Regulasi tentang pemilihan kepala daerah, baik gubernur, bupati, dan wali kota tercatat sebagai undang-undang yang paling banyak digugat di Mahkamah Konstitusi. Sepanjang tahun 2015, uji materi produk hukum UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terbilang paling banyak.
MK mencatat ada 31 permohonan uji materi terkait UU pilkada. Sejumlah putusan terkait dengan UU pilkada di antaranya adalah dihapusnya syarat minimal dua pasangan calon dalam pilkada. Jadi daerah yang hanya ada satu pasangan calon boleh tetap menggelar pemungutan suara setelah sebelumnya membuka kembali pendaftaran pasangan calon. Putusan ini tertuang dalam putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015.
Selain itu, MK juga mengubah basis penghitungan untuk menentukan persentase dukungan bagi calon perseorangan. Jika semula berdasarkan jumlah penduduk, diubah berdasarkan jumlah penduduk yang memiliki hak pilih atau berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di kontestasi politik sebelumnya. Hal ini ada dalam putusan Nomor 60/PUU-XIII/2015.
MK juga memutus bahwa anggota DPR dan DPRD harus mundur jika mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Ketentuan ini semula hanya berlaku untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sementara terkait dengan waktu penyelesaian sengketa pilkada, MK mengubah makna “hari” dalam UU pilkada dari hari kalender menjadi hari kerja.
Perkara lainnya yang juga diputus tahun 2015 terkait UU pilkada adalah terkait hubungan kekerabatan calon kepala daerah dengan petahana. Uji materi ini diajukan oleh Adnan Purichta Ichsan, salah satu keluarga Syahrul Yasin Limpo, anggota dinasti keluarga politik di Sulawesi Selatan. Pasal 7 UU Nomor 8 Tahun 2015 menyebut larangan calon kepala daerah memiliki hubungan kerabat dengan petahana.
Aturan ini dinilai membatasi hak politik warga negara untuk dipilih sebagai kepala daerah. Hasilnya, MK akhirnya mengabulkan gugatan tersebut. Calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana dapat maju di pilkada tanpa harus menunggu jeda satu periode setelah petahana tidak menjabat.
Periode kedua
Jauh sebelum hiruk pikuk uji materi aturan pilkada, peraturan yang sama dalam UU Pemerintahan Daerah yang terkait pilkada juga kerap digugat di MK. Salah satunya adalah soal masa jabatan satu periode pemerintahan terkait larangan maksimal dua periode untuk jabatan yang sama. Sejumlah kepala daerah menilai, aturan satu periode merugikan kepala daerah yang belum genap satu periode menjabat karena sudah dianggap satu periode.
Hal ini khususnya dialami oleh wakil kepala daerah yang harus menggantikan kepala daerahnya, baik karena meninggal dunia atau karena terjerat kasus hukum. Salah satu penggugatnya adalah Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, Bambang Dwi Hartono. Pada tahun 2009 ia mengajukan gugatan karena berniat maju kembali dalam pilkada Kota Surabaya tahun 2010. Bambang menjadi wali kota menggantikan Sunarto yang meninggal, 2,5 tahun sebelum periode Sunarto habis.
Tahun 2005 Bambang kembali terpilih di pilkada Surabaya sebagai wali kota. Menjelang pilkada 2010 Bambang berniat maju kembali. Namun karena sebelum pilkada 2005 dia sudah menjabat sebagai wali kota menggantikan Sunarto, banyak pihak menggangap peluang Bambang maju di pilkada 2010 tertutup karena sudah dianggap pernah menjadi wali kota selama dua periode. Untuk itu Bambang menjadi salah satu penggugat aturan ini ke MK guna memperoleh kejelasan tentang batasan waktu yang bisa dianggap satu periode tersebut.
Selain Bambang D. H., gugatan yang diajukan tahun 2009 juga diajukan oleh Bupati Jembrana, Bali, I Gede Munarsa; Bupati Karimun, Kepulauan Riau, Nurdin Basirun; dan Bupati Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, Gabriel Manek. Pada akhirnya atas gugatan ini MK memutuskan dan menafsirkan bahwa masa jabatan dihitung satu periode jika sudah menjalani setengah atau lebih dari batas maksimal satu periode (5 tahun) tersebut.
Atas putusan ini, Bambang pun harus rela tidak bisa maju menjadi calon wali kota Surabaya. Namun, Bambang maju menjadi calon wakil wali kota Surabaya mendampingi Tri Rismaharini pada pilkada 2010. Aturan “pindah kasta” ini tidak diatur atau setidaknya tidak dilarang dalam aturan terkait pilkada. Pada akhirnya pasangan ini pun tercatat meraih kemenangan. Dalam perjalanan pemerintahannya, Bambang mundur dari jabatan wakil wali kota karena berniat maju pada Pilkada Jawa Timur.
Soal syarat kepala daerah harus mengundurkan diri dari jabatannya jika harus maju di pilkada juga menjadi gugatan dalam uji materi aturan pilkada. Aturan ini dinilai diskriminatif antara kepala daerah petahana dengan pimpinan DPRD yang hanya non-aktif jika maju di pilkada. MK pun akhirnya mengabulkan tuntutan ini. Jadi kepala daerah yang kembali maju di pilkada harus cuti atau non-aktif sejak dirinya ditetapkan sebagai pasangan calon resmi.
Fenomenal dan pro-kontra
Yang paling fenomenal dari perubahan regulasi terkait aturan pilkada adalah saat MK memutuskan peserta pilkada tidak lagi harus dari partai politik. Ini keputusan yang cukup mengubah konstelasi politik di tingkat lokal. Putusan ini juga menginspirasi sejumlah pihak untuk mengajukan uji materi UU Pemilihan Presiden agar juga dimungkinkan calon presiden dari kalangan non-parpol.
Sisi pro-kontra yang begitu kental dalam proses perubahan regulasi aturan pilkada yaitu dibukanya peluang mantan narapidana menjadi calon dalam pilkada. Menurut MK, aturan ini inskonstitusional bersyarat sifatnya. MK memutuskan selama mantan narapidana yang bersangkutan jujur di depan publik terkait statusnya sebagai mantan narapidana, boleh maju di pilkada. Putusan ini mendapat reaksi negatif dari sejumlah pihak. Salah satunya peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR), Erwin Natoesmal Oemar. Ia menyatakan putusan ini merupakan yang terburuk sejak MK berdiri (Kompas, 31/12/2015).
Pro-kontra tidak berhenti sampai di situ saja. Selain terkait putusan MK, dalam Peraturan Komisis Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2016 juga disebutkan seorang yang menyandang status terpidana percobaan pun boleh ikut menjadi calon di pilkada. Aturan ini lahir dari perdebatan antara KPU dan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Namun karena dalam UU disebutkan bahwa KPU harus menjalankan hasil konsultasi dengan DPR, terutama terkait pembuatan Peraturan KPU, mau tidak mau aturan ini pun masuk dalam syarat pencalonan di pilkada. Inilah potret dinamika regulasi pilkada yang mengalami bongkar pasang.
Artikel Terkait:
Pilkada, Sejarah, dan Regulasi