Terdakwa kasus pengurusan fatwa bebas MA untuk Joko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari, dituntut empat tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Ia dinyatakan terbukti menerima hadiah atau janji, yakni uang 500.000 dollar AS.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terdakwa kasus pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung untuk terpidana kasus Bank Bali Joko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari, dituntut empat tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Pinangki dinilai terbukti menerima hadiah atau janji, melakukan permufakatan jahat, serta pencucian uang.
Tuntutan terhadap Pinangki itu disampaikan jaksa penuntut umum dalam sidang lanjutan kasus pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) untuk Joko Tjandra di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (11/1/2021). Sidang dipimpin Hakim Ketua Ig Eko Purwanto. Adapun tim penuntut umum dipimpin Yanuar Utomo.
Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan bahwa Pinangki terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan melanggar Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU No 20/2001, Pasal 3 UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta dakwaan ketiga subsider, yakni melanggar Pasal 15 juncto Pasal 13 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
”Menuntut supaya majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat untuk menjatuhkan pidana dengan pidana penjara empat tahun dikurangi masa penahanan. Menjatuhkan pidana denda Rp 500 juta dengan ketentuan diganti pidana kurungan 6 bulan,” kata penuntut umum.
Pinangki dinyatakan terbukti menerima hadiah atau janji dari Joko Tjandra, yakni uang sebesar 500.000 dollar AS (sekitar Rp 7 miliar). Dari jumlah itu, sebesar 450.000 dollar AS (sekitar Rp 6,3 miliar) dikuasai dan digunakan Pinangki untuk berbagai keperluan, seperti membeli mobil, membayar perawatan kecantikan, membayar apartemen, serta disamarkan dengan ditukarkan menjadi mata uang rupiah.
Selain itu, Pinangki dinilai telah melakukan permufakatan jahat bersama Anita Kolopaking, Andi Irfan Jaya, dan Joko Tjandra. Rangkaian pertemuan di antara mereka merupakan bentuk permufakatan jahat dengan janji berupa hadiah sebesar 10 juta dollar AS (sekitar Rp 141 miliar) yang dimaksudkan untuk menggagalkan eksekusi terhadap Joko Tjandra.
Joko seperti diketahui, divonis dua tahun penjara oleh Mahkamah Agung dalam kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali tahun 2009. Namun, setelah vonis dijatuhkan, ia memilih kabur. Ia baru berhasil ditangkap oleh Bareskrim Polri, pertengahan tahun lalu.
Meski demikian, hingga Desember 2019 tidak ada satu pun rencana aksi (action plan) yang terealisasi. Dengan demikian, Joko Tjandra membatalkan pengurusan fatwa bebas MA melalui Pinangki.
”Bahwa proposal action plan dinilai saksi Joko Tjandra tidak masuk akal dan meminta Anita untuk tidak melanjutkan action plan dan meminta Anita untuk tidak berhubungan lagi dengan terdakwa Pinangki dan Andi Irfan Jaya. Lalu, saksi Joko Tjandra meminta Anita selaku kuasa hukum untuk menempuh upaya peninjauan kembali (PK),” kata jaksa penuntut umum.
Terkait dengan hal itu, Pinangki tidak terbukti bersalah melanggar Pasal 5 Ayat 2 juncto Pasal 5 Ayat 1 UU No 31/1999 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU No 20/2001 serta melanggar Pasal 15 juncto Pasal 5 Ayat 1 huruf a UU yang sama.
Menurut penuntut umum, hal yang memberatkan adalah Pinangki sebagai penegak hukum tidak mendukung pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal yang meringankan adalah Pinangki belum pernah dihukum, menyesali perbuatannya, dan memiliki anak berusia empat tahun.
Hakim Ketua Ig Eko Purwanto memberikan kesempatan kepada terdakwa dan penasihat hukumnya untuk melakukan pembelaan. Pembelaan akan dilaksanakan pada Senin (18/1/2021).