Calon petahana yang selalu hadir secara massif dalam ajang pemilihan kepala daerah membuat kontestasi politik lokal didominasi oleh para pejabat yang sedang berkuasa yang ingin melanjutkan kembali kekuasaan mereka. Setidaknya, ada dua motif yang melandasi keinginan para petahana untuk mencalonkan diri kembali, yaitu komitmen untuk membangun daerah atau melanggengkan cengkeraman kekuasaan mereka di daerah.
[kompas-highmap id="container" map_collection="https://code.highcharts.com/mapdata/countries/id/id-all.js" ext_lib="https://cdnjs.cloudflare.com/ajax/libs/proj4js/2.3.6/proj4.js" /]
Pilkada serentak tahun 2017 yang akan berlangsung di 101 daerah mencatat, 83 daerah diikuti oleh calon petahana. Jumlah yang fantastis karena 80 persennya didominasi oleh calon petahana. Sebaliknya, daerah-daerah yang pertarungan politiknya benar-benar diikuti oleh kandidat pendatang baru atau non-petahana tidak lebih dari sepertiga bagiannya. Dengan kata lain, pilkada serentak tahun ini merupakan ajang pertarungan calon petahana.
Para petahana mendominasi bursa pemilihan kepala daerah dengan cara mengoptimalkan pola pencalonan di antara mereka. Pola pencalonan yang dimaksud adalah para petahana mencalonkan diri kembali dengan cara maju secara bersama-sama kembali dalam satu paket, kepala daerah maju dengan wakil yang berbeda, wakil kepala daerah maju dengan wakil yang berbeda, hingga petahana pecah kongsi yaitu kepala daerah dan wakilnya saling bertarung dengan pasangan yang berbeda.
Pola pencalonan ini menunjukkan, petahana ingin menciptakan peluang kemenangan dengan memanfaatkan masa kepemimpinan yang telah dilalui selama lima tahun. Petahana dianggap selalu lebih unggul lantaran telah memiliki pengalaman menjadi kepala daerah. Pengalaman ini secara politis sangat menguntungkan karena menjadi modal utama dalam menyusun jaringan kekuasaan yang ditata melalui organ-organ pemerintahan di daerah. Melalui jaringan ini para calon petahana membina hubungan secara langsung kepada masyarakat sebagai basis popularitas yang identik dengan potensi dukungan dalam kontestasi politik. Hubungan yang bersifat patron-klien ini dipelihara melalui mekanisme tertentu agar bisa dimobilisir untuk kemenangan calon petahana.
Sebaran Calon Petahana
Minat petahana untuk bertarung kembali dalam rangka merebut singgasana kekuasaan tertinggi di daerah ternyata memiliki pola penyebaran yang bervariasi di tiap-tiap provinsi. Menurut catatan Litbang Kompas, 101 daerah yang akan mengadakan pilkada pada 15 Februari mendatang tersebar hampir di semua provinsi di Indonesia. Hanya 7 provinsi yang wilayah kabupaten/kotanya menjadi peserta pilkada hanya diikuti oleh calon non-petahana. Ketujuh provinsi tersebut adalah Kepulauan Riau, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara.
Sebaliknya, daerah-daerah yang peserta pilkadanya diikuti oleh calon petahana tersebar di di 27 provinsi. Aceh merupakan provinsi yang tercatat paling banyak calon petahananya. Dari 21 pilkada (termasuk pemilihan gubernur), 19 di antaranya diikuti oleh calon petahana, yaitu pilgub dan 18 pemilihan bupati/wali kota. Peringkat kedua ditempati Papua dengan 11 pilkada yang diikuti oleh calon petahana.
Di peringkat berikutnya adalah Jawa Tengah, Papua Barat, Maluku, Sulawesi Tenggara, dan Lampung yang calon petahana ikut bertarung pada 4 hingga 6 pilkada. Sementara di Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, Jambi, DI Yogyakarta, Kalimantan Tengah, dan Gorontalo tercatat keikutsertaan calon petahana tersebar di 2 hingga 3 pilkada. Di peringkat terbawah merupakan sebaran calon petahana yang ikut dalam satu pilkada dalam satu provinsi, yakni di Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara.
Selain tersebar per daerah, calon petahana juga ikut bertarung dalam tingkatan pilkada, yaitu pemilihan gubernur dan pemilihan bupati/wali kota. Calon petahana yang maju kembali dalam pemilihan gubernur tahun ini tersebar di 5 provinsi, yaitu Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Gorontalo, dan Papua Barat. Sisanya, bertarung pada tingkat pemilihan bupati/wali kota, kecuali DKI Jakarta.
[kompas-highchart id="pola-1" /]
Pola Pencalonan
Sudah menjadi rahasia umum, dalam setiap pilkada para calon petahana menggunakan posisi mereka masing-masing untuk meraih peluang dukungan rakyat. Petahana yang mencalonkan diri kembali bisa dikenali melalui 4 pola pencalonan yang berbasis pada posisi para petahana, yaitu kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pola yang paling populer adalah kepala daerah dan wakilnya (petahana) maju kembali secara bersama-sama dalam satu paket. Pola ini terlihat paling ideal dan mampu meraup dukungan yang besar karena popularitas paket petahana ini sudah terpupuk selama 5 tahun memimpin.
Pola berikutnya adalah hanya satu petahana yang mencalonkan diri kembali entah kepala daerah atau wakil kepala daerah saja. Pola ini paling sering terjadi karena salah satu petahana tidak bisa mencalonkan diri lantaran ketentuan undang-undang, keinginan pribadi, atau terkendala kasus hukum. Jika persoalan tersebut menimpa kepala daerah petahana maka wakilnya akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Di beberapa daerah wakil kepala daerah petahana tetap mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah.
Pola terakhir adalah kepala daerah dan wakil kepala daerah maju bersama untuk memperebutkan posisi kepala daerah. Para petahana ini saling bersaing dengan menggandeng pasangannya masing-masing untuk saling mengalahkan. Pola ini lebih dikenal sebagai petahana pecah kongsi.
[kompas-highchart id="pola-2" modules="treemap" /]
Konfigurasi Pola
Dari hasil penelusuran Litbang Kompas terungkap adanya kompleksitas konfigurasi pola pencalonan petahana ini terdapat di provinsi-provinsi yang penyelenggaraan pilkadanya tersebar di minimal 3 daerah. Sebut saja Aceh, yang 86 persen pilkada di provinsi ini diikuti calon petahana. Di sini terdapat calon petahana yang maju kembali dalam satu paket di 3 daerah. Sementara kepala daerah petahana yang mencalonkan diri kembali dalam pilkada 2017 tersebar di 5 daerah. Wakil kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah tersebar di 6 daerah. Selain itu, terdapat juga petahana yang pecah kongsi dalam kontestasi politik di Aceh sekarang yang tersebar di 5 daerah.
Pola pencalonan petahana seperti ini juga terdapat dalam pilkada serentak di Papua dan Jawa Tengah dengan distribusi pasangan calon yang lebih kecil. Dari 11 pilkada yang diikuti calon petahana di Papua, calon petahana kepala daerah dan petahana pecah kongsi mendominasi pola pencalonan petahana di Papua, masing-masingnya tersebar di 4 daerah. Distribusi calon petahana serupa juga terlihat dalam pilkada serentak di Jateng, di mana calon kepala daerah petahana terjadi di 2 daerah dan calon petahana pecah kongsi juga terjadi di 2 daerah. Proporsi calon petahana paket dan calon wakil kepala daerah petahana hanya separuh bagian dari dua pola pencalonan sebelumnya.
Di provinsi yang penyelenggaraan pilkada serentaknya semakin sedikit terlihat distribusi pola pencalonan petahana yang tidak merata. Maluku dan Papua Barat memiliki distribusi yang relatif lebih banyak, yaitu 3 pola pencalonan antara lain, calon petahana paket, calon kepala daerah petahana, dan calon wakil kepala daerah petahana. Di kedua provinsi ini tidak terdapat calon petahana pecah kongsi. Sementara di provinsi-provinsi yang lain distribusi pola pencalonan tercatat maksimal hanya dua pola. Pada umumnya, distribusi seperti ini terjadi di provinsi yang penyelenggaraan pilkada serentaknya hanya berlangsung di satu hingga 3 daerah.
Konfigurasi pola pencalonan petahana yang bervariasi di tiap-tiap provinsi menunjukkan bahwa calon petahana memiliki rasa percaya diri yang tinggi untuk memenangi pilkada sebagai prasyarat untuk melanggengkan kekuasaan mereka di daerah. Semakin lama petahana berkuasa menunjukkan semakin kuat kekuasaan mereka mencengkeram di daerahnya.