Pemilihan kepala daerah serentak gelombang kedua di 101 daerah yang akan digelar 15 Februari 2017 mendatang adalah “uji coba” kedua sebelum pelaksanaan pemilihan umum serentak 2019. Sebelumnya, pilkada serentak pertama telah digelar di 269 daerah di tahun 2015. Jika dibandingkan antara gelombang pertama dan kedua, ada satu gejala yang serupa, yakni dominannya calon petahana dan peran partai politik masih menjadi potret umum pilkada serentak kali ini.
Posisi petahana seakan menjadi daya tarik tersendiri dari setiap perhelatan pilkada serentak. Seperti halnya yang terjadi saat pilkada serentak 2015, pilkada tahun depan akan diramaikan oleh petahana yang maju kembali. Setidaknya dari data KPU, Litbang Kompas merekam sebagian besar (84,8 persen) dari total 337 pasangan calon adalah berasal dari petahana.
Menariknya, dari kelompok petahana, hampir separuh (46,4 persen) berlatarbelakang kepala daerah petahana yang maju kembali tanpa bersanding kembali dengan wakil kepala daerah petahana. Hanya 22,2 persen dari kelompok petahana ini yang pasangan calon merupakan paket petahana (kepala daerah dan wkail kepala daerah petahana maju kembali berpasangan).
[kompas-highchart id="petahana-1" /]
[kompas-highchart id="petahana-2" /]
Dominasi Parpol
Gejala lainnya adalah masih dominannya peran partai politik dalam menjaring pasangan calon. Sementara di sisi lain, potensi lahirnya pasangan calon dari jalur perseorangan atau nonpartai cenderung sepi. Dominasi partai politik dalam pencalonan ini juga semakin menunjukkan tingkat “kualitasnya”, dimana ada kecenderungan partai menutup peluang hadirnya banyak pasangan calon. Di sejumlah daerah terjadi mekanisme penguasaan dukungan partai, sehingga menutup munculnya pasangan calon lain dari jalur partai politik.
Akibatnya, gejala ini memengaruhi representasi politik dari munculnya pasangan calon. Bagaimanapun representasi politik menjadi hal penting untuk mendukung sejauhmana kualitas dari kontestasi dalam pilkada. Aturan pencalonan dalam pilkada pun sebenarnya secara hakiki “berharap” ada peluang yang terbuka lebar akan munculnya sejumlah atau banyak pasangan calon.
[kompas-highchart id="petahana-3" /]
[kompas-highchart id="petahana-4" /]
Setidaknya semangat ini bisa dilihat dari pasal 40 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota disebutkan Partai Politik atau gabungan Partai Politik. Pasal tersebut mengatur soal syarat pendaftaran pasangan calon dengan perolehan minimal 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.
Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa di setiap pilkada memungkinkan muncul 4 atau 5 pasangan calon dari partai politik maupun gabungan partai politik. Syarat 20 persen ditujukan untuk memberikan peluang dan kesempatan bagi partai politik untuk menjaring sekaligus mengakomodasi kepentingan masyarakat pemilih, sehingga mampu merepresentasikan keterwakilan dalam komposisi pasangan calon di pilkada. Asumsinya, semakin banyak pasangan calon yang muncul dari jalur dukungan partai politik, pemilih mendapatkan suguhan banyak gagasan dan progam dari banyak pasangan calon. Pemilih memperoleh kesempatan untuk memilih dan memilah dari semua pasangan calon yang ada.
Representasi Rendah
Dengan mengikuti syarat pencalonan seperti disebut di atas, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) membuat kategorisasi tingkat representasi politik. Tingkat representasi politik tinggi ditunjukkan oleh semakin banyaknya pasangan calon yang berlaga di pilkada. Sebaliknya, jika jumlah pasangan calon sedikit memperlihatkan representasi politik yang rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari formula berikut ini yaitu jika jumlah pasangan calon dari jalur partai politik antara empat sampai lima pasangan calon, maka menunjukkan representasi politik tinggi. Jika terdapat tiga pasangan calon bisa disebut representasi sedang. Selanjutnya, jika hanya ada satu atau dua pasangan calon maka menunjukkan kategori representasi rendah.
[kompas-highchart id="petahana-5" /]
Berdasarkan pengkategorisasian di atas, tingkat representasi politik sebagian besar wilayah yang akan mengikuti Pilkada 2017 menunjukkan representasi yang relatif rendah. Separuh lebih (53 persen) daerah masuk kategori representasi rendah dengan memiliki satu sampai dua pasangan calon peserta pilkada. Proporsi ini melonjak dibandingkan saat pilkada serentak gelombang pertama di 2015. Saat itu, proporsi daerah yang masuk kategori representasi rendah sebanyak 34 persen dari 269 daerah yang menggelar pilkada langsung. Artinya, jumlah daerah yang masuk kategori representasi tinggi dari jumlah pasangan calon yang maju melalui jalur partai politik semakin berkurang.
Bahkan saat ini, jumlah satu pasangan calon yang mengikuti pilkada cenderung bertambah, karena adanya beberapa kasus terkait gugurnya pasangan calon yang tidak memenuhi persyaratan administrasi kesehatan. Data sampai akhir November 2016 menunjukkan ada 10 daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon alias calon tunggal. Jumlah ini meningkat dibandingkan pilkada serentak 2015 dimana calon tunggal hanya ada di tiga daerah.
Konsentrasi Dukungan
Salah satu faktor yang membuat jumlah daerah dengan representasi rendah meningkat adalah adanya kecenderungan konsentrasi dukungan partai politik kepada satu pasangan calon. Tiadanya aturan batasan maksimal dari dukungan jumlah partai terhadap pasangan calon di undang-undang, membuat peluang menguasai mayoritas suara dan kursi partai politik menjadi tiket pencalonan di pilkada semakin terbuka lebar.
Lihat saja yang terjadi di Kabupaten Tulang Bawang Barat. Pasangan Umar Ahmad - Fauzi Hasan diusung oleh semua partai politik (10 partai) yang meraih kursi di DPRD, sehingga 100 persen kursi (30 kursi) di legislatif otomatis sudah dikuasai pasangan ini. Praktis, pasangan ini pun sampai saat ini tidak memiliki lawan di pilkada alias calon tunggal. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Landak. Di daerah ini muncul satu pasangan calon, Karolin Margret Natasa - Herculanus Heriadi yang diusung oleh delapan partai politik dengan total 32 kursi DPRD. Masih tersisa 3 kursi atau 9 persen dari total 35 kursi legislatif. Sisa ini di atas kertas tidak mungkin memenuhi syarat pencalonan yang minimal 20 persen kursi legislatif. Tak terhindarkan, pasangan tersebut saat ini melaju tanpa lawan. Gejala konsentrasi ini adalah potret kontestasi menjadi sesuatu yang dihindari dalam proses meraih kekuasaan politik. Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait pasangan calon tunggal menjadi pintu bagi praktek ini. Inilah tantangan bagi demokrasi elektoral di tingkat lokal.
[kompas-highchart id="petahana-6" /]