Kasus pencurian barang bukti oleh pegawai KPK dan dikabulkannya PK pengacara Lucas menjadi pukulan bagi lembaga pemberantasan korupsi. Hal ini bisa semakin menggerus kepercayaan publik.
Oleh
Prayogi Dwi Sulistyo/Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gerakan pemberantasan korupsi di Tanah Air mengalami dua pukulan pada saat hampir bersamaan. Di satu sisi, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan ada pegawai KPK yang mencuri barang bukti 1,9 kilogram emas. Di sisi lain, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali pengacara Lucas dalam perkara merintangi penyidikan yang dilakukan KPK.
Pemberhentian tidak hormat terhadap IGA, karyawan KPK yang mencuri 1,9 kilogram emas itu, disampaikan Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK Tumpak H Panggabean, Kamis (8/4/2021), di Jakarta. ”Yang bersangkutan adalah anggota satgas (satuan tugas) yang ditugaskan menyimpan, mengelola barang bukti pada Direktorat Labuksi (Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi) di KPK,” katanya.
IGA beberapa kali mengambil barang bukti kasus Yaya Purnomo di tempat penyimpanan barang bukti pada Januari 2020 dan baru diketahui pada Juni 2020. Yaya Purnomo adalah bekas pejabat Kementerian Keuangan yang terlibat kasus suap serta gratifikasi pengurusan dana alokasi khusus.
Selain berpotensi menyebabkan kerugian negara, tindakan IGA tersebut juga menodai citra KPK yang dikenal memiliki integritas tinggi. Menurut Tumpak, pimpinan KPK telah memutuskan kasus ini dibawa ke ranah pidana dan telah dilaporkan ke Polres Jakarta Selatan. IGA juga telah diperiksa penyidik kepolisian. Sidang yang dilakukan Dewas tidak akan menghapuskan pidana terhadap IGA.
Beberapa tahun lalu, KPK juga pernah memproses hukum pegawainya yang menyalahgunakan kewenangan. Bekas penyidik KPK, Ajun Komisaris Suparman, diproses hukum karena menerima uang, telepon seluler, dan tasbih kristal dari Tintin Surtini, saksi yang ia periksa dalam kasus korupsi PT Industri Sandang Nusantara. Bekas pegawai KPK, yaitu Endro Laksono, juga diproses hukum karena memakai uang sisa perjalanan dinas.
Peninjauan kembali Lucas
Kemarin, Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Andi Samsan Nganro mengatakan, MA membenarkan kekeliruan dalam putusan kasasi karena pengacara Lucas tidak cukup bukti menghalang-halangi KPK dalam mengejar Eddy Sindoro yang adalah mantan pejabat konglomerasi besar, terkait dengan suap kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Putusan peninjauan kembali (PK) perkara Lucas dijatuhkan pada 7 April 2021 dengan ketua majelis hakim Salman Luthan serta Abdul Latif dan Sofyan Sitompul sebagai hakim anggota. Andi mengatakan, atas dasar putusan itu, terpidana dibebaskan dari seluruh dakwaan penuntut umum.
Salman menyatakan pendapat berbeda terhadap putusan itu dengan pertimbangan alasan PK terpidana tak beralasan menurut hukum dan bertentangan dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Karena itu, alasan PK harus ditolak.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, diputus bebasnya narapidana korupsi pada tingkat PK ini melukai rasa keadilan masyarakat. Sementara itu, kuasa hukum Lucas, Aldres Napitupulu, mengatakan, dengan dikabulkan PK tersebut, seharusnya Lucas dibebaskan. Namun, ia masih menunggu hasil putusannya.
Guru Besar Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengatakan, kasus pencurian barang bukti oleh pegawai KPK dan dikabulkannya PK Lucas menjadi pukulan bagi lembaga pemberantas korupsi.
”Kepercayaan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi bisa semakin tergerus jika hal ini tak segera ditangani serius,” katanya.
Secara terpisah, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, dua peristiwa ini menunjukkan perjalanan perjuangan pemberantasan korupsi selalu menghadapi resistensi, baik yang dilakukan pihak luar maupun orang dalam KPK. Namun, itu tak akan pernah menyurutkan perjuangan pemberantasan korupsi.