Penarikan Fungsi Penegakan Hukum di Polsek Bisa Berakibat Negatif
Pernyataan calon Kapolri Komjen (Pol) Listyo Sigit Prabowo yang saat uji kelayakan dan kepatutan menyatakan akan jadikan Polsek memelihara keamanan dan ketertiban, dikritik agar jangan sampai berekses negatif.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana penarikan fungsi penegakan hukum di tingkat kepolisian sektor atau polsek diharapkan dipertimbangkan kembali dengan melihat kesiapan masyarakat. Jika terburu-buru, hal itu malah akan menimbulkan ekses negatif di tengah masyarakat.
Calon Kepala Kepolisian Negara RI Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada saat uji kelayakan dan kepatutan menyatakan akan menjadikan polsek sebagai tempat memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Untuk itu, polsek tidak lagi diberi tugas penegakan hukum, seperti penyidikan.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, Selasa (26/1/2021), berpandangan, Gagasan ini sebenarnya mempersempit gerak pelayanan kepolisian. Sebab, berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas dan fungsi kepolisian selain penjaga keamanan dalam negeri dan pelayan masyarakat, juga sebagai penegak hukum.
”Dengan menghilangkan fungsi penegakan hukum pada tingkat polsek, artinya masyarakat di tingkat kecamatan tidak punya lagi penegak hukum yang siap menyelesaikan permasalahan teknis yang timbul di masyarakat,” kata Fickar.
”Dengan menghilangkan fungsi penegakan hukum pada tingkat polsek, artinya masyarakat di tingkat kecamatan tidak punya lagi penegak hukum yang siap menyelesaikan permasalahan teknis yang timbul di masyarakat.”
Menurut Fickar, jika peniadaaan fungsi itu didasarkan pada kritik terjadinya penyalahgunaan kewenangan, untuk mengatasinya adalah mendisiplinkan personel yang melanggar serta membuka akses pengawasan yang luas kepada publik. Terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat yang tidak bersalah mestinya diatasi dengan memperketat lembaga pengawasan.
Terkait dengan ini, lanjut Fickar, sangat kontradiktif jika keamanan dan ketertiban di masyarakat dilakukan oleh pengamanan (pam) swakarsa. Pembentukan pamswakarsa justru menciptakan polarisasi di masyarakat yang dapat memicu konflik horizontal.
Jika Kapolri bermaksud mengedepankan pendekatan ketertiban di tengah nilai-nilai demokrasi seperti saat ini, pendekatannya adalah dengan menumbuhkan kesadaran pada masyarakat akan hak dan kewajibannya. Caranya adalah polisi harus bertindak netral dan berani menindak siapa pun yang anarkistis tanpa memandang latar belakang.
”Untuk memelihara keamanan, kembalikan polusi ke khitahnya sebagai penjaga keamanan karena polisi menerima gaji dari uang rakyat,” ujar Fickar.
Hal senada diungkapkan Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi. Menurut khairul, niat dari calon Kapolri secara teoretis dapat dipahami. Namun, masalahnya ada pada penerapannya yang dinilai memerlukan kondisi tertentu sebagai prasyaratnya.
Beberapa hal yang dinilai menghambat, lanjut Khairul, adalah tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum tidak tinggi, bahkan rendah. Demikian pula dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri. Hal itu tidak berbeda dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum juga tidak tinggi.
Hambatan lainnya, menurut Khairul, adalah kendala geografis. Kemungkinan hal itu dapat diterapkan di wilayah seperti Jawa dan Bali. Namun, di daerah terpencil, selama ini polseklah yang menjadi garda terdepan penegakan hukum di masyarakat. Jika fungsi itu ditarik ke polres, masyarakat akan semakin jauh untuk menjangkau polisi.
”Kita bisa kita pahami niat baiknya, tetapi implementasinya tanpa membenahi organisasi dan sistem di kepolisian sendiri, makan akan sulit,” kata Khairul.
Di sisi lain, pembentukan pamswakarsa untuk membantu kepolisian dalam memelihara keamanan dan ketertiban juga bukan solusi. Dibandingkan dengan membentuk pamswakarsa berbasis organisasi, lebih baik kepolisian memperkuat fungsi pos ronda berbasis rukun tetangga (RT) atau rukun warga (RW) atau kampung.
Pamswakarsa diatur UU
”Artinya, dalam segala aktivitas, dalam segala operasional pamswakarsa senantiasa dikoordinasikan dan diawasi oleh kepolisian. Jadi, operasionalnya tidak berjalan sendiri. Senantiasa berdampingan dengan kegiatan aparat kepolisian di lapangan.”
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono mengatakan, pembentukan pamswakarsa telah diatur di dalam UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI. Pamswakarsa adalah bentuk pengamanan yang dilakukan oleh pengemban fungsi kepolisian, dibentuk atas dasar kemauan, kesadaran dan kepentingan masyarakat sendiri, serta mendapat pengukuhan dari Polri.
”Artinya, dalam segala aktivitas, dalam segala operasional pamswakarsa senantiasa dikoordinasikan dan diawasi oleh kepolisian. Jadi, operasionalnya tidak beejalan sendiri. Senantiasa berdampingan dengan kegiatan aparat kepolisian di lapangan,” kata Rusdi.
Rusdi mengatakan, bentuk pamswakarsa adalah satuan keamanan dan satuan keamanan berbasis lingkungan. Untuk satuan keamanan lingkungan itu dibentuk masyarakat sendiri dan bisa jadi dipimpin ketua RT atau RW. Bentuk berikutnya adalah pamswakarsa yang lahir dari kearifan lokal, juga mahasiswa bhayangkara. Menurut Rusdi, pamswakarsa yang dimaksud calon Kapolri berbeda dengan pamswakarsa yang ada pada tahun 1998.