Peluang Kemenangan Putaran Kedua
Hasil penghitungan suara pemilih Pilkada DKI hampir memastikan dua pasangan calon, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (Basuki-Djarot) dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno (Anies-Sandi), menjadi pemenang sekaligus akan bertarung kembali pada putaran kedua pilkada, 19 April. Pada putaran kedua pilkada, seberapa besar peluang kemenangan masing-masing pasangan tersebut?
Hasil Pilkada DKI yang terpublikasikan dalam hitung sementara KPU DKI menunjukkan, pasangan Basuki-Djarot menjadi pemenang dengan perolehan 42,92 persen, diikuti oleh pasangan Anies-Sandi yang meraih 40,05 persen, dan terakhir pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni (Agus-Sylvi) dengan perolehan 17,04 persen. Sekalipun bersifat sementara, dapat dipastikan pasangan Agus-Sylvi gagal.
Hasil penghitungan tersebut tidak banyak berbeda dengan hasil prediksi hitung cepat (quick count), survei pasca-pilkada (exit poll), dan survei pra-pemilu yang dilakukan oleh sebagian besar lembaga survei sebelum dan sesaat setelah pilkada dilakukan. Artinya, baik karakteristik para pemilih maupun dinamika pergerakan suara pilihan pemilih terhadap masing-masing calon dalam pilkada kali ini relatif terdeteksi sehingga prediksi perolehan suara pada pilkada lalu tergolong akurat. Bagi dunia penyelenggaraan surve opini publik, hasil demikian terbilang menggembirakan mengingat pada Pilkada DKI periode lima tahun lalu hampir sebagian besar survei gagal membaca peta konfigurasi kemenangan masing-masing kandidat yang saat itu bertarung.
Hasil prediksi sejumlah survei yang akurat selanjutnya memungkinkan untuk dijadikan dasar bagi prediksi putaran kedua pilkada. Pasalnya, sampai sejauh ini tidak dijumpai data baku lain, selain survei, yang mampu menggambarkan karakteristik pemilih dan perilaku memilihnya. Namun, perlu disadari pula bahwa metode prediksi demikian—yang bersandar pada data historis masa lampau—bukan satu-satunya cara yang menjamin akurasi. Apalagi, terdapat pula kelemahan pada metode semacam ini. Data historis hasil survei cenderung meniadakan dinamika politik yang memungkinkan terjadinya perubahan, termasuk perubahan yang potensial terjadi menjelang pilkada putaran kedua berlangsung. Oleh karena itu, idealnya diperlukan data survei longitudinal lanjutan guna membaca berbagai perubahan pilihan.
Menariknya, berdasarkan hasil sejumlah survei tersebut terdapat kecenderungan pengelompokan pemilih berdasarkan kesamaan-kesamaan karakter sosiologis, seperti karakteristik sosial ekonomi yang terkait dengan latar belakang pendidikan, ekonomi keluarga, orientasi pilihan partai politik, hingga pengelompokan berdasarkan pada kesamaan identitas primordial. Kesamaan-kesamaan karakteristik pemilih ditengarai menjadi faktor yang signifikan membedakan preferensi pilihan para pendukung terhadap masing-masing kandidat yang dianggap merepresentasikan kesamaan latar belakang tersebut.
Di sisi lain, hasil survei tersebut juga menunjukkan bahwa kesamaan-kesamaan karakteristik pemilih diikuti pula oleh derajat loyalitas mereka terhadap pasangan calon yang menjadi rujukan pilihannya. Dalam hal ini, semakin solid pola kesamaan yang terbentuk, semakin loyal pula preferensi pilihan para pendukung terhadap masing-masing kandidat. Kesamaan ataupun perbedaan karakteristik pemilih berikut derajat loyalitas pemilih menjadi acuan dalam memprediksi peluang tambahan suara bagi kedua pasangan yang bertarung di babak kedua pilkada.
Hasil survei mengungkapkan, pangkal kemenangan pasangan Basuki-Djarot dilatarbelakangi oleh loyalitas para pendukungnya. Konsistensi dukungan terhadap pasangan ini dapat ditelusuri semenjak jauh hari sebelum pilkada dilakukan hingga pemungutan suara dilakukan. Pada saat survei pasca-pilkada dilakukan (exit poll), terungkap lebih dari tiga perempat bagian pemilih pasangan ini (77 persen) mengaku sudah menjatuhkan pilihannya jauh-jauh hari sebelum pengumpulan suara dilakukan. Hanya 13 persen yang menjatuhkan pilihan pada hari pengumpulan suara dilakukan. Dibandingkan dengan pasangan lainnya, proporsi kalangan pemilih Basuki-Djarot relatif lebih tinggi (Grafik 1).
[kompas-highchart id="ep-1" /]
Loyalitas dukungan terhadap pasangan Basuki-Djarot ditopang oleh kesamaan-kesamaan latar belakang sosial ekonomi, orientasi politik, dan identitas primordial yang khas. Dalam hal ini, dari sisi latar belakang sosial ekonomi, kelompok pendukung Basuki-Djarot bertumpu pada kelompok pemilih menengah hingga menengah dan tinggi. Dari sisi latar belakang pendidikan, misalnya, kalangan berpendidikan menengah dan pendidikan tinggi menjadi basis dukungan (Tabel 2). Demikian pula dari kalangan berlatar belakang keluarga ekonomi menengah ke atas cenderung mendukung Basuki-Djarot (Tabel 3).
Tabel 2 Latar Belakang Pendidikan Para Pemilih | |||
Pendidikan | Agus-Sylvi | Basuki-Djarot | Anies-Sandi |
Rendah | 44% | 28% | 29% |
Menengah | 45% | 40% | 51% |
Tinggi | 11% | 32% | 20% |
Total | 100% | 100% | 100% |
Tabel 3. Latar Belakang Ekonomi Para Pemilih | |||
Ekonomi Status | Agus-Sylviana | Basuki-Djarot | Anies-Sandiaga |
Bawah | 19% | 14% | 16% |
Menengah | 72% | 61% | 72% |
Menengah-Atas & Atas | 8% | 25% | 12% |
Total | 100% | 100% | 100% |
Dari sisi orientasi politik, khususnya latar belakang pilihan partai politik, kalangan pemilih Basuki-Djarot didukung oleh pemilih partai-partai nasionalis yang menjadi basis dukungan pasangan ini. Terbesar, para pendukung PDI-P diikuti Partai Nasdem, Hanura, dan Golkar. Terdapat memang para pemilih partai-partai tersebut yang mengaku tidak memilih pasangan Basuki-Djarot, tetapi tergolong kecil (Tabel 4).
Tabel 4. Latar Belakang Partai Pilihan Pemilih | |||
Partai Pilihan | Agus-Sylviana | Basuki-Djarot | Anies-Sandiaga |
Partai Pendukung Agus-Sylviana (Demokrat, PAN, PPP, PKB) | 61% | 6% | 16% |
Partai Pendukung Basuki-Djarot (PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura) | 20% | 83% | 7% |
Partai Pendukung Anies-Sandi (Gerindra, PKS) | 16% | 6% | 73% |
Partai lainnya | 3% | 5% | 4% |
Total | 100% | 100% | 100% |
Kesamaan-kesamaan karakteristik pemilih juga tersirat pada kelompok pemilih pasangan Anies-Sandi dan Agus-Sylvi. Dalam uraian sejumlah grafik di atas tampak bahwa pasangan Anies-Sandi didukung oleh para pemilih yang berlatar belakang pendidikan menengah dan terdapat pula sebagian kalangan berpendidikan tinggi. Dari sisi latar belakang ekonomi, tumpuan dukungan berasal dari kalangan menengah. Dari sisi orientasi partai, para pemilih Anies-Sandi ditopang para pemilih Gerindra dan PKS sekalipun juga terdapat sebagian kecil para pemilih yang berasal dari partai politik lainnya.
Dibandingkan para pemilih pasangan Basuki-Djarot, para pemilih pasangan Agus-Sylvi sangat berbeda dan cenderung lebih banyak memiliki kesamaan dengan pasangan Anies-Sandi. Dari sisi latar belakang ekonomi keluarga, misalnya, para pemilih Agus-Sylvi mirip dengan pemilih Anies-Sandi berasal dari kalangan menengah dan bawah. Demikian pula latar belakang identitas primordial, seperti latar belakang agama ataupun suku bangsa.
Namun, dari sisi pendidikan kedua pasangan tersebut berbeda karena pasangan Agus-Sylvi bertumpu pada kalangan yang cenderung berpendidikan menengah bawah. Begitupun dari sisi loyalitas, para pemilih Agus-Sylvi tergolong paling lambat dalam memutuskan pilihan. Dibandingkan dengan para pemilih kedua pasangan lain yang sudah jauh hari memilih pilihan, lebih dari 30 persen para pemilih Agus-Sylvi memutuskan memilih pasangan ini seminggu sebelum pemilu dilakukan. Temuan hasil survei pra-pilkada juga menunjukkan di antara pasangan calon yang berkontestasi, para pemilih pasangan Agus-Sylvi paling tidak loyal, memiliki proporsi pemilih bimbang (swing voters) yang terbesar.
Hasil sejumlah survei menyiratkan, dengan kesamaan dan perbedaan latar belakang pemilih, hasil pilkada yang memprediksi dua pasangan, Basuki-Djarot dan Anies-Sandi, pada pertarungan putaran kedua pilkada akan potensial menjadi semakin terpolarisasi. Apabila kedua pasangan yang lolos dari putaran kedua memiliki basis pendukung yang loyal, kedua pasangan tersebut akan memperebutkan sekitar 17 persen atau sekitar 900.000 pemilih pasangan Agus-Sylvi yang sebagian besar berkarakteristik latar belakang pendidikan cenderung menengah bawah dan status ekonomi menengah ke bawah. Selain itu, kedua pasangan ini pun akan memperebutkan para pemilih yang mengaku menjadi pendukung Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PPP.
Dengan bersandar pada karakteristik pemilih dan pilihan para pemilih survei-survei sebelumnya, bagaimanakah peluang dari masing-masing pasangan dalam memperluas penguasaan hingga potensi kemenangan mereka?
Bagi pasangan Anies-Sandi, peluang memperluas dukungan dari para pemilih Agus-Sylvi terbuka. Perbedaan karakteristik pemilih yang tidak jauh di antara kedua pasangan tersebut menjadi modal alih dukungan dalam putaran kedua. Paling tidak, sebagian besar dari para pemilih Agus-Sylvi memiliki kesamaan karakteristik ekonomi dan identitas primordial dengan pasangan Anies-Sandi dibandingkan Basuki-Djarot. Begitu pula dalam karakteristik pendidikan, perbedaan karakteristik antara pemilih Agus-Sylvi dan Anies-Sandi tidak berbeda jauh.
Akan tetapi, di luar aspek karakteristik sosial-ekonomi dan identitas primordial, terdapat pula aspek referensi personalitas yang menjadi referensi pilihan masing-masing pemilih. Dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan, yaitu para pemilih Agus-Sylvi cenderung memandang aspek “keberanian dan ketegasan” menjadi faktor utama (24 persen) dalam memilih pasangan calon (Grafik 5). Faktor berikutnya, “merakyat” (18 persen) dan “jujur dan bersih” (10 persen). Aspek “kesamaan agama” sebagai pertimbangan memilih kandidat juga hanya dijadikan referensi 15 persen dari pemilih Agus-Sylvi. Terhadap faktor-faktor penentu pilihan tersebut, khususnya “keberanian dan ketegasan”, “jujur dan bersih”, dan rendahnya pertimbangan kesamaan primordial sebagai acuan memilih, mengindikasikan masih terbukanya peluang bagi pasangan Basuki-Djarot lantaran faktor-faktor tersebut lebih dekat atau memiliki kesamaan dengan personalitas yang menjadi rujukan para pemilih Basuki-Djarot ketimbang Anies-Sandi.
[kompas-highchart id="ep-5" /]
Selain memanfaatkan limpahan pemilih Agus-Sylvi, peluang memperluas dukungan bagi kedua calon pun dapat diraih dengan memanfaatkan potensi suara dari para pemilih yang tidak menggunakan suaranya pada pilkada lalu. Sesuai hasil penghitungan KPU DKI, setidaknya 22,9 persen atau sekitar 1,6 juta pemilih yang tidak menggunakan suaranya pada pilkada putaran lalu. Dibandingkan dengan pilkada sebelumnya, ajang kontestasi kali ini tergolong mampu menyedot antusiasme pemilih yang lebih besar. Hanya, dalam kalkulasi perebutan suara, jumlah pemilih yang tidak menggunakan suaranya tersebut masih tergolong besar. Apabila didayagunakan sebagai pemilih pengguna suara, jumlah tersebut amat potensial mengubah peta kemenangan.
Berdasarkan sebaran pemilih yang tidak menggunakan hak pilih pada putaran pertama lalu, di setiap daerah kota/kabupaten lebih dari tiga perempat pemilih menggunakan hak pilih mereka (Grafik 6).
[kompas-highchart id="ep-6" /]
Wilayah yang tergolong besar penduduknya, seperti Jakarta Timur dan Jakarta Selatan, menjadi wilayah keunggulan pasangan Anies-Sandi. Sementara wilayah Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Pusat menjadi kantong suara bagi pasangan Basuki-Djarot. Dari sisi sebaran pemilih yang tidak menggunakan suaranya, wilayah Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat terlihat besar. Sementara Kepulauan Seribu, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara tampak tinggi partisipasi pemilihnya. Apabila dielaborasi lebih jauh pada tingkatan kecamatan (begitu pun tingkat kelurahan) wilayah Jakarta Barat meliputi Kecamatan Tamansari, Kali Deres, Tambora, dan Palmerah memiliki partisipasi pemilih yang lebih rendah daripada rata-rata partisipasi pemilih di Jakarta Barat (75,2 persen). Di wilayah Jakarta Selatan, wilayah yang tergolong dihuni masyarakat kelompok menengah hingga atas, seperti Kecamatan Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, dan Setiabudi, masih di bawah rata-rata pemilih Jakarta Selatan (75,6 persen). Begitu pula di kawasan Jakarta Pusat, Kecamatan Menteng dan Senen yang jauh dari rata-rata pemilih aktif di Jakarta Pusat (76,5 persen).
Kondisi demikian mengindikasikan di wilayah-wilayah seperti Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat masih terbuka peluang (dibandingkan wilayah DKI lainnya) mendayagunakan para calon pemilih yang tidak menggunakan haknya pada putaran pertama lalu untuk menjadi pemilih aktif pada putaran kedua mendatang.
Namun, pertanyaan selanjutnya, apakah karakteristik pemilih yang tidak memilih pada pilkada putaran pertama tersebut lebih banyak memiliki kesamaan dengan para pemilih pasangan Basuki-Djarot atau pasangan Anies-Sandi?
Sejauh ini tidak terekam data karakteristik para pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pilkada lalu. Beberapa rujukan pada survei-survei masa lampau hanya sebatas mengungkapkan alasan-alasan para pemilih untuk tidak menggunakan suaranya lebih banyak didasarkan pada pertimbangan teknis non-ideologis, seperti adanya aktivitas lain yang tidak terhindarkan, alasan jarak, waktu, hingga alasan yang merasa bahwa pemilu bukan suatu kewajiban yang harus dilakukan. Kalangan-kalangan semacam ini diidentifikasikan sebagai kalangan yang berpendidikan tinggi, berlatar belakang ekonomi keluarga menengah hingga atas. Terdapat pula alasan ideologis sekalipun tampak kecil proporsinya, seperti tidak ada calon yang diminati atau sealiran pandangan dengan diri pemilih hingga anggapan bahwa pemilu tidak berimplikasi pada perubahan keadaan seperti yang diinginkan.
Melihat karakteristik pemilih semacam itu, peluang bagi pasangan Basuki-Djarot yang diketahui memiliki basis pendukung dari kalangan sosial ekonomi menengah-atas, berorientasi tindakan yang kuat dengan sisi rasionalitas kinerja ketimbang emosi, terbuka dalam meraih dukungan. Akan tetapi, sekalipun lebih memiliki beberapa kemiripan karakteristik, tidak serta-merta dengan memacu para pemilih yang pada putaran pertama tidak memilih untuk memilih pada putaran kedua nanti pilihannya lebih banyak tertuju pada pasangan Basuki-Djarot ketimbang pasangan Anies-Sandi. Berbagai paparan terhadap karakteristik pemilih (yang semata-mata diperoleh dari pencermatan berbagai survei opini) mengindikasikan, sekalipun pasangan Basuki-Djarot tercatat sebagai pemenang putaran pertama dengan perolehan suara 42,91 persen, jalan yang dihadapi untuk meningkatkan perolehan suaranya menjadi 50 persen plus 1 suara pada putaran kedua tampak terjal.