Di saat pegiat pemilu, akademisi, dan mayoritas fraksi di DPR mendorong revisi Undang-Undang Pemilu, Partai Amanat Nasional atau PAN justru bersikap sebaliknya. Apa alasannya?
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Di saat sejumlah pegiat pemilu, akademisi, dan mayoritas fraksi di DPR mendorong adanya revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Partai Amanat Nasional atau PAN justru bersikap sebaliknya. PAN menilai UU Pemilu belum saatnya untuk direvisi. Perbaikan lebih baik dilakukan pada tataran implementasi.
“PAN berpendapat bahwa Undang-Undang Pemilu belum saatnya untuk direvisi,” kata Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan saat webinar bertajuk “Perlukah Revisi UU Pemilu?”, Senin (25/1/2020).
Selain Zulkifli, hadir sebagai pembicara Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PAN DPR Zainuddin Maliki, Komisioner Komisi Pemilihan Umum Pramono Ubaid Tanthowi, Guru Besar Ilmu Perbandingan Sistem Politik Universitas Airlangga Kacung Marijan, dan Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini.
Oleh sebab itu, Zulkifli meminta agar fraksi-fraksi di DPR mempertimbangkan ulang rencana merevisi Undang-Undang (UU) Pemilu tersebut. Menurut dia, UU itu masih baru dan baru diterapkan pada Pemilu 2019. Idealnya, UU Pemilu bisa digunakan setidaknya hingga 4 kali penyelenggaraan pemilu.
“Sejauh ini, penyelenggaraan pemilu yang dilakukan dengan payung hukum UU tersebut berjalan cukup baik, meskipun tentu ada hal-hal yang perlu disempurnakan di dalam aturan turunannya,” ucap Zulkifli.
Selain itu, lanjut Zulkifli, jika dilakukan revisi maka perlu mengakomodir banyak kepentingan dari unsur partai politik, pemerintah pusat dan daerah, penyelenggara pemilu, masyarakat, dan masyarakat sipil. Padahal dengan mengubah UU yang ada, tidak ada jaminan UU yang dihasilkan nantinya akan lebih baik.
“PAN memandang bahwa penanganan Covid-19, baik dari sisi pemutusan mata rantai penyebaran virus maupun pemulihan ekonomi nasional, menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, alangkah indahnya jika energi DPR dan Pemerintah diarahkan sepenuhnya dalam rangka menuntaskan kedua masalah tersebut,” katanya.
Alih-alih merevisi UU Pemilu, Zainuddin menambahkan, lebih baik memperbaiki implementasi dari UU tersebut. Menurutnya, manfaat lebih besar akan diperoleh jika tetap menggunakan UU yang ada dengan menyadari kelemahan-kelemahan di dalamnya. “Kemudian diperbaiki dalam tataran implementasinya,” ujarnya.
Berbeda dengan PAN, Titi mendorong agar UU Pemilu direvisi. Sebab ada banyak permasalahan yang ditimbulkan akibat UU itu. Di antaranya, tingginya suara tidak sah dan desain kelembagaan penyelenggara pemilu.
Selain itu, adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019 tentang rekonstruksi keserentakan pemilu dan adanya kebutuhan penyelarasan pengaturan berbagai putusan MK terkait UU Pemilu, utamanya tentang hak pilih dan mantan terpidana, yang masih menyisakan persoalan.
Selain masalah yang sudah ada, ada ancaman lain jika UU Pemilu tidak direvisi. Pelaksanaan pemilu dan pilkada di tahun yang sama yaitu tahun 2024, yang berpotensi membuat pemilu kacau dan bermasalah. UU Pemilu juga diharapkan lebih adaptif pada situasi pandemi atau potensi bencana nonalam lainnya.
Komprehensif
Kacung menuturkan, revisi UU Pemilu yang dilakukan selama ini acap kali hanya dengan pendekatan tambal sulam sehingga selalu meninggalkan masalah di tiap pemilu. Oleh sebab itu, jika nantinya ada revisi UU Pemilu, revisi sebaiknya dilakukan secara komprehensif.
“Revisi UU Pemilu yang disusun seharusnya tidak berhenti pada bagaimana menghasilkan pemilu yang demokratis, melainkan sampai pada terbangunnya pemerintahan yang demokratis sekaligus stabil,” ujarnya.
Menurut Pramono, regulasi sangat menentukan terwujudnya pemilu yang berkualitas. Oleh sebab itu, aturan perlu diperbaiki jika masih ditemukan berbagai permasalahan.
Keputusan untuk melakukan revisi sebaiknya tetap memperhitungkan pelaksanaan pemilu dan pilkada terdekat agar KPU mempunyai waktu persiapan yang cukup, termasuk pemerintah daerah dalam menyiapkan anggaran.