Kasasi Ditolak, Eks Sekretaris MA Nurhadi Tak Harus Bayar Uang Pengganti Rp 83 M
Bekas Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi harus menjalani masa pidana selama 6 tahun penjara dan membayar denda Rp 500 juta setelah permohonan kasasinya ditolak majelis hakim MA.
Oleh
Susana Rita Kumalasanti
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan demikian, Nurhadi harus menjalani masa pidana selama 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta seperti putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sebelumnya. MA pun tidak menjatuhkan pidana tambahan uang pengganti seperti dituntut jaksa wajib membayar Rp 83 miliar seperti putusan pengadilan tingkat pertama.
Putusan tersebut dijatuhkan oleh majelis kasasi yang dipimpin hakim agung Surya Jaya dengan hakim anggota Desnayeti dan Sinintha Yuliansih Sibarani pada 24 Desember 2021.
”Tolak,” demikian petikan amar putusan di laman resmi MA seperti dikutip Sabtu (25/12/2021). Berkas perkara yang diregistrasi dengan nomor 4147 K/Pid.Sus/2021 itu baru diterima MA pada 5 Oktober lalu dan didistribusikan ke majelis kasasi pada 14 Oktober.
Sebelumnya, pada 10 Maret 2021, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyatakan Nurhadi terbukti bersalah menerima suap dan gratifikasi dengan total nilai Rp 49 miliar. Sebagai pejabat negara, Nurhadi terbukti menerima uang dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto sebesar Rp 35,72 miliar dan juga gratifikasi dari beberapa pihak yang diberikan melalui menantunya, Rezky Herbiyono.
Oleh majelis hakim yang diketuai Saifudin Zuhri dan hakim anggota Duta Baskara dan Sukartono, Nurhadi dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 dan Pasal 12 Huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 64 dan 65 Ayat (1) KUHP.
”Menyatakan terdakwa Nurhadi dan Rezky Herbiyono telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama, beberapa kali, secara terus-menerus sebagai perbuatan berkelanjutan,” kata Saifudin saat membacakan putusan.
Putusan tersebut jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa, yaitu 12 tahun penjara bagi Nurhadi dan 11 tahun penjara untuk Rezky beserta denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Keduanya juga dituntut membayar pidana tambahan berupa uang pengganti senilai Rp 83,9 miliar subsider 2 tahun penjara.
Namun, dalam persidangan, uang yang diterima Nurhadi dan Rezky dikoreksi oleh hakim menjadi Rp 35,7 miliar. Sebab, setelah mengetahui bahwa peninjauan kembali PT MIT ditolak MA, Hiendra menyomasi agar uangnya dikembalikan. Namun, uang itu telah digunakan untuk membeli lahan sawit di Padang Lawas, Sumatera Utara. Alih-alih mengembalikan uang, Rezky menyerahkan 21 sertifikat kebun sawit kepada Hiendra yang kemudian diagunkan untuk mendapatkan utang Rp 10 miliar.
Hiendra diduga menyuap Nurhadi melalui menantunya, Rezky, agar mengupayakan pengurusan perkara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (PT KBN) secara bertahap pada Mei 2015 dan Februari 2016. Perkara tersebut menyangkut gugatan perjanjian sewa-menyewa depo kontainer milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan seluas 26.800 meter persegi yang terletak di Jakarta Utara. Suap juga diberikan dalam pengurusan perkara gugatan melawan Azhar Umar terkait dengan sengketa kepemilikan saham PT MIT.
Selain dari Hiendra, Pengadilan Tipikor juga mengoreksi besaran gratifikasi yang diterima Nurhadi dan menantunya menjadi Rp 13,7 miliar. Uang itu diterima dari Handoko Sutjitro, Renny Susetyo Wardani, Donny Gunawan, dan Riadi Waluyo.
Terkait dengan uang pengganti Rp 83 miliar, majelis Pengadilan Tipikor tidak sepakat dengan tuntutan jaksa. Sebab, uang yang diterima Nurhadi berasal dari uang pribadi sehingga tidak menimbulkan kerugian negara. Oleh karena itu, Pengadilan Tipikor tidak menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti.
Putusan Pengadilan Tipikor tersebut dikuatkan oleh majelis tingkat banding dalam putusan yang dijatuhkan pada 28 Juni 2021. Majelis kasasi pun menolak pengajuan Nurhadi dan jaksa KPK sehingga putusannya sama dengan putusan tingkat pertama dan banding.
Penyuap
Sementara itu, Hiendra Soenjoto dituntut oleh jaksa KPK dengan pidana 4 tahun penjara dan denda Rp 150 juta atas pelanggaran Pasal 13 UU No 31/1999 juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Namun, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 4 bulan kurungan.
Dalam menjatuhkan vonis tersebut, majelis hakim mempertimbangkan hal-hal memberatkan terdakwa, yaitu pernah dihukum, tidak mengakui perbuatan, tidak berterus terang, dan tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Putusan Hiendra berubah karena di tingkat kasasi, MA menjatuhkan pidana 4,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 4 bulan kurungan. Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro pada 9 Desember 2021 mengungkapkan, majelis kasasi menyatakan Hiendra terbukti melanggar Pasal 5 Ayat (1) Huruf a UU Pemberantasan Tipikor.
Hiendra sempat menjadi buron setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Februari 2020. Hiendra baru ditangkap pada Oktober 2020. Sementara Nurhadi juga sempat menjadi buron sejak Februari 2020 dan ditangkap pada 1 Juni 2020 di kawasan Jakarta Selatan.