Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Gorontalo tidak ubahnya menjadi pertarungan para kepala daerah. Betapa tidak, dari ketiga pasangan calon yang berlaga di pilkada tahun 2017 ini semuanya terdapat unsur kepala daerah maupun wakil kepala daerahnya. Rekam jejak pengalaman calon menjadi daya tarik bagi pilkada di provinsi ini. Boleh jadi tidak mudah bagi gubernur petahana untuk menghadapi lawan-lawannya.
Setidaknya ketidakmudahan ini pernah dialami oleh gubernur petahana Gusnar Ismail saat Pilkada Gorontalo 2012. Rusli Habibie yang ketika pilkada saat itu adalah Bupati Gorontalo Utara, berhasil mengalahkan sang petahana. Kini, setelah lima tahun, giliran Rusli harus menghadapi tantangan dari dua pasangan calon yang juga berunsur kepala daerah.
Pasangan Hana-Hasanah, meskipun tidak ada yang secara langsung pernah menjadi kepala daerah, namun pasangan ini tidak bisa dilepaskan dengan sosok Fadel Muhammad, suami Hana. Fadel sebelumnya adalah Gubernur Gorontalo dua periode, meskipun di periode keduanya harus mundur karena diangkat menjadi menteri. Pengaruh Fadel cukup kuat di Gorontalo. Setidaknya saat kampanye di Kota Gorontalo, Sabtu (28/1) yang dihadiri Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputeri, dalam orasinya, Megawati mengajak para simpatisan Fadel untuk mengarahkan dukungan ke Hana.
Diusungnya Hana oleh PDI Perjuangan bersama koalisi PPP, Gerindra, dan PKB ini menarik dicermati. Bagaimanapun Hana adalah kader Partai Golkar. Akibat langkah ini pula, Fadel mendapat sanksi dari partainya karena mendukung sang istri. Selain sanksi dicopot dari posisi Sekretaris Dewan Pembina Golkar, Fadel juga bakal dirotasi dari kursi pimpinan komisi di DPR. Fadel pun dilarang kampanye untuk calon di luar partai Golkar. Larangan ini karena Golkar sudah mengajukan pasangan Rusli Habibie-Idris Rahim. Paket petahana pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Gorontalo.
Pasangan petahana ini sendiri adalah paket yang sudah banyak makan asam garam pemerintahan di daerah. Rusli, seperti yang sudah disebutkan di atas adalah mantan Bupati Gorontalo Utara. Sementara Idris adalah birokrat karier yang pernah menjadi pejabat Bupati Gorontalo tahun 2005 dan Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo tahun 2006, sebelum kemudian terpilih mendampingi Rusli sebagai wakil bupati di Pilkada Gorontalo tahun 2006. Apalagi Rusli sendiri adalah Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Gorontalo. Tentu, Rusli berharap bisa menyamai rekor yang pernah diraih Fadel saat memenangi pilkada untuk periode keduanya dengan 81 persen suara.
Sementara pasangan ketiga, Zainuddin Hasan-Adhan Dambea merupakan pasangan yang sama-sama alumni kepala daerah. Zainuddin adalah mantan Bupati Pohuwato 2005-2010 dan mantan Bupati Bulukumba 2010-2015. Sepuluh tahun menjadi bupati dengan dua daerah yang berbeda adalah modal besar bagi Zainuddin untuk bisa memimpin Gorontalo. Sementara Adhan Dambea pernah menjadi Wali Kota Gorontalo 2008-2013.
Berebut Pengaruh
Peta pertarungan antar kepala daerah ini menarik karena ketiga pasangan akan berebut pengaruh. Setidaknya mereka akan memaksimalkan pengaruh yang penah mereka bangun selama menjabat kepala daerah. Pasangan Hana akan mengeksploitasi popularitas Fadel. Sebagai gubernur pertama di Gorontalo, Fadel telah melekat sebagai sosok yang tidak terpisahkan dengan Gorontalo.Saat pemilu 2014, Fadel meraih 163.054 suara atau 25,6 persen total pemilih di Pemilu 2014 dan mengantarkannya ke kursi DPR. Hal yang sama juga diraih Hana yang meraih 185.079 suara saat merebut kursi anggota Dewan Perwakilan Daerah dari provinsi Gorontalo di pemilu 2014. Tentu ini menjadi modal besar bagi Hana untuk bertarung di pilkada tahun ini. Raihan angka Hana sebanding dengan 29,2 persen total pemilih di Pemilu 2014.
Sementara pasangan Rusli-Idris tentu akan melakukan hal yang tidak jauh berbeda. Popularitas Rusli sebagai gubernur petahana dan mantan bupati Gorontalo Utara, tentu akan dimanfaatkan, terutama di wilayah-wilayah ini menjadi basis Rusli. Pasangan ketigapun akan banyak memanfaatkan pengaruhnya di daerah yang pernah dia pimpin, yakni Kabupaten Pohuwato dan Kota Ambon.
Namun, satu hal menarik adalah jika melihat komposisi jumlah pemilih. Dari 791.129 pemilih, hampir 35 persen berada di Kabupaten Gorontalo. Untuk itu, siapa yang bisa mendulang suara di wilayah ini, punya kans besar memenangi pertarungan. Zainuddin Hasan-Adhan Dambea boleh jadi bisa mengambil keuntungan di wilayah ini. Hal ini tidak lepas dari pengaruh Wakil Bupati Gorontalo Fadli Hasan yang notabene putra dari Zauinuddin Hasan.
Perebutan pengaruh inilah yang dilihat Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Negeri Gorontalo Rauf Hatu yang membuat pertarungan di pilkada Provinsi Gorontalo menjadi menarik. “Ketiga pasangan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing”, ungkapnya. Menurut Rauf ada pertarungan pengaruh, baik dari sisi petahana dan figur mantan kepala daerah. Gubernur petahana Rusli akan berhadapan dengan Hana yang notabene istri dari Fadel Muhammad, mantan Gubernur Gorontalo. “Sosok Hana tidak pernah lepas dari nama Fadel,” jelas Rauf. Karakter pemilih perkotaan yang rasional akan cenderung membandingkan ketiganya, dibandingkan pemilih tradisional yang tinggal di desa-desa.
Isu Ekonomi
Selain soal pertarungan politiknya, pilkada Gorontalo juga mengandung pertarungan visi ekonomi diantara ketiga pasangan calon. Pasangan Hana-Tonny akan lebih mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ekonomi yang berkeadilan terutama di sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata. Pasangan petahana (Rusli-Idris) lebih memfokuskan pada pertumbuhan ekonomiu yang inklusif dan berkelanjutan dengan jalan meningkatkan kualitas koperasi, UMKM, perindustrian dan perdagangan serta bertumpu pada sektor pertanian, perikamnan, peternakan, dan perkebuhan dengan komoditas unggulan. Terakhir, pasangan Zainuddin-Adhan cenderung mengembangakan berbagai usaha yang mendorong pembangunan sektor riil dan meningkatkan nilai tambah berdasarkan potensi sekitarnya.
Ketiga isu ekonomi dari masing-masing pasangan ini menjadi potret ketiganya sadar akan tantangan ekonomi dari wilayah Gorontalo ini. Jika dilihat dari indeks pembangunan manusia (IPM) dan PDRB, data di Gorontalo masih jauh di bawah rata-rata nasional. Bangunan ekonomi Gorontalo pun masih didominasi oleh pembangunan ekonomi secara fisik, namun belum maksimal dalam upaya meningkatkan indeks manusianya. Setidaknya hal ini terlihat dari rata-rata peningkatan PDRB dalam lima tahun terakhir mencapai 1,8, jauh melebihi rata-rata peningkatan IPM. Meskipun demikian, baik keduanya, antara IPM dan PDRB pertumnbuhannya masih di bawah pertumbuhan nasional.
Kondisi ini selayaknya menjadi catatan bagi semua pasangan calon. Membangun masyarakat Gorontalo tidak sekadar memenuhi pembangunan infstruktur semata. Pembangunan manusia jauh lebih penting karena ini terkait aset sumber daya manusia. Jika ini dipikirkan dan dipahami, kemudian dilaksanakan untuk sebuah perubahan, pilkada Gorontalo tidak akan sekadar terisi oleh hal-hal terkait kontestasi politik dan kuasa semata. Namun, sekaligus akan menjadi pertarungan ide dan gagasan. Pengalaman di eksekutif maupun di legislatif dari masing-masing pasangan calon mestinya menjadikan pilkada tidak sekadar pertarungan antar alumni kepala daerah semata.