Puisi
M Aan Mansyur
Bayi Tidur
Jari-jari rahasia pelan-pelan memetik satu
demi satu pikirannya, melepaskan mereka
dari segala keinginan.
Masa lalu & masa depan tidak pernah
& tidak akan pernah tiba, hilang
atau membeku di luar keberadaan.
Hanya masa sekarang selamanya. Ia telentang
tenang & terbuka sebagai buku catatan
di pangkuan Tuhan.
Pagi di Luar Jendela
Di pikiranku yang jauh, tumbuh
hutan yang bisa berubah jadi segala sesuatu
jadi api & asap
& hujan yang memadamkan
& langit yang tidak bisa lagi diperbaiki,
jadi kerakusan yang tidak terbatas
& kemiskinan yang memendam hasrat
memakan habis kerakusan,
jadi hasrat,
jadi hasrat yang tidak bisa berhenti,
jadi hasrat yang ingin berhenti jadi hasrat
seperti seekor burung tiba-tiba
jatuh dari udara,
jadi udara, jadi burung, jadi sayap burung,
jadi semua warna & beban di sayap burung,
jadi terbang yang tidak sanggup hinggap,
jadi hinggap di pikiran yang jauh,
jadi jendela, jadi pagi di luar jendela,
jadi kata-kata di puisiku, jadi hutan lain
di pikiranmu
yang bisa berubah sesukamu.
Deddy Arsya
Penangkapan Tuanku Imam
Telah datang kapal dengan
gerung terakhir. Kepala nakhoda
menjulur ke tubir. Lewat celah jeruji
& pukulan polong besi, kutitipkan ini:
Anak dan bini,
para gundik dan bujang udik,
setelah ini, tak akan ada lagi,
jatah ransum,
tinggal encok
mengantak-ngantak
di sumbu sumsum!
Telah hambar asmara,
gairah reda. Telah hambur rindu,
tersisa ngilu. Pada dengus terakhirmu,
kulepaskan ini:
Datuk dan tuanku,
para basa dan penghulu,
telah reda perang, mungkin aku
tak bakal lagi pulang,
tak akan kutemu negeri
seindah ini.
”Dari Pagadis ke Sikaladi,
tabik aku pamit minta diri,
salam ketika naik ketika turun
luka biar dibasuh hujan turun.”
Pertemuan Dua Imam
Imam dari segala akal & bicara
silang selisih kepadamu pulangnya
telah berbulan ke arah kami diletuskan meriam
berbulan menggedor-gedor benteng sulur strenggar
aku tunggu kamu di simpang jalan menuju rimba gadang
aku tunggu sampai di sini minta boleh ke Alahan Mati?
Aku sembelih nanti sapi hitam
dengan tanduk patah pangkal
memberimu makan.
Telah tumbuh cakak & kelahi
kanai anak peluru di dada kiri
--Jika pendek umur -------Tersudu upas & racun
& tumbuh malang. ---membiru tunggul & rahang.
--Jika tak selesai untung------- Tapi kata-kata berjaga-jaga
dengan bersentak pedang?---- bersua berat di jantung.
Telah ada hitam -----Yang hilang hendak dicari
telah ada putih. -------- yang mati hendak ditanam?
----Lalu berbunyi lagi strenggar
dua & tiga letusan membubung api.
Jadi begini saja
Imam dari segala tumbukbala
beri jawab tanya: Hendak dikilir kelewang
------atau sudah — jadi bajak ditempa?
Menunggu Kapal Budak
Di Koto Tangah, sebelum merapat sekoci.
Pada keruh muara membayang pirang jubahnya
pada pusar air berpasir berkelebat kilat matanya.
---------Di gua-gua tumpukan tengkorak
— bekas perang lalu — bersipongang suara:
---------”Sejarah — mahkota sumbing dari perak.
Mencatatnya — patah kalamku tiap terjejak.”
Di Koto Tangah, sebelum memuntal jarak.
---------Lewat pedati membawa beban para puti
— dua bukit di dada — kuning gading kuncupnya.
---------”Padamu tidak akan aku merasa bersalah,
toh sejarah telah tua dengan sengketa yang sama.”
Riki Utomi
Jalur Lancang Kuning
menyusup malam, bulan mengambang
riak-riak sungai tepercik di haluan.
layar kuning terbentang, bermain angin
menghalau laluan.
jalur tak berdusta pada alur
riak tak berkhianat pada desau angin
hulu lunas perahu tajam ke laut
susuri selat sampai pejam menyahut
lancang kuning masih berlayar
kabar masih dalam setumpuk
debar. harap menikam-nikam hati.
adakah tumpah segala tuju?
berujung janji, berujung tapak jejak
menjadi. tak pun tun teja mampu
bergerak, bila sumpah lebih berhulu
tancap di laluan raja.
selatpanjang, 2019
Selamat Malam, Dorak
ada yang mengucapkan ”selamat malam” di kelam lubuk.
suaramukah? siur lesap menimpa rimba ketapang.
kau berjalan susuri dorak dengan tatapan sayu depan
gedung bupati.
hanya kakimu menyepak. jejak demi jejak menjarah.
ruas jalan hening menyisakan letih tertahan.
kau bergumam dalam diam. bergusar dalam sabar.
malam makin jatuh, makin tenggelam di dasarnya.
selatpanjang, 2019
M Aan Mansyur bekerja sebagai pustakawan di Katakerja, Makassar. Buku puisinya antara lain Melihat Api Bekerja (2015).
Deddy Arsya tinggal di kaki Gunung Singgalang, Sumatera Barat. Buku puisi mutakhirnya berjudul Khotbah Si Bisu (2019).
Riki Utomi lahir di Pekanbaru, 19 Mei 1984, tinggal di Selatpanjang, Riau. Buku fiksinya antara lain Mata Kaca (2017).