Demokrasi Masih Terimbas Covid-19 pada 2021
Berbagai aspek kehidupan pada 2021, seperti demokrasi, tata kelola pemerintah, dan relasi internasional, masih bakal terpengaruh pandemi Covid-19. Hal itu karena pilkada yang masih sarat politik transaksional.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 akan tetap memengaruhi berbagai aspek kehidupan di Indonesia pada 2021, mulai dari demokrasi, tata kelola pemerintahan, ketahanan pangan, hingga relasi internasional. Terjadinya regresi demokrasi menjadi salah satu yang dialami Indonesia, sebagaimana juga dialami oleh banyak negara lain.
Dari webinar Indonesia Political Outlook 2021 bertajuk ”Membaca Potensi Arah Demokrasi, Tata Kelola Pemerintahan, dan Relasi Internasional Indonesia di Tahun 2021” yang diselenggarakan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kamis (14/1/2021) di Jakarta, penurunan kualitas demokrasi sudah terlihat sejak akhir 2019.
Pembicara dalam webinar itu adalah para profesor riset Pusat Penelitian Politik LIPI, yakni R Siti Zuhro, Lili Romli, Hermawan Sulistyo, dan Dewi Fortuna Anwar, serta Associate Professor Australian National University Gregory Fealy.
Siti mengatakan, masalah yang timbul di antaranya pilkada langsung yang menimbulkan biaya pilkada mahal. Akibatnya, korupsi menjadi momok pemerintahan daerah yang ditandai dengan 426 kepala daerah tersangkut kasus korupsi hingga saat ini.
Baca juga : Ternyata, ”Demokrasi” Indonesia Berbuah ”Kesejahteraan”
Demokrasi yang berjalan masih di tingkat prosedural. Hal itu diikuti dengan politik uang yang luar biasa terjadinya, politik kekerabatan, hingga fenomena munculnya calon tunggal dalam pilkada langsung. Sementara independensi penyelenggara negara, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), di daerah masih perlu dibenahi.
Masalah yang timbul di antaranya pilkada langsung yang menimbulkan biaya pilkada mahal. Akibatnya, korupsi menjadi momok pemerintahan daerah yang ditandai dengan 426 kepala daerah tersangkut kasus korupsi hingga saat ini.
Sistem pilkada langsung yang diharapkan memunculkan calon-calon pemimpin terbaik ternyata tidak berkorelasi positif. Ambang batas persyaratan pencalonan kepala daerah termasuk tinggi, sementara bagi calon independen sangat rumit sehingga kompetisi untuk kontestasi seolah tidak dibuka seluas mungkin karena ada partai yang tidak bisa mencalonkan jika tidak berkoalisi.
”Otonomi daerah ternyata korelasinya belum positif terhadap tata kelola pemerintahan yang baik. Sebab, setelah ditelusuri, best atau good practices masih minim atau kurang dari 10 persen dari total 542 daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota,” ujar Siti.
Dengan ditariknya kewenangan daerah ke pemerintah pusat melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kewenangan dalam desentralisasi dibatasi. Desentralisasi dalam konteks Negara Kesatuan RI dimaknai sempit di mana kewenangan daerah dipusatkan, yang menyebabkan ketergantungan daerah ke pusat akan meningkat.
Menurut Siti, perubahan kewenangan yang ada di daerah akan menimbulkan pertanyaan tentang relevansi dan signifikansi pilkada langsung ke depan. Sebab, dengan mekanisme pilkada langsung yang mahal, sistem ijon atau kongkalikong antara penguasa dan pengusaha banyak dilakukan dan bukan lagi menjadi rahasia.
”Oleh karena itu, yang terjadi di 2021 kecenderungannya sama atau malah mengalami satu kondisi yang terpuruk karena hilangnya nuansa kebebasan berpendapat dan berserikat, serta kuatnya kecenderungan kooptasi terhadap berbagai institusi dan organisasi maupun kampus. Ketergantungan daerah terhadap pusat seolah menyempurnakan keterpurukan itu,” papar Siti.
Dengan lebih dari 1.500 pilkada langsung yang dilaksanakan sejak 2005 hingga 2020, Siti memandang hal itu belum mampu menghadirkan demokrasi yang substansial dan membangun pemerintahan yang efektif dalam memajukan rakyat. Meski demikian, demokrasi tetap berpeluang untuk diperkuat melalui masyarakat sipil yang selama ini bahu-membahu membangun demokrasi yang substantif dan berkualitas.
Aktor politik dari hasil pemilu
Menurut Lili, perubahan besar yang dibawa gerakan reformasi membuat Indonesia disebut sebagai negara demokratis terbesar. Namun, penyebutan negara demokratis tidak cukup hanya dengan melaksanakan pemilu nasional ataupun lokal secara berkala.
”Memang tidak hanya di Indonesia, tetapi di negara-negara lain juga terjadi kecenderungan penurunan demokrasi. Faktornya bukan karena militer atau kudeta, melainkan karena aktor yang dipilih melalui pemilu itu sendiri,” kata Lili.
Memang tidak hanya di Indonesia, tetapi di negara-negara lain juga terjadi kecenderungan penurunan demokrasi. Faktornya bukan karena militer atau kudeta, melainkan karena aktor yang dipilih melalui pemilu itu sendiri.
Mengutip data Freedom House, lanjut Lili, indeks kebebasan politik di Indonesia, yang sebelumnya dikategorikan bebas, mulai 2014 hingga sekarang dikategorikan sebagian bebas. Demikian pula peringkat Indonesia menurut Democracy Index 2016-2019 untuk wilayah Asia Tenggara menunjukkan penurunan sejak 2015 sampai 2019.
Jika dibandingkan dengan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), indeks demokrasi Indonesia selalu naik. Namun, posisi Indonesia selalu berada di bagian sedang atau berarti sebagian saja yang bebas dan belum pernah berada di posisi baik. Sementara dari pengukuran IDI sejak 2009 sampai 2019 terdapat tren aspek kebebasan sipil mengalami kemunduran signifikan.
Jika sebelumnya terdapat kritik bahwa meski Indonesia menerapkan sistem presidensial tetapi bernuansa parlementer karena eksekutif dikendalikan legislatif, kini hal itu berkebalikan. Sebab, mayoritas anggota parlemen atau sekitar 74 persen adalah pendukung pemerintah. Hal itu dinilai mengganggu kualitas demokrasi Indonesia sejak 2019.
Pada 2021, lanjut Lili, penekanan pemerintah masih pada pembangunan infrastruktur dengan anggaran mencapai Rp 417 triliun. Agar tujuan tercapai, kestabilan akan menjadi yang utama. Akibatnya, bisa jadi partisipasi politik akan ditekan demi menggairahkan pembangunan dan penanaman modal asing.
Meski demikian, Lili masih optimistis terhadap sistem demokrasi di Indonesia karena mayoritas publik masih mendukung demokrasi. Demikian pula kekuatan masyarakat sipil masih tetap kritis dan peduli terhadap penegakan hak asasi manusia dan demokratisasi.
Fealy mengatakan, tahun 2021 kemungkinan akan menjadi tahun paling represif bagi kelompok Islamis tertentu atau yang dinamakan sebagai Islamis transnasional. Pemerintahan Presiden Joko Widodo dinilai melakukan kampanye yang sistematis untuk mengintimidasi, menyingkirkan, dan merongrong kelompok tersebut.
Salah satu yang dilakukan adalah upaya pemerintah untuk membersihkan pengaruh para Islamis transnasional di tubuh aparatur sipil negara, BUMN, dan juga perusahaan swasta di sektor tertentu. Hal itu dinilai mirip dengan situasi saat Orde Baru.
Menurut Fealy, langkah tersebut merusak kualitas demokrasi di Indonesia karena mempersempit ruang oposisi dan kebebasan berpendapat. Absennya proses hukum ketika membubarkan organisasi massa merupakan hal yang fatal.
”Kapasitas sistem politik di Indonesia menjadi lebih terbatas lagi untuk merangkul dan mengakomodasi keberagaman yang ada dalam sistem politik di Indonesia,” kata Fealy.
Pembelahan sosial
Menurut Hermawan, masalah pada 2020 adalah terjadinya pembelahan sosial yang dimensi politiknya berbahaya bagi negara. Masalah itu masih akan berlanjut pada 2021 meski kemungkinan tidak seserius pada 2020.
Masalahnya, lanjut Hermawan, jika hal itu berkelindan dengan ketahanan sosial yang paling dasar, yaitu pangan, akan menjadi persoalan yang berbahaya. Membicarakan demokrasi, sementara terjadi instabilitas politik yang diakibatkan instabilitas keamanan adalah hal yang tidak masuk akal.
”Jangan bicara mengenai pemberantasan korupsi dalam pilkada selama persoalan kebutuhan dasar ini tidak terselesaikan,” kata Hermawan.
Jangan bicara mengenai pemberantasan korupsi dalam pilkada selama persoalan kebutuhan dasar ini tidak terselesaikan.
Dewi mengatakan, pandemi Covid-19 masih akan mendominasi isu regional dan global. Dengan demikian, agenda utama masyarakat internasional masih fokus pada penanganan masalah kesehatan publik serta pemilihan kehidupan sosial ekonomi. Tidak ada negara yang aman dari pandemi selama masih ada negara yang belum sehat.
Baca juga : Konsolidasi Demokrasi Masih Harus Terus Dilakukan
Di Indonesia, pandemi Covid-19 masih sulit diatasi. Dikhawatirkan apabila negara-negara tetangga sudah pulih terlebih dahulu dari pandemi, Indonesia akan termarjinalkan, semisal dikenai pelarangan untuk bepergian ke luar negeri, seperti untuk pariwisata.
”Dampak dari penutupan atau pembatasan itu adalah resesi global. Itu tidak sama dengan globalisasi tanpa batas seperti dulu. Masyarakat dunia akan mendorong kerja sama regional dan global, tetapi di saat yang sama tetap memperhatikan ketahanan nasional,” kata Dewi.
Meski demikian, di sisi lain Indonesia memiliki modal berupa anggapan sebagai pemimpin alamiah dari ASEAN. Demikian pula di Indo-Pasifik, peranan dan inisiatif ASEAN diterima dengan baik.