Jarak antara Ibukota Kabupaten Lembata yaitu Kota Lewoleba ke Desa Lamalera di Kecamatan Wulandoni hanya 40 km. Seandainya kondisi jalanan lurus dan mulus, idealnya perkampungan nelayan pemburu ikan paus itu dapat ditempuh dalam waktu satu jam. Namun, kondisi jalan berliku, permukaan yang bergelombang dan penuh lubang, menyebabkan waktu tempuh menuju tempat yang terletak di ujung selatan Pulau Lembata ini menjadi tiga jam.
Kondisi jalan yang buruk ini juga menyebabkan masyarakat di Kota Lewoleba enggan mengunjungi tempat destinasi wisata paling terkenal di Pulau Lembata ini. Jalanan yang sangat sepi, menyebabkan sopir mobil yang saya sewa harus membawa serta dua orang temannya, untuk menepis kekhawatiran akan keamanan sekaligus membantu jika kendaraan mengalami masalah di jalan. Dan, betul saja, perjalanan menuju Lamalera terpaksa harus terhenti beberapa kali karena mobil mengalami masalah setelah melewati jalan berliku dan rusak parah. Perjalanan menuju kampung nelayan Lamalera lebih banyak menembus hutan dan lereng pegunungan, sangat jarang berpapasan dengan mobil lain, dan jarang bertemu permukiman penduduk. Jalan ini hanya rutin dilalui tiga buah bus setiap harinya.
“Sejak otonomi daerah (1999), baru sekali jalan ini diperbaiki, itu pun di awal otonomi saja. Sehabis itu, kondisinya ya begini, terus rusak tidak ada perubahan, meskipun kepala daerah telah tiga kali berganti. Perbaikan sesekali tapi hanya tambal sulam, terutama yang dekat dengan desa saja,” kata Gregorius, sopir yang kerap mengantarkan tamu dari Lewoleba ke Lamalera.
Kampung Pemburu Ikan Paus
Kampung nelayan Lamalera adalah desa wisata yang sudah terkenal di mancanegara sebagai satu-satunya kampung di Indonesia yang memiliki tradisi ekonomi yang unik, yaitu memburu ikan paus kotaklema (Physeter macrocephalus atau spermwhale). Pusat kehidupan warga nelayan di sini terfokus pada perburuan ikan paus dan lumba-lumba besar untuk dikonsumsi sekaligus alat tukar (barter). Hasil perburuan akan mereka bagi antarnelayan. Bagian kepala paus diolah menjadi minyak yang banyak dicari oleh turis, sementara dagingnya dipotong-potong lalu dijemur hingga kering, untuk ditukar dengan beras, sayuran atau kebutuhan lainnya dari kampung lain. Pertukaran biasanya dilakukan ketika hari pasaran tiba. Sepotong daging ikan kering memiliki nilai antara Rp 10.000 – Rp 20.000 tergantung musim.
Keberanian nelayan-nelayan Lamalera memburu ikan paus yang sangat besar, bahkan kadang harus bertahan berhari-hari terbawa kekuatan ikan, membuat desa ini terkenal dan cukup menarik minat wisatawan mancanegara untuk melihat kehidupan di sini. Sebagian dari mereka ingin melihat langsung aksi la mafa (penombak ikan) loncat dari paledang (perahu pemburu ikan paus) dengan tempuling (tombak bambu berseruit) di tangan, menghunjam langsung ke punggung ikan.
“Otonomi daerah membuat desa ini semakin sepi dari wisatawan, karena sejak itu kapal-kapal penumpang dari Larantuka yang biasanya bisa langsung menuju ke sini, diharuskan sandar di Lewoleba. Ada peraturan harus satu pintu. Sehingga, tamu-tamu (wisatawan) yang berangkat dari Larantuka terpaksa harus menempuh jalan darat dari Lewoleba ke sini yang rusak berat,” tutur Albert Beding, salah satu pemilik homestay di Lamalera. Ia juga menceritakan, wisatawan sering mengeluhkan badannya menjadi pegal-pegal setelah melewati jalan menuju Lamalera yang sangat buruk. Akibatnya, makin jarang wisatawan yang berkunjung ke sini.
Wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, paling banyak mengunjungi Lamalera pada akhir April hingga awal Mei. Setiap 1 Mei ada tradisi Misa Leva untuk memohon restu kepada Tuhan atas musim perburuan leva nuang (ikan paus) yang akan dimulai tanggal 02 Mei - 30 September setiap tahun. Sebelum otonomi daerah, pemimpin misa yang datang dari Larantuka menggunakan kapal menuju Lamalera dan disambut dengan upacara adat nelayan sini di tengah laut. Sudah menjadi kebiasaan, mereka akan menyambut tamu dengan menurunkan sejumlah paledang untuk menyambut tamu-tamu di laut depan perkampungan mereka.
Pilkada Lembata
Sebulan menjelang pilkada Lembata, berbagai pariwara pasangan calon kepala daerah dan wakilnya sudah menghiasi jalan-jalan menuju kampung nelayan Lamalera. Baliho berdiri di jalan-jalan depan rumah penduduk dan poster dari lima pasangan calon tertempel di pohon maupun dinding rumah.
Meskipun menjadi perbincangan sehari-hari masyarakat Lamalera, namun kondisi politik di sini relatif tenang. Keterbatasan jaringan telekomunikasi dan internet membuat mayoritas penduduk masih mengandalkan komunikasi bertutur dan relatif terhindar dari besarnya pengaruh kampanye lewat media sosial.
“Tidak seperti pilkada Jakarta yang ramai, di sini suasana menjelang pemilihan tetap tenang meskipun masing-masing sudah punya calon yang akan dipilih. Tiga calon cukup kuat di sini, yaitu calon nomor urut 1, nomor urut 2, dan nomor urut 5. Tapi, siapa yang paling kuat kita lihat nanti saja hasilnya pada hari pilkada,” kata RTB, penduduk Lamalera, sambil menyebutkan secara terus terang pilihan calonnya. Nomor urut 1 adalah pasangan Herman Yosef Loli Wutun – Yohanes Vinny K Burin, nomor urut 2 pasangan Viktor Mado Watun – Muhamad Nasir, sedangkan nomor urut 5 pasangan Eliaser Yentji Sunur – Thomas Ola.
Ajang pilkada di Lamalera adalah sarana memupuk harapan baru, menjalin kembali asa yang kerap tersisih. Selalu ada harap munculnya kepemimpinan yang dapat membuka keterisolasian mereka dari jangkauan pelayanan pusat pemerintahan Lembata. Refleksi atas keinginan mereka tergambar dari pilihan yang ditentukan.
“Saya akan pilih calon Nomor 1, Pak Herman, karena dia cukup memberi harapan. Saya sudah tidak yakin dengan calon Nomor 5 dan 2, karena selama lima tahun kepemimpinan bupati dan wakilnya itu sama sekali tidak ada perubahan di sini,” ungkat CM, nelayan Lamalera berumur 60 tahun. Ia adalah pendukung setia calon nomor urut 1 yang pada pilkada lima tahun lalu kalah oleh Eliaser Yentji Sunur yang berpasangan dengan Viktor Mado Watun. Bupati dan wakilnya itu kini masing-masing maju sebagai calon kepala daerah dengan dukungan partai yang berbeda. Sosok Herman Yosef Loli Wutun yang berpengalaman dalam Dewan Koperasi Indonesia, diharapkan oleh CM dapat memberikan program lebih merakyat bagi kampung Lamalera.
Namun, berbeda dengan CM, RTB memiliki pandangannya sendiri dalam melihat kemampuan kandidat bupati. Pergaulannya yang luas dengan dunia luar dan pengamatannya yang lebih intens terhadap proses pilkada Lembata lewat pemberitaan media televisi, memberikan pengaruh yang berbeda. Baginya, kemampuan intelektual lebih menarik perhatian. “Saya akan pilih Nomor 2 karena ia yang paling mampu. Dalam dua kali debat kandidat, calon Nomor 5 tidak pernah hadir, hanya mewakilkan pada calon wakilnya,” kata RTB. Kemampuan calon nomor urut 2 dalam debat dipandang paling meyakinkan bagi pemilik bus bertrayek Lewoleba-Lamalera ini.
Apapun pilihan mereka, bagi penduduk kampung Lamalera, pilkada ibarat punggung ikan paus, yang semburannya memberi tanda akan harapan baru. Dengan tempuling mereka akan memburunya, menegaskan asa di tubuh kotaklema.
Artikel Terkait:
Merindukan Sang Penunggang Kuda Pelor