Mewaspadai ”Hibernasi” Kelompok Jamaah Islamiyah
Rangkaian penangkapan tersangka teroris yang terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah menunjukkan organisasi ini masih eksis. Mereka ditengarai sedang hibernasi, menunggu momen untuk bangkit kembali.
Akhir Februari 2021, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap 12 tersangka kasus terorisme di beberapa wilayah di Jawa Timur. Mereka diduga berasal dari kelompok Jamaah Islamiyah yang berafiliasi dengan jaringan teror Al Qaeda. Penangkapan tersebut masih berlanjut dengan penangkapan beberapa orang lagi di wilayah Jawa Timur.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono, Rabu (3/3/2021), mengatakan, hingga saat ini Densus 88 Antiteror Polri telah menangkap 22 tersangka terorisme di Jawa Timur. Densus 88 Antiteror masih terus mengembangkan dan mendalaminya.
Menurut Rusdi, para tersangka tindak pidana terorisme yang ditangkap tersebut menyebut diri sebagai kelompok Fahim. Mereka telah merencanakan aksi teror beserta rute pelariannya.
”Itu baru rencana. Sebelum mereka beraksi, Densus 88 telah melakukan kegiatan pencegahan sehingga aksi itu tidak terjadi. Tapi, yang jelas rencana mereka sudah siap untuk itu,” kata Rusdi.
Dari penangkapan itu, aparat keamanan telah mengamankan beberapa barang bukti, di antaranya 50 butir peluru kaliber 9 milimeter dan 1 pistol rakitan jenis FN. Selain itu, aparat juga mengamankan empat bendera daulah, 8 pisau, 2 samurai, 3 golok, dan senjata tajam lain berbentuk busur.
Jamaah Islamiyah
Pengungkapan jaringan JI di Jatim tersebut merupakan rentetan dari penangkapan tersangka teroris di wilayah lain. Pada 23 November 2020, Densus 88 Antiteror Polri menangkap TB alias Upik Lawanga di Kabupaten Lampung Tengah, Lampung. Upik Lawanga telah masuk daftar pencarian orang (DPO) kepolisian sejak 2006.
Baca juga: Menerka Metamorfosis Jamaah Islamiyah
Di dalam JI, Upik Lawanga adalah sosok yang penting. Pasca-konflik di Poso pada 2001, Upik Lawanga diutus ke Jawa untuk belajar membuat bom berkekuatan tinggi (high explosive) kepada Dr Azahari. Upik Lawanga disebut-sebut sebagai penerus Dr Azahari dan dijuluki sebagai ”profesor”. Azahari adalah pembuat Bom Bali I pada 2002, Bom Hotel JW Marriott Jakarta pada 2003, serta Bom Kedutaan Besar Australia di Jakarta 2004.
Jejak teror Upik Lawanga terekam panjang, mulai dari pembunuhan istri anggota TNI AD di Sulawesi Tengah, penembakan dan pengeboman Gereja Anugerah, bom Pasar Sentral Poso, serta bom GOR Poso yang semuanya terjadi pada 2004. Pada 2005, Upik Lawanga terlibat dalam peristiwa bom Pasar Tentena, bom di Pura Landangan, serta bom di Pasar Maesa, Palu.
Tahun 2006, Upik Lawanga diduga terlibat dalam bom termos nasi di Tengkura, bom senter di Kauwa, serta penembakan sopir angkot di Mandale. Tindak pidana terorisme oleh Upik Lawanga yang terjadi di Poso mengakibatkan 27 orang meninggal dan 92 orang terluka.
Pada 2007, JI menugaskan Upik Lawanga untuk membuat persenjataan, bom serta bunker sebagai tempat penyimpanan. Untuk itu, JI mempersiapkan sarana dan prasarana berupa perbengkelan, mesin bubut, dan alat lainnya yang ditemukan aparat di Cianjur dan Klaten pada 2014.
Tertangkapnya Upik Lawanga kemudian diikuti penangkapan pentolan JI yang juga adalah buronan kasus terorisme, yakni Zulkarnaen. Zulkarnaen ditangkap pertengahan Desember 2020 di Lampung Timur, Lampung. Sebagaimana Upik Lawanga, Zulkarnaen memiliki kemampuan khusus, seperti membuat bom berdaya ledak tinggi, merakit senjata, dan memiliki kemampuan militer.
Aksi terornya terekam dalam berbagai peristiwa, antara lain, peledakan kediaman Dubes Filipina di Menteng (1999), peledakan gereja pada malam Natal dan Tahun Baru (2000 dan 2001), Bom Bali I (2002), Bom JW Mariott (2003), Bom Kedubes Australia (2004), dan Bom Bali II (2005), serta arsitek kerusuhan di wilayah Ambon, Ternate, dan Poso, pada tahun 1998 sampai 2000.
Bersamaan dengan penangkapan kedua orang penting di JI pada akhir 2020, Densus 88 Antiteror juga menangkap 21 orang anggota JI di delapan wilayah di Sumatera. Mereka semua kemudian dibawa ke Jakarta untuk menjalani proses hukum lebih lanjut.
Di bawah permukaan
Dari rangkaian penangkapan tersebut diduga sebagai sebuah organisasi, JI memiliki struktur lengkap. Terdapat bidang-bidang beserta penanggung jawabnya, seperti bidang pendidikan, sumber daya manusia, dan ekonomi.
Untuk menjalankan roda organisasi, terdapat iuran 5 persen dari pendapatan anggota yang memiliki beragam profesi. Dari keterangan beberapa tersangka, saat ini terdapat 6.000-an jaringan JI yang masih aktif. Selain itu, JI juga diduga memperoleh dana yang berasal dari kotak amal dari beberapa yayasan yang terafiliasi dengan JI.
Menurut pengamat terorisme Al Chaidar, di permukaan, aktivitas organisasi JI mulai surut setelah Dulmatin tewas disergap Densus 88 pada 2010. Dulmatin adalah buronan Bom Bali I. Kematian Dulmatin sekaligus mengakhiri hubungan JI dengan Al Qaeda. Terlebih, setelah itu tokoh JI yakni Ustadz Abu Bakar Ba’asyir menyatakan dukungannya kepada Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS/ISIS). Padahal, Al Qaeda memiliki paham yang berseberangan dengan NIIS.
Setelah itu, lanjut Al Chaidar, JI di bawah Para Wijayanto sama sekali tidak melakukan aksi teror. Mereka cenderung bergerak untuk membangun basis organisasi dan basis finansial yang disebutnya sebagai korporasi jihad. Baru setelah penangkapan Para Wijayanto diketahui bahwa kelompok JI memiliki perkebunan sawit di Kalimantan dan Sumatera. Selain itu, JI juga membentuk beberapa yayasan yang berfungsi menghimpun dana publik (crowdfunding).
”Jadi mereka ini sebenarnya sedang hibernasi, menunggu. Kalau ada situasi kekacauan lagi, maka mereka akan bangkit lagi,” kata Al Chaidar.
Menurut Al Chaidar, penangkapan para anggota JI tersebut menunjukkan aparat keamanan mulai mendeteksi pergerakan mereka. Rencana aksi teror yang disebutkan Mabes Polri ditengarai merupakan upaya JI menjalin komunikasi kembali dengan Al Qaeda di luar negeri. Dengan melakukan aksi teror, pihak Al Qaeda di luar negeri akan mengakui mereka sebagai rekan jihad.
Al Chaidar menduga, jika komunikasi itu berhasil dijalin, yang disasar bukan soal sumber pendanaan dari luar, melainkan melebarkan target untuk melakukan aksi teror di luar Indonesia. Jika selama beberapa tahun terakhir aksi teror yang terjadi di Indonesia terkait dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), bukan berarti JI tidak melakukan apa-apa. Al Chaidar berharap aparat keamanan mencermati perkembangan jaringan JI di Indonesia dan mencegahnya berkembang lebih jauh.
Sementara itu, Chief Advisor International Association for Counterterrorism and Security Professionals Indonesia Haryoko R Wirjosoetomo berpandangan, kelompok teror pada dasarnya memiliki daya tahan tinggi untuk memulihkan diri. Hal itu terbukti setelah Para Wijayanto ditangkap pada 2019, kelompok JI masih tetap ada. Hal ini terbukti dari serangkaian penangkapan akhir-akhir ini.
Kelompok JI berbeda dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Sementara JI memiliki struktur organisasi yang rapi, JAD tidak. Anggota JI direkrut dan dilatih, sementara JAD tidak. Ini karena JAD bukanlah sebuah organisasi, melainkan jaringan teror yang berkembang secara sporadis karena adanya teknologi internet. Dengan demikian, satu pihak dengan yang lain tidak saling mengenal.
Dari sisi kemampuan, secara personal anggota JI memiliki kemampuan bertahan cukup tinggi. Hal ini terbukti dari Zulkarnaen ataupun Upik Lawanga yang dapat menghindari kejaran aparat keamanan selama belasan tahun. Demikian pula beberapa anggota JI punya keterampilan membuat bom berdaya ledak tinggi, seperti bom mobil, dan kemampuan militer lainnya. Mereka juga memiliki langkah yang lebih sistematis dalam melakukan rekrutmen dan pelatihan.
Hal ini terbukti dari hasil identifikasi Polri bahwa dari 91 kader yang dilatih JI, sebanyak 66 orang di antaranya telah dikirim ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok Jabhat al-Nusra. Sebelum berangkat, mereka telah dilatih secara khusus di Indonesia.
Dengan adanya penangkapan anggota JI akhir-akhir ini, menurut Haryoko, hal itu memperlihatkan bahwa kelompok JI masih ada dan berbahaya. Bahkan, bisa jadi mereka lebih berbahaya dari sebelumnya karena memiliki struktur organisasi yang rapi serta sumber pendanaan yang mandiri.
”Ini mengkhawatirkan karena kalau dulu lebih mudah dideteksi, sekarang menjadi lebih sulit. Bisa jadi JI ini menjadi lebih berbahaya,” kata Haryoko.
Menurut Haryoko, dari hasil kajian, diperkirakan belasan persen penduduk Indonesia terpapar paham radikal. Dari jumlah itu, mereka yang terlibat terorisme tidak lebih dari 17.000 orang. Jumlah itu adalah mereka yang terlibat langsung ataupun yang tidak langsung, termasuk keluarganya. Sementara mereka yang pernah ditangkap dan dipidana karena terkait dengan terorisme berjumlah sekitar 2.000 orang.
Terkait hal itu, Brigjen (Pol) Rusdi mengatakan, saat ini penelusuran terhadap kelompok JI di Jatim masih terus dikembangkan. Nantinya diharapkan agar jaringan tersebut benar-benar dapat terungkap seluruhnya. ”Agar kelompok Fahim ini betul-betul bisa diselesaikan di Jawa Timur,” kata Rusdi.