Bentuk Pemerintahan IKN Dinilai Tidak Sesuai Konsep Otonomi Daerah
Konsep dasar mengenai bentuk pemerintahan di IKN harus menjadi perhatian serius pembentuk UU. Sebab, baru kali ini ada pemerintahan daerah khusus yang tidak memiliki representasi politik lokal melalui lembaga legislatif.
Oleh
IQBAL BASYARI, RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembentuk undang-undang diharapkan mampu menghadirkan argumentasi hukum yang kuat mengenai bentuk pemerintahan ibu kota negara, yang dituangkan di dalam UU Ibu Kota Negara. Pasalnya, struktur pemerintahan yang sepenuhnya administratif di IKN itu belum dikenal dalam konsep otonomi daerah di Tanah Air.
Dalam kluster bentuk pemerintahan, UU IKN, antara lain, mengakomodasi draf pemerintah yang menyebutkan tentang penyebutan otorita dan kepala otorita sebagai kepala penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus IKN. Bentuk pemerintahan disepakati sebagai pemerintahan daerah khusus ibu kota setingkat provinsi yang selanjutnya disebut dengan otorita. Pemda khusus IKN ini dipimpin oleh kepala otorita IKN yang dibantu oleh wakil kepala otorita IKN. Nama IKN disepakati sebagai ”Nusantara”.
Kepala Otorita IKN adalah pejabat setingkat menteri yang ditunjuk oleh Presiden, bukan dipilih rakyat. Representasi politik di wilayah IKN hanya berskala nasional, yakni pemilihan presiden, pemilihan DPR, dan pemilihan DPD. Tidak ada DPRD di IKN Nusantara.
”Kalau kita lihat, belum pernah ada sebelumnya pemda administratif sepenuhnya. Kekhususan di Yogyakarta, misalnya, itu diberikan karena Sultan memang tidak dipilih dan ditentukan berdasarkan keturunan. Tata cara yang lebih dulu ada itu dihormati dan diakui oleh negara. Berbeda dengan kekhususan Papua dan Aceh, yang diberikan karena kondisi politik,” kata Mardyanto, Rabu (19/1/2022), di Jakarta.
Belum pernah ada sebelumnya pemda administratif sepenuhnya. Kekhususan di Yogyakarta, misalnya, itu diberikan karena Sultan memang tidak dipilih dan ditentukan berdasarkan keturunan.
Akan tetapi, dari tiga daerah istimewa atau khusus itu, semuanya memiliki representasi politik lokal. Baik di Yogyakarta, Papua, maupun Aceh, memiliki DPRD. Di Yogyakarta pun diatur adanya kabupaten/kota yang kepala daerahnya tetap dipilih oleh rakyat dan masing-masing memiliki DPRD. Konsep serupa ditemui di Jakarta, sebagai daerah otonom yang bersifat khusus, representasi politik lokal diakui dengan adanya DPRD dan gubernur dipilih oleh rakyat.
Pembentuk UU diharapkan mampu menghadirkan argumentasi hukum yang kuat bilamana ada gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi mengenai bentuk pemerintahan di IKN. Sekalipun pembentuk UU menyatakan telah mendasarkan rumusan itu pada Pasal 18 dan Pasal 18 B UUD 1945, maknanya bisa jadi berbeda dengan maksud konstitusi.
”Kekhususan daerah itu larinya bukan ke situ. Sebab, sekalipun dia merupakan daerah khusus atau istimewa, dia masih memiliki otonomi, baik secara politik, fiskal, maupun administratif. Berbeda dengan konsep pemerintahan IKN, yang menunjukkan tidak adanya otonomi sendiri,” kata Mardyanto.
Picu kerancuan
Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan mengatakan, bentuk pemerintahan daerah khusus itu berpotensi menimbulkan kerancuan. Pasalnya, daerah harus dimaknai sebagai satu kesatuan hukum yang berwenang mengatur wilayahnya sendiri. Artinya, daerah semestinya bersifat otonom. Konsekuensi dari bentuk pemda khusus ialah adanya kepala daerah dan lembaga perwakilan di daerah tersebut.
”Kecuali jika disebut dengan pemerintahan khusus IKN, maka dapat saja IKN itu menjadi suatu provinsi administratif yang kepala pemerintahannya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden,” katanya.
Selain itu, kehadiran IKN Nusantara berdampak langsung pada pengurangan wilayah administrasi di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Hal itu pasti mengakibatkan pendapatan asli daerah, terutama dari sektor pajak dan retribusi, di dua daerah itu berkurang.
”Berkurangnya wilayah mengakibatkan penduduk dan sektor ekonomi di daerah itu berkurang. Maka, dua daerah itu perlu diberi kompensasi atas kehilangan sumber-sumber PAD jika kurangnya cukup drastis,” ujarnya.
Kehadiran IKN Nusantara berdampak langsung pada pengurangan wilayah administrasi di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara.
Ketua Pansus RUU IKN Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, bentuk pemerintahan daerah khusus diatur di dalam konstitusi. Pembentuk UU telah merujuk pada Pasal 18 dan Pasal 18 B UUD 1945. Adanya sebutan otorita sebagai penyelenggara pemerintahan di IKN Nusantara hanya sebatas istilah.
Sementara itu, koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 17 kantor LBH di Indonesia serta Sajogyo Institute, Yayasan Srikandi Lestari, dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur menolak UU IKN.
”Sikap pemerintah yang memaksakan pemindahan ibu kota mencerminkan tidak sensitifnya penguasa terhadap kondisi masyarakat yang tengah sulit setelah hampir dua tahun dilanda pandemi Covid-19. Dana yang digunakan untuk mewujudkan pemindahan ibu kota akan sangat lebih berguna jika digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara yang sedang mengalami kesulitan,” kata Muhammad Isnur, Direktur YLBHI.