Pertemuan membahas gagasan tata kelola penanganan kasus-kasus terkait penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam kerangka hak asasi manusia dan alternatif mediasi dalam penyelesaiannya.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bertemu Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse dan Kriminal Polri pada Selasa (23/2/2021). Pertemuan itu membahas gagasan tata kelola penanganan kasus-kasus terkait penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE dalam kerangka hak asasi manusia dan alternatif mediasi dalam penyelesaiannya.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Hairansyah Ahmad, mengatakan, penerapan UU ITE saat ini masih berpolemik, khususnya dalam upaya penegakan hukum.
”Makanya penting bagi Komnas HAM dan Polri untuk berkolaborasi membangun mekanisme bersama guna penanganan kasus ujaran kebencian, hoaks, dan kasus pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi lainnya yang berlandaskan hak asasi manusia,” katanya.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menekankan pentingnya menjaga prinsip hak asasi manusia guna kepentingan publik dalam memanfaatkan ruang sosial media. ”Termasuk di dalamnya skenario penegakan hukum, termasuk bagaimana menggunakan plan of action,” ujarnya.
Selanjutnya, kedua belah pihak akan membahas lebih lanjut mekanisme kerja agar masing-masing ikut serta dalam penanganan kasus berbasis UU ITE. Kerangka kerja akan dibahas selanjutnya agar mengedepankan prinsip HAM, termasuk mekanisme penegakan hukum dan koordinasi antarlembaga.
Tim kajian UU ITE
Sementara itu, menyikapi pembentukan tim kajian UU ITE oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Rizky Yudha dari LBH Pers mengatakan, koalisi masyarakat sipil pesimistis hasil kerja tim akan sesuai seperti yang diharapkan publik.
Alasannya, tidak adanya keterlibatan pihak independen yang dapat melihat implikasi UU ITE pada pelanggaran hak-hak asasi warga, seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan.
Tim Kajian UU ITE tanpa melibatkan unsur-unsur yang independen dikhawatirkan justru akan melanggengkan adanya pasal-pasal karet di UU ITE. Dikhawatirkan, Tim Kajian UU ITE akan berat sebelah dalam melakukan kajian, terutama menitikberatkan pada aspek legalistik formal dan mengabaikan adanya situasi ketidakadilan yang selama ini timbul akibat diberlakukannya pasal-pasal karet di dalam UU ITE.
Apalagi Tim Kajian UU ITE dinilai dipimpin oleh orang yang selama ini terlihat menghambat upaya revisi UU ITE dan dinilai tidak memiliki komitmen untuk memperbaiki demokrasi akibat adanya pasal-pasal karet di UU ITE.
”Penunjukan komposisi Tim Kajian UU ITE yang dinilai bermasalah ini memberi pesan adanya ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan permintaan Presiden Jokowi untuk menelaah adanya potensi ketidakadilan dalam UU ITE,” kata Rizky Yudha. Menurut dia, sulit rasanya bagi masyarakat sipil untuk berharap banyak pada Tim Kajian UU ITE dapat menemukan kajian ketidakadilan dalam UU ITE jika melihat komposisinya yang tidak seimbang dan lebih banyak dari pihak pemerintah saja.
Koalisi Masyarakat Sipil terdiri atas LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, ICJR, IJRS, ELSAM, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Greenpeace Indonesia, KontraS, Amnesty International Indonesia, PUSKAPA UI, Imparsial, AJI Indonesia, PBHI, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia, ICW, LeIpP, dan Walhi.