Gus Mus Merepresentasikan Nilai-nilai Kebangsaan Nahdlatul Ulama
Oleh
Rini Kustiasih/Brigita Isworo Laksmi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus dalam menjaga Indonesia sebagai rumah bersama merupakan representasi dari nilai-nilai utama dalam Nahdlatul Ulama. Nilai-nilai itulah yang selama ini mewarnai upaya anak bangsa dalam mengikat tali kebinekaan di dalam perjalanan sejarah. Sikap toleransi dan penghargaan kepada yang berbeda telah menjadi simpul bagi tegaknya Indonesia yang majemuk.
Apresiasi kepada Gus Mus yang menerima Yap Thiam Hien Award Tahun 2017 terus berdatangan dari kalangan internal Nahdlatul Ulama. Gus Mus yang merupakan mustasyar atau penasihat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dipandang sebagai sosok ulama yang mampu menampilkan wajah Islam yang toleran, plural, dan mengutamakan ukhuwah basyariyah atau persaudaraan kemanusiaan. Ia juga merepresentasikan nilai-nilai dasar yang dianut NU.
”Kami sebagai warga NU sangat bergembira dan bangga karena beliau dianugerai Yap Thiam Hien Award. Beliau merupakan satu dari banyak kiai NU yang mengutamakan ukhuwah basyariyah, yakni persaudaraan kemanusiaan, di atas segala perbedaan. Di dalam NU sendiri, beliau adalah tempat bertanya dan merupakan pembimbing di kala kami menghadapi suatu persoalan,” kata Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini, Kamis (25/1) di Jakarta.
Sikap yang ditunjukkan Gus Mus adalah cerminan dari implementasi nilai-nilai NU yang menjunjung tinggi semangat kebangsaan. Ulama-ulama NU sejak dulu menanamkan tidak hanya pengembangan ilmu keagamaan, tetapi juga memberi penyegaran kepada umat tentang tiga nilai utama dalam praktik kehidupan berbangsa, yakni tawassuth (berada di tengah), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran).
”Gus Mus mempraktikkan itu semua. Nilai-nilai itu adalah jimat NU dalam menjaga Indonesia sebagai rumah bersama,” katanya.
Beliau merupakan satu dari banyak kiai NU yang mengutamakan ukhuwah basyariyah, yakni persaudaraan kemanusiaan, di atas segala perbedaan.
Atas dasar nilai-nilai itulah, NU meyakini agama menuntun manusia untuk bersikap inklusif, bukannya eksklusif. Hal ini karena ketiga nilai itu menghasilkan kelenturan dalam menyikapi sejumlah persoalan dan membuka sudut pandang berbeda atas segala sesuatu. Pendapat yang berbeda pun diakui dan diterima sebagai khazanah pengetahuan, sekaligus juga bahan pertimbangan dalam menilai segala sesuatu.
”Ulama NU, sebagaimana dicontohkan Gus Dur, Gus Mus, Kiai Said Aqil Siroj, dan Mbah Moen (Maimoen Zubair), selalu melakukan dua hal dalam satu tarikan napas, yakni religiositas dalam bingkai keindonesiaan. Artinya, selain menyampaikan dakwah keagamaan, juga menyampaikan kebinekaan. Tidak ada dikotomi konfrontatif dalam memelihara dua hal tersebut,” kata Helmy.
Salah satu ketua PBNU, Robikin Emhas, mengatakan, nasionalisme yang ditumbuhkan NU melalui jargon hubbul wathan minal iman yang digelorakan oleh pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, menegaskan sikap NU tentang kebangsaan dan nasionalisme.
Jargon tersebut memberi pesan mendalam tentang pentingnya memiliki rasa nasionalisme bagi segenap anak negeri. Mencintai Tanah Air tidak sebatas dari perspektif national interest, tetapi berdasarkan semangat keagamaan tepat.
”Antara lain karena hal itulah mengapa para tokoh NU, seperti Gus Dur, Gus Mus, KH Said Aqil Siroj, dan seluruh eleman NU, selalu menjaga wajah kebinekaan Indonesia. Tidak cukup hanya itu, NU bahkan berjuang agar kebinekaan dikelola sebagai kekuatan untuk memajukan peradaban, bukan sumber perpecahan dan kehancuran,” kata Robikin.
Salah satu prinsip hidup Gus Mus yang kemudian terus ditularkan kepada orang lain adalah ajakan untuk memanusiakan manusia. Memandang manusia berderajat sama, tanpa melihat latar belakang atau status sosialnya.
Atas dasar kesadaran realitas Nusantara yang terdiri dari multisuku, bangsa, agama, dan lain-lain, dalam proses pendirian NKRI, NU sepakat terhadap konsep negara bangsa (nation state). Sebagai konsekuensinya, dalam suatu negara bangsa, semua warga negara memiliki hak dan kewajiban serta kedudukan yang sama di mata konstitusi sehingga tidak satu pun warga negara yang boleh didiskriminasi, baik atas dasar suku maupun agama.
Dedikasikan diri
Rasa bangga dan apresiasi juga muncul dari kalangan pemuda NU dan Ansor. Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, Gus Mus dan kiai-kiai lain di NU tidak pernah mengharapkan imbalan atau penghargaan atas apa yang selama ini mereka lakukan.
”Mereka sepanjang hayat mendedikasikan hidupnya untuk kemanusiaan. Gus Mus, salah satu prinsip hidupnya, yang kemudian terus ditularkan kepada orang lain, adalah ajakan untuk memanusiakan manusia. Memandang manusia berderajat sama, tanpa melihat latar belakang atau status sosialnya. Dan ini hemat saya sudah sangat sesuai dengan prinsip-prinsip penghargaan atas hak asasi manusia. Intinya, Gus Mus sangat pantas menerima penghargaan tersebut,” kata Yaqut.
Direktur NU Online Savic Ali menilai Gus Mus sebagai salah satu panutan dan aspirasi anak-anak muda NU setelah wafatnya Gus Dur (Abdurrahman Wahid). ”Komitmen Gus Mus membela yang lemah (mustadh’afin), kritisisme terhadap segala jenis kekuasaan yang memiliki potensi menyimpang serta semangat mengayomi yang beliau kembangkan merupakan sikap hidup sangat penting di dunia, dan Indonesia, yang saat ini tengah dirundung awan gelap kebencian dan sentimen terhadap minoritas,” kata Savic.
Pemahaman atas hak asasi manusia di kalangan anak-anak muda NU pun semakin baik. Konsep tentang memelihara atau melindungi jiwa (hifdz nafs), akal/berpikir (hifdz aql), dan hak berkeyakinan (hifdz din) yang menjadi dasar prinsip hak asasi manusia makin luas dipahami generasi muda NU. ”Dengan adanya figur seperti Gus Mus akan mempermudah dan mempercepat proses transformasi pemahaman dan nilai-nilai tersebut di kalangan nahdliyin,” katanya.