Akankah KPK Lumpuh di Era Presiden Jokowi?
LANGKAH Panitia Angket DPR untuk KPK kian absurd. Panitia Angket akan bersafari ke penjara dan menemui para koruptor. Mereka akan menyambangi Lembaga Pemasyarakatan Pondok Bambu dan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin untuk menemui para koruptor. Diharapkan, Panitia Angket mendapatkan data bagaimana koruptor diperlakukan tidak layak oleh KPK.
”Kami ingin mencari informasi mengenai apa saja yang mereka rasakan selama ini menjadi saksi, tersangka, dan terpidana kasus korupsi,” kata Wakil Ketua Panitia Angket Risa Mariska dari Fraksi PDI-P. Anggota DPR dari daerah pemilihan Bogor dan Bekasi ini menyebutkan, Panitia Angket menerima informasi ada perlakuan tidak semestinya saat tersangka diperiksa KPK.
Tentunya Panitia Angket akan menemui sejumlah koruptor dengan mudah. Sebut saja, mantan Ketua MK Akil Mochtar, Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Atut Chosiyah, dan sejumlah nama lagi. Dari mereka, dapat ditebak akan muncul sejumlah amunisi untuk menghabisi KPK sebagai lembaga ad hoc yang berujung pada bubarnya KPK atau pemandulan KPK.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, melihat upaya Panitia Angket adalah upaya balas dendam politisi terhadap KPK. ”Pemberantasan korupsi kini berhadapan dengan para penjarah kerah putih untuk membuktikan daya balasnya,” ujar Pohan.
Sebelumnya, Wakil Ketua Panitia Angket DPR untuk KPK Taufiqulhadi berencana mengundang ahli hukum tata negara untuk mencari pembenaran legalitas hak angket DPR. ”Ada yang mengatakan angket ini tidak tepat. Kami coba konsultasikan, itu benar atau tidak. Tidak ada perspektif yang mutlak. Boleh saja berbeda pendapat, tetapi kami harap bisa seimbang,” tutur politisi dari Partai Nasdem itu, seperti dikutip Kompas, 30 Juni 2017.
Langkah Panitia Angket mengundang ahli hukum tata negara, Prof Dr Yusril Ihza Mahendra dan Prof Jimly Asshiddiqie, akan jadi prioritas sebelum Panitia Angket memanggil Miryam S Haryani, anggota DPR dari Fraksi Hanura, yang ditahan KPK. Miryam ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas tuduhan memberikan keterangan palsu. Perkaranya segera disidangkan.
Asal-muasal hak angket itu adalah ketika pimpinan KPK menolak permintaan Komisi III DPR untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam Haryani oleh penyidik KPK. KPK menolak membuka rekaman tanpa proses pengadilan. Selama ini, rekaman hasil sadapan selalu dibuka di depan persidangan. Sebelumnya, saat menjadi saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Miryam mencabut sebagian keterangannya di berita acara pemeriksaan (BAP). Miryam beralasan, dirinya ditekan oleh penyidik KPK.
Menanggapi pencabutan BAP, penyidik senior KPK Novel Baswedan diperiksa sebagai saksi di persidangan. Novel menjelaskan, tak ada intimidasi dan penekanan. Novel bahkan mengatakan, Miryam dipengaruhi oleh koleganya sesama anggota DPR untuk mencabut keterangan di BAP. Novel menyebut sejumlah nama, seperti Bambang Soesatyo dan Masinton Pasaribu, yang memengaruhi Miryam. Miryam membantah pernah menyebut nama itu. Dari situlah, Komisi III DPR meminta KPK membuka rekaman dan ditolak KPK.
Entah ada kaitannya atau tidak, Novel Baswedan disiram dengan air keras oleh orang tak dikenal beberapa hari setelah memberikan kesaksian. Penglihatannya terganggu. Dia dibawa ke rumah sakit dan masih dirawat. Polisi masih menyelidiki kasus itu. Sampai sekarang belum terungkap siapa yang menyiramkan air keras kepada Novel.
Resistensi kuat
Panitia Angket DPR untuk KPK tampaknya perlu mencari dukungan politik dari ahli hukum tata negara. Sebelumnya, 357 profesor dari lintas universitas dan lintas disiplin ilmu mengeluarkan semacam ”petisi” menolak hak angket DPR untuk KPK dengan sejumlah argumentasi. Di antara ke-357 profesor itu, ada Prof Dr Mahfud MD, Prof Dr Denny Indrayana, Prof Dr Rhenald Kasali, dan masih banyak profesor tenar lainnya.
Mengundang ahli hukum tata negara atau mengundang siapa saja tentunya sah-sah saja. Panitia Angket memang diberi kewenangan undang-undang untuk itu. Tidak ada yang menolak bahwa DPR punya hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat. Tetapi, yang justru jadi persoalan sebenarnya adalah apakah tepat DPR menggunakan hak angket untuk KPK. KPK merupakan lembaga penegak hukum dan lembaga yang mandiri, bukan bagian dari pemerintahan. Apakah langkah DPR menggunakan hak angket sesuai dengan kehendak masyarakat yang diwakilinya?
Resistensi terhadap penggunaan hak angket DPR untuk KPK memang besar. Pernyataan terbuka 357 guru besar lintas universitas dan lintas keilmuan adalah salah satunya. Para guru besar itu sangat jernih menangkap niat DPR menggunakan hak angket adalah untuk melemahkan KPK. Para guru besar itu menolak penggunaan hak angket DPR untuk KPK.
Sekarang ini, KPK sedang menyelidiki kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik yang melibatkan sejumlah anggota DPR, termasuk Ketua DPR Setya Novanto yang sudah dicekal ke luar negeri. Kerugian negara pun besar.
Jajak pendapat harian Kompas, Senin, 8 Mei 2017, juga menyampaikan pesan serupa. Sebanyak 58,9 persen responden merasa keputusan DPR menggunakan hak angket tidaklah mewakili kepentingan masyarakat. Sementara yang menganggap mewakili kepentingan masyarakat sebanyak 35,6 persen. Mayoritas responden (72,4 persen) meyakini penggunaan hak angket DPR untuk KPK terkait dengan pengusutan kasus KTP elektronik yang dilakukan KPK.
Di dunia maya, seorang warganet, Virgo Sulianti Gohardi, menggalang dukungan petisi menolak hak angket melalui Change.org. Hingga Jumat, 30 Mei 2017, pukul 12.00, petisi itu ditandatangani 44.350 orang. Virgo menargetkan petisinya ditandatangani 50.000 orang.
Dari sisi teori representasi, pembentukan Panitia Angket DPR untuk KPK sebenarnya tidak punya legitimasi sosial atau tingkat representasinya amat rendah. Ditambah lagi, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS, dan Fraksi PKB menolak bergabung dalam Panitia Angket.
”Demokrat tidak bertanggung jawab terhadap apa pun yang ada di dalam Pansus Angket,” kata Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Demokrat Agus Hermanto, di Kompleks Parlemen, seraya menegaskan, Demokrat tidak setuju dengan Panitia Angket KPK.
”Kami menolak pelemahan KPK melalui hak angket. PKS istiqomah tidak mengirimkan anggotanya, tapi PKS tetap mengkritisi KPK,” ujar Ketua Majelis Syura PKS Hidayat Nur Wahid.
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar juga bersikap serupa, yakni menolak penggunaan hak angket untuk KPK.
Sejarah angket
Hak angket adalah hak konstitusional DPR. Tidak ada yang bisa menolak itu semua. Pasal 20 A Ayat 2 UUD 1945 secara gamblang mengatur soal hak angket. Pada masa parlementer juga sudah diatur soal hak angket dalam UU No 6/1954 tentang Hak Angket.
Dalam sejarah Indonesia, hak angket digunakan pertama kali pada tahun 1959. Diawali resolusi RM Margono Djojohadikusumo agar DPR menggunakan hak angket atas usaha pemerintah memperoleh dan cara mempergunakan devisa. Menurut catatan Subardjo dalam Penggunaan Hak Angket oleh DPR RI dalam Mengawasi Kebijakan Pemerintah, panitia angket pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953-12 Agustus 1955) diberi waktu enam bulan, tetapi kemudian diperpanjang dua kali dan menyelesaikan tugasnya Maret 1956 pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-24 Maret 1956). Namun, sayangnya, nasib panitia angket dan hasilnya tidak jelas.
Pada masa Orde Baru, DPR juga beberapa kali menggunakan hak angket menyangkut kasus Pertamina. Namun, upaya menggoyang pemerintahan Orde Baru itu kandas dan ditolak di paripurna DPR. Kekuatan Orde Baru bisa membendung penggunaan hak angket yang diinisiasi Santoso Danuseputro (Fraksi PDI) dan HM Syarakwie Basri (FPP).
Pada era Reformasi, hak angket juga pernah digunakan. Namun, semua obyek dari hak angket itu adalah pemerintah, yang memang sejalan dengan undang-undang.
UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD mengatur soal hak angket. Dalam Pasal 79 tentang Hak DPR disebutkan antara lain DPR mempunyai hak angket. Hak angket adalah hak DPR melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan undang-undang. Undang-undang juga menyatakan, panitia angket harus diikuti semua fraksi yang ada di DPR.
Dari sudut pandang legalistik, Panitia Angket DPR untuk KPK juga tak memenuhi aspek legalitas. Dari sejarahnya, hak angket diberikan kepada DPR untuk menyelidiki kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan undang-undang. Apakah itu pemerintahan Orde Baru ataupun pemerintahan pasca-Reformasi. Baru DPR 2014-2019 ini yang berinovasi mengajukan hak angket untuk sebuah komisi negara bernama KPK. KPK bukanlah pemerintah. KPK adalah lembaga penegak hukum.
Undang-undang juga mensyaratkan panitia angket diisi oleh semua fraksi yang ada di DPR. Maka, ketika Fraksi Demokrat, Fraksi PKS, dan Fraksi PKB tidak mengirimkan wakilnya, legitimasi yuridis dari panitia angket menjadi bermasalah.
Dari sisi politik, inisiator hak angket kebanyakan dari partai pendukung pemerintah. Ada Fraksi PDI-P pendukung utama pemerintahan Presiden Joko Widodo bersama dengan Nasdem dan Hanura. Koalisi pendukung pemerintah inilah yang justru getol mengusung hak angket.
Adapun Presiden Jokowi yang oleh PDI-P ditempatkan sebagai petugas partai seakan tersandera. Presiden Jokowi mengatakan tidak bisa mencampuri urusan DPR karena angket adalah urusan DPR. Presiden Jokowi hanya berharap KPK tetap diperkuat.
Sikap Presiden Jokowi terhadap KPK terasa berbeda. Ketika terjadi konflik antara KPK dan Polri, dan publik mendukung KPK, Presiden Jokowi menunjukkan sikap politiknya yang tegas untuk mendukung KPK. Begitu juga ketika penyidik KPK Novel Baswedan akan ditahan. Presiden Jokowi lantang berteriak agar tidak ditahan. Namun, untuk kali ini, Presiden Jokowi seperti tersandera, membiarkan KPK terdelegitimasi oleh koalisi pendukungnya di DPR.
Akankah KPK akan lumpuh di era Presiden Joko Widodo? Sejarah akan mencatatnya.