuk warga miskin, pengangguran, bantuan kesehatan ke depan diharapkan bisa lebih tepat sasaran. Saat ini, basis data DTKS adalah menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Padahal, temuan di lapangan, banyak sasaran penerima bansos yang tidak memiliki KTP.
Menurut Gufron, data sosial seharusnya diperbarui secara berkala. Sebab, data sosial bukanlah data yang statis tetapi selalu dinamis sesuai masalah yang berkembang. Dampak pandemi Covid-19 misalnya telah meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan. Orang yang semula tidak masuk kategori miskin, tiba-tiba berubah menjadi miskin karena efek pandemi. Oleh karena itu, perbaikan DTKS juga harus dinamis dan tidak hanya didasarkan pada NIK. Laporan atau aduan dari masyarakat juga harus ditindaklanjuti untuk memperbaiki validitas data penerima bansos.
"Data penerima bansos agar bisa dibuat oleh insan sosial didasarkan pada empati dan dedikasi dengan masalah sosial,” terang Gufron.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menambahkan, rekomendasi KPK sejak awal adalah mengenai perbaikan DTKS. Selama ini, DTKS masih kurang akurat, sehingga saat dipakai untuk distribusi bansos banyak kekurangan. Berdasarkan laporan yang masuk dari platform Jaga Bansos KPK, ada temuan orang terdaftar di DTKS tetapi tidak mendapat bansos. Sementara itu, mereka yang tidak terdata justru menerima bansos.
“Dalam rekomendasi pertama KPK, ada sekitar 16 juta warga miskin tidak ada di DTKS. Kami berharap data ini dihapus kemudian disinkronisasi dengan data NIK dari Dirjen Dukcapil,” terang Pahala.
“Ketika sudah ada perbaikan data yang lebih baik diharapkan apapun bentuk bantuan dari Kemensos bisa merujuk pada data yang sama. Jangan sampai program keluarga harapan (PKH) sendiri, dan bantuan lain berbeda lagi datanya”
Pahala pun mengapresiasi inovasi yang dilakukan oleh Kemensos yaitu membuat pengecekan data DTKS secara daring. Dengan adanya pengecekan secara daring, data diharapkan dapat diperbarui secara real time. Dari data KPK diperkirakan ada sekitar 1,3 juta penduduk miskin tetapi tidak memiliki KTP. Data ini ke depan yang harus dikroscek dan sinkronisasikan dengan DTKS. Termasuk juga bagaimana mengecek kebenaran data tersebut ke pemerintah daerah (pemda) melalui dinas sosial.
“Ketika sudah ada perbaikan data yang lebih baik diharapkan apapun bentuk bantuan dari Kemensos bisa merujuk pada data yang sama. Jangan sampai program keluarga harapan (PKH) sendiri, dan bantuan lain berbeda lagi datanya,” kata Pahala.
Pahala menambahkan, salah satu usulan dari KPK untuk memperbaiki DTKS adalah dengan perbaikan data melalui model sentralisasi. Data dicek ulang di pemerintah pusat melalui Kemensos menggunakan data dari dinas sosial di daerah, kemudian dicek ulang dengan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kementerian Dalam Negeri.