Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Hartini, Jumat (30/12) lalu karena diduga menerima suap untuk promosi jabatan pegawai negeri sipil di Klaten, ingatan publik tergiring pada begitu seringnya belakangan ini para kepala daerah yang terpilih melalui Pemilihan Kepala Daerah terlibat kasus-kasus penyalahgunaan jabatan publik yang diembannya. Dugaan kasus korupsi yang menimpa Wali Kota Madiun, Jawa Timur, Bambang Irianto; kasus Wali Kota Cimahi, Jawa Barat, Atty Suharti; kasus Bupati Nganjuk, Jawa Timur, Taufiqurahman; kasus Bupati Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, Marthen Dira Tome, dan kasus yang menimpa Bupati Banyuasin, Sumatera Selatan, Yan Anton Ferdian, merupakan rentetan panjang yang tertangkapnya para kepala daerah oleh KPK pada tahun 2016 lalu.
Jumlah kepala daerah yang tersandung kasus korupsi menjadi semakin fantastis jika merujuk pada hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) kurun waktu 2010-2015. Saat itu, setidaknya sebanyak 183 kepala daerah, meliputi 110 Bupati, 34 Walikota, 16 Wakil Bupati, 7 Wakil Walikota, serta 14 Gubernur dan 2 Wakil Gubenur menjadi tersangka. Semakin fantastis jumlahnya dengan merujuk data Kementerian Dalam Negeri yang merangkum selama ini setidaknya sudah 343 Bupati atau Walikota dan 18 Gubernur tersandung kasus penyalahgunaan wewenang.
Kepala daerah yang tersandung kasus-kasus penyalahgunaan wewenang tersebut merupakan potret dari sosok-sosok pemimpin daerah yang dimunculkan dari proses rekrutmen pemilihan kepala daerah langsung. Sejak Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diberlakukan, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada). Artinya, selepas itu hingga periode Pilkada yang serentak dilakukan di 101 daerah pada 15 Februari 2017 ini (sebelumnya pada Desember 2015 dilakukan serentak di 269 daerah), tiga kali perubahan kepemimpinan berlangsung di daerah-daerah tersebut. Ironisnya, begitu banyaknya jumlah kasus yang menimpa para kepala daerah tersebut seolah menyingkirkan kehadiran potret sosok-sosok protagonis pemimpin daerah yang dianggap berhasil memajukan daerahnya.
Melihat parahnya kondisi yang dihasilkan, berbagai gugatan terhadap pola-pola rekrutmen kepemimpinan daerah melalui ajang Pilkada ini tidak terhindarkan. Intinya, apakah Pilkada hingga kali ketiga penyelenggaraan ini sudah berhasil melahirkan dan memunculkan pemimpin-pemimpin daerah yang mumpuni? Tidak cukup gugatan keberhasilan pola rekrutmen, gugatan eksistensial terhadap kebermanfaatan dari Pilkada pun tidak luput dipertanyakan. Apakah Pilkada benar-benar bermanfaat dan berelasi positif terhadap kesejahteraan masyarakat?
Semua pertanyaan gugatan semacam ini perlu ditempatkan sebagai momen krusial pengujian kembali terhadap berbagai tesis demokrasi yang dipercaya paling ideal dalam menata pola rekrutmen kepemimpinan lokal di negeri ini.
Sejauh ini, persoalan Pilkada harus diakui lebih banyak terjebak pada keriuhan pola-pola kontestasi antar calon kepala daerah. Pola persaingan, pertarungan, dan penguasaan lebih mendominasi wacana Pilkada. Selepas itu, persoalan-persoalan yang lebih esensial bagaimana kepemimpinan yang dilahirkan berproses hingga benar-benar mampu efektif memberdayakan segenap resources di wilayahnya tidak banyak mendapat tempat. Hingga akhirnya muncul kasus-kasus penyalahgunaan wewenang yang menimpa kepala daerah, barulah kita tersadarkan kembali adanya kekeliruan dalam praktik rekrutmen kepala daerah selama ini.
Dalam ajang Pilkada serentak 15 Februari 2017 ini, menjadi relevan jika gugatan evaluatif diajukan yang menjadi penuntun (proyektif) bagi tiap-tiap daerah yang terlibat. Pertama, dengan mengambil acuan bahwa demokrasi berelasi atau akan memuluskan kesejahteraan. Pertanyaannya, apakah tesis demikian sudah terwujud pada 101 daerah Pilkada? Mencermati data perkembangan indikator sosial dan ekonomi daerah, Indeks Pembangunan Manusia misalnya, kurun waktu satu dasa warsa terjadi peningkatan skor indeks pada setiap daerah. Namun, jika diperbandingkan secara relatif satu sama lainnya, akan menunjukkan tiga wajah daerah yang berbeda, yaitu daerah-daerah yang relatif lambat perkembangannya, daerah-daerah meningkat namun tergolong sedang peningkatannya, dan daerah-daerah yang konsisten meningkat pesat dari waktu ke waktu.
Pengelompokkan berdasarkan perkembangan kualitas pembangunan manusia bukan menjadi penentu mutlak bagi keberhasilan daerah. Dengan memadukan berbagai data perekonomian daerah hingga potret kesenjangan ekonomi yang terjadi pada setiap daerah mampu menyadarkan bahwa sebenarnya praktik demokrasi lokal tidak sepenuhnya disimpulkan berhasil memacu kesejahteraan masyarakat.
Kedua, dengan memfokuskan pada pola-pola kontestasi yang berlangsung, secara khusus terhadap eksistensi partai politik sebagai penopang demokrasi. Pertanyaannya, apakah partai politik menjadi semakin berfungsi ideal di dalam penciptaan kader-kader pemimpin dalam level daerah? Merujuk pada hasil Pilkada serentak periode 9 Desember 2015 lalu, di tengah kritik terhadap eksistensi fungsi partai, peran partai politik masih signifikan dalam ajang kontestasi politik. Terbukti, pasangan calon yang didukung partai lebih banyak jadi pemenang dibandingkan calon perorangan. Namun, kesan partai masih sebatas kendaraan politik bagi pasangan calon, dan bukan menciptakan pasangan calon yang siap uji, masih belum terbantahkan.
Pada Pilkada serentak lalu, tampak kontras jika dilihat dari betapa minimnya partai yang mengusung pasangan calon kepala daerah secara tunggal tanpa tambahan dukungan parpol. Tengok saja, dari 264 ajang pilkada yang dikaji, PDI-P jadi partai yang paling banyak mencalonkan kepala daerah (23 pasangan) tanpa tambahan dukungan parpol lain. Dari jumlah itu, 14 daerah berhasil dimenangi PDI-P. Kondisi yang agak berbeda terjadi pada partai-partai besar lainnya. Sekalipun memungkinkan untuk mencalonkan kadernya secara tunggal, tanpa perlu dukungan partai lain, tetapi pola-pola koalisi dukungan lebih banyak dilakukan. Gerindra, misalnya, partai yang memiliki beberapa kesempatan mencalonkan secara tunggal, hanya mencalonkan 1 pasangan. Demokrat mencalonkan 6 pasangan yang diusungnya secara tunggal dan hasilnya hanya 2 pasangan yang menang. Golkar yang mencalonkan 12 pasangan, tak satu pun menang.
Dalam perebutan kepemimpinan daerah, mayoritas partai lebih memilih berkoalisi dengan partai lain. Persoalannya, koalisi pencalonan yang terbentuk pun cenderung tak terpola. Latar belakang identitas kepartaian ataupun bentuk koalisi partai secara nasional yang muncul selama ini, seperti Koalisi Indonesia Hebat ataupun Koalisi Merah Putih, tak menjadi rujukan utama. Begitu pula hasilnya. Distribusi kemenangan berdasarkan kekuatan koalisi dalam pilkada tak tampak signifikan, yang sekaligus mengindikasikan wajah pragmatisme partai berkontestasi politik.
Ketiga, persolaan Pilkada adalah wujud dari kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya. Pertanyaannya, pada level masyarakat pemilih, apakah kedaulatan yang dimiliki diwujudkan dalam partisipasi politik mereka? Bagaimana pula dengan perilaku memilih mereka, apakah pola-pola pertimbangan rasionalitas dalam Pilkada kali ini lebih mendominasi dibandingkan pola-pola non rasional?
Terkait dengan tingkat partisipasi politik warga, berdasarkan pada fakta empirik sebelumnya, Pilkada yang sebenarnya menjadi bagian terdekat dari kedaulatan warga tampaknya masih belum sepenuhnya disambut masyarakat dengan antusias. Partisipasi pemilih berada di atas 25 persen (bahkan pada beberapa daerah hingga di atas 40 persen), masih di bawah ajang kontestasi pemilu nasional yang berkisar antara 20-25 persen semenjak Pemilu 2004 hingga 2014 lalu. Dengan riwayat partisipasi pemilih yang tergolong rendah tersebut, di samping persoalan legitimasi kedaulatan yang tidak lagi solid bentuk-bentuk keterlibatan warga yang minim menjadi ancaman bagi gerak kemajuan daerah.
Di samping persoalan-persoalan rendahnya partisipasi politik pemilih Pilkada, pola-pola perilaku memilih yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan irasional pun menjadi persoalan klasik dalam setiap ajang pemilu di negeri ini. Dalam hal ini, pilihan yang didasarkan pada pola kalkulasi ataupun pertimbangan individu terhadap calon pemimpin lebih banyak didasarkan pada persoalan-persoalan kedekatan identitas dibandingkan dengan kualitas personal pemimpin. Apakah aspek kesamaan ataupun kedekatan identitas suku, agama, jenis kelamin, ataupun kelompok masih menjadi bagian yang paling dominan dalam referensi pilihan dibandingkan kemampuan calon pemimpin. Menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah dasar pertimbangan demikian yang turut melanggengkan terhadap terhadap kemunculan pola-pola dinasti politik di berbagai daerah dan di sisi lain semakin mengecilnya peluang kemunculan sosok-sosok baru dalam kepemimpinan daerah.
Di luar acuan pertanyaan di atas, beragam turunan kerangka hipotetik lainnya dapat menjadi rujukan dalam membaca Pilkada serentak kali ini. Namun, dengan ketiga bingkai hipotetik tersebut, setidaknya pada ajang Pilkada serentak 15 Februari 2017 mendatang akan tersaksikan apakah arus perubahan positif politik yang akan berlangsung ataukah hanya sebatas replikasi politik kontestasi saja yang terjadi di negeri ini.