Pemilihan kepala daerah Provinsi Banten tahun 2017 bakal berlangsung ketat karena hanya menghadirkan dua pasangan calon dari dua kubu yang saling bertolak belakang. Di satu sisi ada calon petahana yang popularitasnya kian merasuk dan menghuni memori kolektif masyarakat Banten. Di sisi lain, rivalnya bermodalkan dukungan mayoritas partai politik di lembaga legislatif provinsi dan menggandeng pewaris dinasti politik yang mempunyai jejaring kekuasaan di hampir seluruh wilayah Banten.
Kemenangan dalam sebuah kontestasi pilkada tidak ditentukan oleh satu atau dua faktor semata. Adagium ini berlaku pula dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Banten. Selain basis kekuatan dukungan parpol, penentu kemenangan yang tidak kalah penting adalah kekuatan masyarakat sipil. Unsur masyarakat sipil yang memiliki pengaruh besar di Banten yakni kiai/ulama dan jawara yang secara historis menjadi bagian penting dari masyarakat Banten. Selain itu, kemenangan kandidat juga ditentukan oleh jaringan kekerabatan dan popularitas.
Mengacu pada dukungan parpol pengusung, di atas kertas pasangan Wahidin Halim-Andika Hazrumy mutlak mengunguli petahana Rano Karno. Pasangan ini disokong oleh sebagian besar partai yang bercokol di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten, yaitu Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Parpol pendukung tersebut menguasai dua pertiga kursi di DPRD atau mendapat dukungan 2,3 juta pemilih pada Pemilihan Umum (pemilu) Legislatif tahun 2014 lalu.
Dibandingkan dengan pasangan Rano Karno-Embay Mulya Syarief, jumlah tersebut jauh lebih besar. Pasangan petahana hanya diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Nasional Demokrat. Ketiga partai itu hanya menduduki sepertiga kursi di DPRD dengan dukungan 1,6 juta pemilih.
Politik Dinasti
Demokrat dan Golkar merupakan partai yang menjadi tulang punggung utama pasangan Wahidin-Andika. Golkar yang menjadi “rumah” Andika merupakan “partai senior” yang mempunyai infrastruktur mapan, kader militan, dan konstituen tradisional yang tersebar di seluruh Banten. Sementara Wahidin, mantan Wali Kota Tangerang dua periode, tercatat sebagai kader Partai Demokrat.
Dukungan Golkar tentu tak lepas dari peranan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) setempat. Ketua DPD Golkar Provinsi Banten saat ini dipegang oleh Tatu Chasanah. Bupati Serang ini adik dari Atut Chosiyah Chasan, mantan Gubernur Banten yang adalah ibunda Andika.
Wahidin adalah Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat RepubIik Indonesia (DPR RI) dari Fraksi Demokrat mewakili Daerah Pemilihan (dapil) Banten III (Tangerang Raya). Wahidin adik dari Mantan Menteri Luar Negeri periode 2001-2009, Hassan Wirajuda. Wahidin juga pernah maju sebagai kandidat Gubernur Banten 2011-2016, Pada pilgub Banten 2011 Wahidin meraih 38,97 persen suara sah, kalah dari Ratu Atut Chosiyah-Rano Karno yang meraih 49,64 persen suara sah.
Selain dukungan parpol, posisi Andika dalam jejaring politik dinasti juga unggul di hampir seluruh kabupaten dan kota di Banten. Meskipun diterpa kasus korupsi yang melibatkan ibu dan pamannya, Andika masih mewarisi dinasti politik dari keluarga besar Ratu Atut Chosiyah. Ratu, sebagaimana Tubagus, dianggap sebagai gelar bagi keturunanan bangsawan di Banten.
Di Pandeglang, potensi kekuatan Wahidin-Andika cukup besar karena wakil bupati kabupaten ini, Tanto Warsono Arban, adalah adik ipar Andika. Sementara di wilayah lain ada Airin Rachmi Diany, Wali Kota Tangerang Selatan yang adalah istri Chaeri Wardhana, paman dari Andika.
Di Kabupaten Serang ada Ratu Tatu Chasanah, bibi dari Andika, sementara di Kota Serang hadir Tubagus Haerul Jaman yang menjabat wali kota. Jaman merupakan adik tiri Ratu Atut Chosiyah atau paman dari Andika. Sementara di Kota Tangerang, meskipun bukan merupakan jaringan politik dinasti, hadir Arief Rachadiono Wismansyah. Wali Kota Tangerang ini bisa dikatakan sebagai “murid” Wahidin saat menjabat sebagai Wakil Wali Kota Tangerang pada periode sebelumnya. Kemungkinan besar Arief akan mendukung pasangan Wahidin-Andika.
Potensi kekuatan Wahidin-Andika yang secara politik solid juga ada di Kota Cilegon dan Kabupaten Tangerang. Kedua kepala daerah wilayah tersebut, yakni Wali Kota Cilegon Iman Aryadi dan Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar merupakan kader-kader penting Golkar Banten.
Jika basis kekuatan hanya didasarkan pada dukungan parpol dan kalkulasi politik dinasti, Wahidin-Andika tampaknya bakal memenangi kontestasi pilkada Provinsi Banten. Belum lagi diimbuhi dengan soliditas partai pengusung dari Gerindra, PAN, PKS, Hanura, dan PKB yang cukup kuat, pasangan ini bakal mengungguli Rano-Embay.
Masyarakat sipil
Akan tetapi, penentu kemenangan dalam sebuah kontestasi pemilu tidak semata-mata ditentukan hitung-hitungan di atas kertas. Dalam konteks pilkada Banten masih ada penentu lain yang tidak kalah penting yakni dukungan di kalangan masyarakat sipil dan popularitas calon di masyarakat Banten.
Di Banten, secara historis terdapat dua kekuatan masyarakat sipil yang berpengaruh kuat dalam struktur masyarakat, yakni kiai/ulama dan jawara. Selama ini, kepala daerah terpilih di Banten umumnya didukung oleh barisan ulama dan jawara. Ulama dan jawara di Banten memiliki jaringan yang kuat dan mengakar hingga lapisan massa yang paling bawah, antara lain melalui pondok-pondok pesantren dan perguruan-perguruan bela diri/pencak silat dan yang tersebar di akar rumput. Tak heran bila pengaruh mereka kerap mengalahkan peran partai dalam memberi warna politik lokal di Banten.
Ulama di Banten tak sekadar dianggap sebagai tokoh agama, tetapi juga sebagai pemimpin masyarakat. Pondok pesantren menjadi basis utama para ulama dalam menggalang pengaruh terhadap masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan catatan Kementerian Agama, Jumlah pondok pesantren di Banten saat ini tak kurang dari 5.700 pesantren.
Beberapa waktu pascareformasi, karisma ulama di Banten sempat meredup. Para kiai dipandang kehilangan kemandirian karena kerap menjadi penerima bantuan pemerintah dan sekadar berfungsi sebagai pendulang suara politik praktis. Namun, stigma itu perlahan terkikis. Masyarakat Banten cenderung menempatkan ulama dalam posisi penting. Kiai dianggap sebagai sumber dukungan penting bagi para calon yang akan maju pilkada. Alhasil, sulit bagi calon kepala daerah di Banten memenangi pilkada tanpa dukungan dari kaum ulama.
Dalam kontestasi pilkada Banten mendatang, dukungan ulama bisa jadi lebih condong kepada pasangan Rano-Embay dibandingkan rivalnya. Sosok Embay yang mendampingi petahana dikenal sebagai tokoh ulama dan Ketua Persatuan Umat Islam di Banten. Selain itu, Embay sebagai sosok ulama bisa menjadi pilihan masyarakat yang secara kultural sangat agamis. Hal sebaliknya berlaku untuk para jawara.
Secara sosial, posisi jawara dalam masyarakat Banten cukup tinggi. Jawara pada awalnya adalah orang-orang atau kelompok orang yang memiliki kemampuan bela diri (pencak silat) dan disegani. Berdampingan dengan kiai, jawara pada zaman Kesultanan Banten membantu sultan dalam melawan pemerintah kolonial Belanda.
Namun, seiring perjalanan waktu citra jawara pun bergeser. Jawara kerap diasosiasikan sebagai preman karena identik dengan pihak yang menguasai suatu kawasan. Jawara konon bisa disewa untuk keamanan dengan menjadi penjaga atau centeng.
Pada masa Orde Baru, pengorganisasian jawara ke dalam organisasi modern membuat mereka berubah wajah dari jagoan bela diri menjadi jawara yang masuk dalam bisnis dan ekonomi. Alhasil, jawara pun mendapat banyak proyek dari pemerintah sebagai bentuk “terima kasih” atas kemampuannya menghimpun suara rakyat memenangkan Golkar di Banten. Tak heran, banyak jawara yang menjelma menjadi pengusaha yang sebagian besar berbisnis di proyek milik pemerintah seperti pengadaan lahan, pembangunan jalan, dan pembangunan gedung.
Ketika rezim Orde Baru runtuh dan Banten menjadi provinsi, para Jawara yang sudah bertranformasi menjadi pengusaha menjadi aktor yang mendominasi arena politik lokal Banten. Jika dulu pengaruh jawara hanya dalam ranah kultural, kini melebar ke ranah struktural dari akar rumput hingga petinggi.
Menurut Abdul Hamid, pengajar Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, peran jawara dalam konstelasi politik di Banten pascareformasi cukup besar. Banyak kalangan jawara aktif di berbagai partai politik, baik partai besar ataupun partai baru. Jawara mengalami transformasi selanjutnya dengan mengokohkan peranannya sebagai elite paling dominan dalam pertarungan politik memperebutkan jabatan kepala daerah.
Dalam konteks jawara, peta kekuatan Wahidin-Andika bisa menarik dukungan para jawara dari kelompok pendekar Banten dan jaringannya. Kelompok pendekar itu pernah dipimpin Haji Chasan Shohib, ayah dari Ratu Atut. Chasan yang juga kakek dari Andika, dianggap sebagai ikon jawara yang berjasa dalam pembangunan prasarana di Banten.
Sementara bagi Rano Karno-Embay, dukungan dari jawara bisa didapatkan melalui Embay yang dikenal sebagai sosok jawara dan pengusaha yang berperan aktif membangun ekonomi kerakyatan. Di kalangan tokoh dan aktivis Banten, Embay dikenal sebagai “jawara putih” karena berani menyuarakan kebenaran.
Faktor lain
Faktor penentu lain kemenangan kandidat pada pilkada Banten adalah popularitas calon. Dalam hal ini Rano Karno sebagai calon petahana dipastikan paling populer di antara kandidat lainnya. Hampir pasti semua rakyat Banten mengenal Rano sebagai Gubernur Banten dan mantan artis. Beberapa survei terkait pilkada Banten pun menempatkan Rano Karno di posisi teratas sebagai calon gubernur yang disukai.
Faktor berikutnya adalah kekuatan yang ada pada elemen masyarakat kritis, yang meskipun jumlahnya tidak terlalu di Banten, tetapi pengaruhnya dalam beberapa tahun terakhir menguat. Mereka ada di kampus-kampus dan komunitas-komunitas kritis seperti organisasi kemahasiswaan intra maupun ekstra kampus, organisasi kepemudaan, lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan profesional.
Tak kalah penting adalah pragmatisme masyarakat Banten yang bisa jadi menentukan kemenangan calon. Pola pikir pragmatis ini kerap menjangkiti masyarakat kelas bawah yang secara ekonomi berada di bawah rata-rata. Bagi kelompok ini, pilihan politik akan ditentukan oleh seberapa besar “imbalan” berupa uang atau barang yang mereka dapatkan. Jika pragmatisme masyarakat tinggi, bisa dipastikan calon yang memiliki modal kuat berpotensi memenangi pilkada.
Di antara faktor-faktor itu, pasangan Wahidin-Andika jelas unggul dalam dukungan politik dan dukungan kelompok jawara yang kemudian bertranformasi menjadi politik dinasti. Sementara dari kalangan ulama/kiai lebih condong kepada pasangan Rano Karno-Embay. Di atas kertas, kemungkinan Rano-Embay memenangi pilkada relatif tipis dibandingkan Wahidin-Andika.
Meski demikian, popularitas Rano sebagai gubernur petahana yang sudah dikenal masyarakat Banten berpotensi mendokrak perolehan suara. Selain itu, dukungan kelompok masyarakat kritis yang anti-politik dinasti turut mewarnai suara Rano-Embay. Tak salah jika pasangan petahana dianggap berpotensi menguji kekuatan politik dinasti di Banten.