Perempuan Penyerang Mabes Polri Beli ”Air Gun” dari Penjual di Aceh
Densus 88 Antiteror Polri menangkap Muchsin Kamal di Banda Aceh, Aceh. Dia diduga menjual ”air gun” kepada ZA, perempuan terduga teroris yang menyerang Mabes Polri. Transaksi berlangsung secara daring.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian telah menelusuri asal air gun yang digunakan ZA, perempuan terduga teroris yang menyerang Markas Besar Polri di Jakarta Rabu (31/3/2021) lalu. ZA diduga membeli air gun itu dari seorang penjual yang berasal dari Banda Aceh, Aceh.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono, Sabtu (4/3/2021), di Jakarta, menuturkan, tim Densus 88 Antiteror Polri menangkap penjual air gun bernama Muchsin Kamal alias Imam Muda di Syiah Kuala, Banda Aceh.
Menurut Argo, ZA membeli air gun dari Muchsin Kamal secara daring. Meski demikian, ZA dan Muchsin Kamal diduga tidak saling mengenal. Menurut rencana, Muchsin Kamal akan dibawa ke Jakarta dan tiba Sabtu sore untuk pemeriksaan lebih lanjut.
ZA tewas setelah ditembak petugas saat ia melakukan penyerangan dengan menggunakan air gunbullet call 4,5 mm. Sebelumnya, Argo menjelaskan bahwa air gun adalah salah satu jenis senapan angin. Bedanya, air gun menggunakan tekanan dari gas karbon dioksida (CO2) sebagai pendorong peluru yang dipasang pada popor senjata. Hal yang sama dapat ditemukan pada senapan angin (airsoft gun).
Peluru yang digunakan juga sama dengan senapan angin, berbentuk bola kecil atau gotri yang terbuat dari logam. Sementara airsoft gun menggunakan peluru dari plastik yang lebih ringan. Menurut Argo, air gun lebih berbahaya dibandingkan airsoft gun. ”Jika ditembak dari jarak dekat, air gun bisa melukai atau bahkan mematikan orang,” ujar Argo.
Penggeledahan di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta
Argo Yuwono juga membenarkan, terjadi kegiatan penggeledahan di wilayah Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Namun, Argo belum bisa menyebutkan jumlah pasti terduga teroris yang ditangkap di sana.
Penggeledahan dilakukan di sebuah rumah di Kabupaten Bantul, DIY, pada Jumat siang hingga sore. Kemudian, Densus 88 Antiteror Polri menggeledah sebuah rumah di Kabupaten Sleman. Rumah yang digeledah berlokasi di RT 006/RW 005 Dusun Dawukan, Desa Sendangtirto, Kecamatan Berbah, Sleman (Kompas.id, 2/4/2021).
Secara terpisah, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan juga membenarkan adanya penggeledahan oleh Densus 88 Antiteror di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Sebagaimana diberitakan, Densus 88 Antiteror menggeledah sebuah rumah kontrakan di Kelurahan Sumampir, Kecamatan Purwokerto Utara, Banyumas, pada Jumat (2/4/2021) sore (Kompas.id, 2/4/2021).
Menurut Ahmad, dalam rangkaian kegiatan tersebut, Densus 88 mengamankan dua tersangka terorisme. Seorang diamankan di Klaten, seorang lagi di Yogyakarta. Inisial keduanya adalah SH dan WH. Hingga saat ini, Densus 88 Antiteror Polri masih terus mengembangkan penangkapan itu.
Mencegah terorisme
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos berpandangan, fenomena keterlibatan perempuan dalam tindak pidana terorisme bukanlah kebetulan, melainkan kesengajaan. Berbeda dari Jamaah Islamiyah yang menempatkan perempuan sebagai pendukung, pada jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah, perempuan justru menjadi target perekrutan.
”Perempuan dianggap efektif karena dianggap tidak dicurigai dan nantinya akan memberikan dukungan kepada pria yang akan menjadi pendampingnya,” kata Bonar.
Ditambah lagi, lanjut Bonar, karena mereka biasanya merupakan kelompok tertutup atau eksklusif, ada kecenderungan untuk mengawinkan sesama anggota mereka agar terbentuk keterikatan. Bagi kelompok JAD, hal itu merupakan bagian dari strategi.
Menurut Bonar, pemerintah tidak bisa sendirian dalam menghadapi terorisme. Diperlukan sinergi yang tidak hanya antarkelompok agama, tetapi juga masyarakat. Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 dinilai cukup baik.
Ini karena di situ diatur mengenai pelibatan unsur-unsur masyarakat dalam mencegah terorisme secara komprehensif. Namun, di sisi lain, lanjut Bonar, pemerintah perlu mulai melakukan kontra-narasi terhadap pihak yang menyebarkan pemahaman atau tafsir agama yang menghalalkan kekerasan.
Meskipun mereka tidak melakukan kekerasan, dampak yang ditimbulkan sebenarnya jauh lebih luas dan panjang. Selama mereka dibiarkan, aksi teror dengan kekerasan akan terus terjadi.
”Mereka semacam memberikan oksigen kepada kelompok-kelompok dengan kekerasan untuk terus bernapas. Jaringan teror akan tetap eksis karena mereka merasa didukung. Tugas pemerintah melakukan kontra-wacana,” ujar Bonar.
Sementara itu, Direktur Imparsial Gufron Mabruri berpandangan, penanggulangan ancaman terorisme memerlukan kebijakan yang komprehensif dan sistematis. Yang dibutuhkan tidak hanya pendekatan keamanan, tetapi juga mengatasi faktor pendorong terorisme.
Menurut Gufron, ada sejumlah situasi yang menyebabkan teorisme dan ekstremisme kekerasan tumbuh subur. Di antaranya adanya penebaran kebencian atas dasar suku, agara, ras dan antargolongan (SARA) di media sosial.
Selain itu, masih kuatnya cara pandang eksklusif dalam bermasyarakat dan beragama yang diikuti sikap intoleran. Dalam konteks ini, yang diperlukan adalah deradikalisasi hingga kontraradikalisasi.
”Kerja tersebut perlu mengoptimalkan peran BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), tokoh agama, masyarakat, komunitas, dunia pendidikan, keluarga, dan lainnya. Kebijakan dan strategi yang parsial akan sulit menghasilkan capaian yang optimal karena akar dan sumber persoalan yang kompleks,” kata Gufron.