Jaga Kerukunan dengan Pengamalan Pancasila
JAKARTA, KOMPAS — Semangat tentang kerukunan, perdamaian, dan saling menghargai adanya perbedaan itu tertuang dalam isi Pancasila. Pengamalan dasar negara harus terus digaungkan untuk menjaga persatuan bangsa mengingat ancaman perpecahan itu selalu ada.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, sejak Januari hingga September 2017, mereka telah menerima aduan e-mail mengenai adanya unsur SARA, hoaks, dan radikalisme di internet sebanyak 23.879 laporan. Untuk kategori SARA, terdapat 15.064 laporan. Kategori hoaks ada 7.493 laporan, sedangkan radikalisme 1.322 laporan.
Dengan banyaknya laporan e-mail itu terdapat ancaman perpecahan dalam kehidupan berbangsa patut diwaspadai. Perpecahan dapat ditangkal dengan membina kerukunan antarumat beragama.
Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Yudi Latif mengatakan, setiap sila dalam Pancasila itu mengandung nilai kerukunan. ”Nilai kerukunan ini dengan istilah lain disebut dengan gotong royong, yang bersifat cinta kasih. Kerukunan ini pula menjadi ajaran yang hadir di setiap keyakinan di Indonesia,” kata Yudi saat ditemui Kompas, di Kantor UKP-PIP, Jakarta Pusat, Jumat (12/1).
Yudi menambahkan, semangat kerukunan dan persatuan itu dapat dilihat dari berbagai peribahasa yang dimiliki suku bangsa yang ada di Indonesia. ”Di Sunda, kita punya ’silih asih, silih asah, dan silih asuh’. Di Melayu ada pepatah ’ada asam di gunung, garam di laut, bersatu dalam belanga’. Di Indonesia Timur, ada ungkapan ekspresi ’kita basodara’, yang artinya kita semua bersaudara,” kata Yudi.
Pada berita Kompas, Jumat, 12 Januari 2018, disebutkan, para pemuka agama se-Indonesia bakal mengadakan musyawarah besar pada 8-10 Februari 2018 di Jakarta untuk menyikapi kemunculan ancaman-ancaman terhadap kerukunan antarumat beragama. Kerukunan diserukan mengingat ancaman itu berpotensi memecah belah bangsa Indonesia yang sejak awal lahir dari keragaman suku bangsa dan agama.
Yudi menyambut baik rencana pertemuan para pemuka agama itu. Bagi dia, inisiatif para pemuka agama untuk duduk bersama dapat membawa angin segar ke ruang publik mengingat bangsa ini akan menghadapi pilkada serentak. Ajang demokrasi itu masih dikhawatirkan dapat memicu dilakukannya praktik politik identitas yang cenderung mengotakkan masyarakat dan tidak sesuai dengan ideologi Pancasila.
Inisiatif para pemuka agama untuk duduk bersama dapat membawa angin segar ke ruang publik mengingat bangsa ini akan menghadapi pilkada serentak.
Kemunculan para pemuka agama yang saling bergandengan satu sama lain itu bisa mencegah perpecahan yang dikhawatirkan muncul dalam pilkada mendatang. ”Di ruang publik, kemunculan suasana kerukunan dan perdamaian seperti ini dapat mengonstruksi masyarakat untuk berpikir lagi bahwa Indonesia ini jadi tempat menghargai perbedaan itu,” kata Yudi.
Menanggapi tentang akan diadakannya Musyawarah Besar Pemuka Agama, Sekretaris Keuskupan Agung Jakarta Adi Prasojo Pr mengatakan, ajang itu tidak hanya mempersatukan, tetapi juga mematangkan kehidupan berbangsa. Hal itu dapat terjadi karena pertemuan itu memungkinkan para pemuka agama untuk saling berbagi dan meneguhkan satu sama lain untuk kepentingan Indonesia.
”Kami yakin melalui perjumpaan itu toleransi hidup beragama dan persatuan kita sebagai bangsa Indonesia semakin tampak,” kata Adi, di Jakarta, Jumat siang.
Adi meyakini, kerukunan dan semangat keberagaman itu ada dalam tubuh Pancasila. ”Toleransi hidup beragama itu membangun bersama satu roh kebangsaan. Di atas perbedaan itu, kita ini sesama warga Indonesia. Roh kebangsaan ini sudah dirintis oleh pendiri bangsa kita,” kata Adi.
Toleransi hidup beragama itu membangun bersama satu roh kebangsaan. Di atas perbedaan itu, kita ini sesama warga Indonesia. Roh kebangsaan ini sudah dirintis oleh pendiri bangsa kita.
Adi menjelaskannya dengan tiga pilar dalam kehidupan berbangsa, yaitu Peristiwa Kebangkitan Nasional (1908), Sumpah Pemuda (1928), dan Proklamasi Kemerdekaan (1945). ”Ketiganya sudah dirintis oleh bapak pendiri bangsa. Kita harus menghidupinya dan mewariskannya sesuai dengan perkembangan zaman,” katanya.
Adi menambahkan, pengamalan Pancasila kemudian menjadi cara yang paling nyata dalam mewujudkan kehidupan berbangsa itu. Pada Kamis lalu, mereka mengadakan festival kebinekaan dengan mengundang tokoh-tokoh dari agama lain untuk berkomitmen menjaga peradaban bangsa ini.
Pancasila juga sudah menjadi bahan renungan Gereja Katolik sejak 2015. Pada 2018 memasuki tahun ketiga dengan merenungkan sila ketiga dalam Pancasila. Tahun 2018 dimaknai oleh Gereja Katolik sebagai ”Tahun Persatuan”.
Secara terpisah, Ketua Harian Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Robikin Emhas mengatakan, segala upaya mempromosikan perdamaian harus didukung. Ia beranggapan, perdamaian itu merupakan pesan suci keagamaan, selain menjadi ideologi Pancasila.
”Upaya mewujudkan perdamaian harus dilakukan terus-menerus oleh seluruh pihak, tanpa terkecuali. Apakah oleh pemerintah ataupun para pemuka agama,” kata Robikin saat dihubungi, Jumat petang.
Tanpa perdamaian, tak mungkin ada pembangunan dan kesejahteraan.
Robikin menegaskan, perdamaian ini adalah prasyarat bagi lahirnya peradaban. Pembangunan dan kesejahteraan dipercaya Robikin tidak akan ada apabila tidak disertai dengan perdamaian.
”Tanpa perdamaian, tak mungkin ada pembangunan dan kesejahteraan. Apalagi majunya peradaban,” kata Robikin. ”Justru boleh dibilang, perdamaian adalah prasyarat lahirnya peradaban.” (DD16)