Lembaga Evaluasi Dinilai Perlu untuk Perbaiki Citra Parpol
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebuah lembaga independen untuk mengevaluasi kinerja partai politik dianggap perlu untuk dibentuk. Pemikiran tersebut muncul karena tingkat kepercayaan publik kepada partai politik di Indonesia kerap menempati urutan terbawah dalam kategori lembaga negara dan institusi demokrasi.
Tingkat kepercayaan masyarakat kepada partai politik (parpol) sebesar 48 persen dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 50 persen. Sementara itu, tingkat kepercayaan baru dianggap tinggi ketika mencapai angka di atas 50 persen. Publik yang merasa dekat dengan partai politik juga hanya mencapai 17,6 persen. Sebagai perbandingan, publik memiliki kepercayaan yang tinggi kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebesar 76 persen, Presiden 75 persen, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 68 persen.
Data tersebut diperoleh dari survei nasional terbaru oleh Poltracking Indonesia pada 8-15 November 2017. Survei yang bertajuk ”Evaluasi Pemerintah Jokowi-JK dan Meneropong Peta Elektoral 2019” ini menggunakan metode stratified multistage random sampling. Survei dilakukan terhadap 2.400 responden dengan memiliki margin error ±2 persen.
Sekjen DPP PDI-P Hasto Kristianto, dalam konferensi pers yang diadakan Poltracking Indonesia, Minggu (26/11), menyatakan, diperlukan sebuah lembaga yang melakukan evaluasi parpol sehingga komunikasi politik, perekrutan, kaderisasi, dan perjuangan kepentingan rakyat dapat diukur.
Dengan demikian, ada semacam pola kinerja parpol yang terukur. Tujuannya, untuk mencegah publik menyamaratakan kinerja parpol di Indonesia ketika ada partai yang kinerjanya buruk.
Lembaga yang mengevaluasi sebaiknya lembaga independen.
”Lembaga yang mengevaluasi sebaiknya lembaga independen,” kata pengamat politik Emrus Sihombing, di Jakarta, Senin (27/11), menanggapi pernyataan Hasto. Menurut Emrus, pemerintah dapat membentuk suatu lembaga yang berasal dari akademisi dan ahli dari sejumlah universitas yang telah diakui negara. Mereka harus teruji idealismenya dan tidak memiliki relasi dengan politisi atau partai mana pun.
Lembaga itu dapat melakukan penelitian terkait rekam jejak partai. Hasil evaluasi dapat diluncurkan secara berkala sehingga juga dapat menjadi suatu bentuk pengontrolan kinerja parpol. Adapun partai harus terbuka dalam memberikan data yang dibutuhkan.
Menurut Emrus, ada beberapa indikator yang dapat digunakan dalam mengevaluasi suatu partai, bergantung pada apa yang ingin dinilai. Indikator dapat berdasarkan tingkat penerimaan masyarakat dan popularitas partai.
Indikator penilaian dapat dilakukan dari sisi akreditasi, pengelolaan keuangan partai, perekrutan anggota, dan proses kaderisasi.
Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda AR menambahkan, indikator penilaian dapat dilakukan dari sisi akreditasi, pengelolaan keuangan partai, perekrutan anggota, dan proses kaderisasi. Melalui kegiatan tersebut, publik juga dapat belajar mengenai proses berpolitik di Indonesia secara transparan.
Selama ini, banyak elite parpol di Indonesia yang terjerat dalam kasus-kasus pidana yang menurunkan citra parpol di mata masyarakat. Kasus yang terbaru adalah keterlibatan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto dalam kasus korupsi KTP elektronik. Status Novanto yang menjadi tersangka korupsi membuat terjadinya dinamika dalam internal Partai Golkar. Hal ini juga menurunkan elektabilitas partai berlogo beringin tersebut sebelum masuk masa pemilu 2018-2019.
Banyak elite parpol di Indonesia yang terjerat dalam kasus-kasus pidana yang menurunkan citra parpol di mata masyarakat.
Hanta mengatakan, rendahnya tingkat kepercayaan terhadap parpol terjadi bukan hanya di Indonesia. Parpol dan DPR di negara-negara dengan sistem demokrasi secara umum juga tidak populer. Salah satu penyebabnya adalah ketidakpahaman publik terkait fungsi lembaga legislatif dan eksekutif. Parpol terkadang dikira memiliki fungsi eksekutif layaknya presiden. Padahal, parpol yang duduk dalam DPR sebenarnya memiliki fungsi legislatif, yaitu merumuskan perundangan.
”Semoga hasil survei itu menjadi pemacu bagi parpol untuk melakukan pembenahan. Data ini menunjukkan publik sebenarnya punya harapan agar parpol menjadi lebih baik,” tutur Hanta.
Parpol cenderung mendekati masyarakat dalam jangka waktu tertentu ketika ada kejadian khusus, seperti masa pemilu. Padahal, parpol seharusnya terus berada dekat dengan rakyat karena mereka memperjuangkan kepentingan publik. Kedekatan dapat dipererat dengan menambah jumlah posko pengaduan partai di daerah-daerah.
Perbaiki sistem kaderisasi
Keberadaan sebuah lembaga evaluasi dapat membuat partai lebih bijak dalam melakukan kaderisasi. Selama ini proses kaderisasi parpol menjadi momok karena beberapa faktor. Pertama, kuatnya pengaruh pendiri atau petinggi partai. Lalu, kuatnya pengaruh logistik atau kelompok kepentingan yang memberikan biaya politik. Terakhir, karena adanya politik dinasti atau keturunan (trah).
Ketiga faktor tersebut idealnya tidak boleh memengaruhi proses kaderisasi seorang calon. Menurut Emrus, integritas, kapabilitas, popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas yang seharusnya menjadi faktor penentuan dalam kaderisasi.
Dengan adanya evaluasi secara berkala, diharapkan proses kaderisasi suatu parpol menjadi lebih baik. Alasannya, partai adalah salah satu medium untuk menghasilkan pemimpin negara sehingga masa depan bangsa tergantung dari proses kaderisasi yang baik. (DD13)