Sekalipun amat jauh dari pusat pemerintahan Indonesia, situasi politik di Pulau Morotai yang terletak di antara Samudra Pasifik dan Pulau Halmahera ini tak pernah sepi dari gejolak. Pemilihan kepala daerah pada 15 Februari 2017 yang baru berlangsung adalah persoalan esensial. Dengan kepemimpinan baru hasil pilkada, akankah Morotai menuju pada tata kehidupan baru? Ataukah kembali menjadi sekadar lahan perburuan para petualang? Keterbelakangan dan alienasi dari pembangunan akan tetap menjadi ritus keseharian jika pemimpin terpilih tidak linier dengan mimpi perubahan.
Merunut sejarah, Pulau Morotai memang ibarat ”tanah elok tak bertuan”, tempat kenangan diletakkan. Pulau ini merekam begitu banyak jejak penjelajah, para petualang yang lalu lalang mengisi ceruk-ceruk sejarah. Di bawah terik matahari yang menyengat, berserak artefak-artefak, penanda-penanda zaman yang menegaskan guratan kekuasaannya di pasir putih nan lembut.
Wilayah Morotai memiliki luas keseluruhan 4.301,53 km2 terdiri atas 33 pulau dengan luas daratan 2.314,90 km2, merupakan gugus kepulauan perbatasan yang berhadapan dengan wilayah Filipina di ujung utaranya. Catatan baru dapat menelusuri sejarah penduduk pulau ini sejak abad ke-15 dan ke-16 Masehi. M Adnan Amal dalam Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950 (2006) menyebutkan, di wilayah Maluku Utara ada Kerajaan Moro, kerajaan kecil yang memiliki kekuasaan atas sebagian wilayah Morotai pada abad ke-15. Kerajaan Moro terletak di daratan pantai timur Halmahera Utara, mulai dari tanjung Bisoa di utara sampai dengan Tobelo. Karena sebagian wilayah kekuasaannya terletak di daratan Halmahera, ia disebut juga dengan Morotia (Moro Daratan). Sebagian lain wilayahnya terletak di pulau seberang laut yang dinamakan Morotai (Moro Lautan). Meski demikian, jejak kerajaan ataupun etnis Moro hingga sekarang sulit ditemukan, lebih banyak hidup dalam legenda. Mayoritas penduduk Morotai sekarang adalah suku bangsa Galela, Tobelo, dan Sangir.
Pulau Morotai sempat menjadi wilayah monopoli perdagangan Portugis yang mencari rempah-rempah pada awal abad ke-16, lalu disusul Spanyol, Belanda, dan Inggris. Pada masa pendudukan Belanda, pulau ini merupakan bagian dari Hindia Belanda yang diperintah melalui Kesultanan Ternate. Pada awal tahun 1942, Jepang yang sedang membangun kekuasaan Asia Raya berhasil menduduki Pulau Morotai. Wilayah ini menjadi semakin penting ketika pada awal 1944 Jepang mulai agresif melakukan penetrasi ke Biak dan Jayapura. Ia juga menjadi titik strategis untuk menghubungkan kekuatan Jepang di Filipina.
Kedatangan tentara Sekutu dan Australia yang dipimpin Jenderal Douglas MacArtur ke Morotai pada September 1944 dan perang yang terjadi dengan Jepang mengguratkan legenda yang abadi di tanah ini. Bom, mortir, granat, senjata, tank, pesawat, dan kapal perang tergeletak di darat dan laut di sekitarnya, sebagian masih menyuruk di kedalaman pasir. Pada masa pendudukan Jepang, diperkirakan terdapat 400 pesawat yang mangkal di Morotai, dengan 61.000 tentara bermarkas di sana. Pada masa Sekutu, pangkalan udara diperkuat pangkalan laut yang besar.
Dahsyatnya Perang Dunia II seolah semburat dari balik mata seorang Muhlis Eso (36), pegiat museum yang mengumpulkan artefak-artefak sisa perang sejak umur 10 tahun. Di rumah penjaga sekolah ini, berserak aneka peralatan sisa pendudukan tentara Jepang dan Sekutu, yang ia gali di kampungnya. Sayangnya, terlalu sedikit artefak yang berhasil diselamatkannya dibandingkan yang lenyap diambil orang dan dijual sebagai besi tua. Ia ingat betul bagaimana ”Si Pending Emas” Herlina Kasim, penerjun wanita pertama yang dianggap sebagai pahlawan pembebas Tanah Papua, mengambil sebagian besar tank baja, kekayaan sejarah perang Morotai, dan hanya menyisakan beberapa gelintir saja sebagai kenang-kenangan. Hingga kini, penduduk Morotai mengingat nama Herlina dengan kegetiran yang mendalam.
Seusai Perang Dunia II, kemerdekaan yang diraih Indonesia hanya membawa angin kedamaian belasan tahun bagi Morotai. Gejolak panas di bumi Morotai kembali berlanjut. Pada 1958, pangkalan udara Morotai dikuasai gerakan separatis Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) meskipun kemudian dapat direbut kembali oleh TNI.
Kabupaten Pulau Morotai baru terbentuk pada tahun 2008 dan merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara yang terdiri atas lima wilayah kecamatan. Pada 2011 daerah ini mulai menyelenggarakan pemilihan kepala daerah langsung. Namun, perpolitikan di sini ibarat sekam panas yang mengurung keelokan wisata Morotai. Setelah pilkada hingga kini, telah terjadi tujuh kali pergantian kepala daerah definitif dan pejabat sementara.
Seusai pilkada yang digelar 16 Mei 2011, situasi politik di Morotai langsung memanas. KPU Kabupaten Pulau Morotai yang menetapkan pasangan Arsad Sardan dan Demianus Ice sebagai peraih suara terbanyak digugat oleh tiga pasang kandidat lainnya, salah satunya pasangan Rusli Sibua dan Weni Paraisu yang kemudian menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Di tingkat MK yang diketuai Akil Mochtar, keputusan itu dianulir dan pasangan Rusli – Weni dinyatakan sebagai pemenang dan ditetapkan sebagai bupati dan wakil bupati. Namun, tertangkapnya Akil Muchtar karena kasus suap membuka kembali kasus sengketa pilkada Morotai. Rusli Sibua terbukti menyuap dan dijatuhi hukuman penjara. Sementara itu, wakilnya, Weni Paraisu, juga sedang menghadapi kasus perusakan, penutupan paksa, dan penjarahan fasilitas milik PT Morotai Marine Culture (MMC). Weni kemudian juga dihukum penjara. Akibat status hukumnya, Weni tidak bisa menggantikan sebagai bupati sehingga Mendagri mengangkat Yahya Hasan sebagai pejabat sementara (Pjs) bupati, tetapi hanya 3 bulan kemudian Yahya pensiun. Setelah itu berturut-turut Morotai dipimpin Samsudin Banyo (Pjs), Ramli Yaman (Plh), dan M Sukur Lila (Pjs).
Weni R Paraisu yang bebas pada Maret 2016 kemudian dipulihkan jabatannya sebagai wakil bupati, lalu ditetapkan sebagai bupati. Menjelang pilkada, masa kepemimpinan Weni habis dan sekarang digantikan Samsudin A Kadir (Pjs). Bongkar pasang pada posisi sekretaris daerah juga menimbulkan konflik serius. Di tengah situasi politik yang demikian, Pilkada Morotai 2017 diharapkan merupakan momen menuju kepastian politik dan keberlangsungan pembangunan.
Tiga pasang kandidat
Tiga pasang kandidat telah bertarung untuk memperebutkan kursi bupati dan wakil bupati definitif di Morotai. Mereka adalah pasangan nomor urut 1 Benny Laos-Asrun Paduma (Balap), nomor urut 2 Muhamad Ali Sangaji-Yulce Makasarat (Ali-Yuk) , dan nomor urut 3 Ramli Yaman-Adjan Djaguna (Radja). Balap didukung kolasi besar partai, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Nasional Demokrat (Nasdem), PDI-P, dan Partai Gerindra dengan total dukungan 12 kursi DPRD. Pasangan ini juga didukung Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) meskipun kedua partai itu tidak lolos syarat administrasi dukungan. Calon bupati dari pasangan ini, Benny Laos, merupakan pengusaha yang banyak bergerak di bidang properti dan konstruksi, serta pemilik Hotel Bela di Kota Ternate. Calon wakilnya, Asrun Paduma, adalah anggota DPRD Kabupaten Pulau Morotai.
Sementara itu, pasangan Ali-Yuk didukung PPP, PAN, dan PKS dengan total 5 kursi DPRD. Muhamad Ali Sangaji adalah anggota dan mantan Ketua DPRD Kabupaten Morotai (2009) kini juga menjabat sebagai Ketua Partai Golkar Morotai. Dalam pilkada ini Golkar tidak mendukungnya, tetapi malah mendukung pasangan Balap. Sementara itu, calon wakil adalah Yulce Makasarat, pendeta dan Sekretaris Umum PAN (2010).
Adapun pasangan Radja merupakan paslon perseorangan yang didukung 5.400 orang yang tersebar di lima kecamatan. Ramli Yaman merupakan mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Pulau Morotai (2014-2016) dan mantan Pelaksana Harian (Plh) Bupati Morotai (2015-2016). Calon wakilnya, Adjan Djaguna, adalah mantan anggota DPRD Kabupaten Pulau Morotai (2010-2014) dan Ketua DPD PAN Halmahera Utara (2005-2010).
Isu primordialitas
Isu primordialitas turut mewarnai Pilkada Morotai dan membentuk opini publik, terutama terkait agama dan putra daerah. Terpaan terhadap isu agama cukup aman bagi pendukung pasangan nomor pemilihan satu (Balap) dan dua (Ali-Yuk) yang komposisi pasangannya berbeda agama. Namun, isu ini menjadi wilayah sensitif bagi pasangan nomor pemilihan tiga (Radja) yang didasarkan pada komposisi satu agama.
Sebaliknya, isu tentang putra daerah menjadi amunisi bagi pasangan Radja untuk menggempur kekuatan pasangan Balap dan Ali-Yuk. Keduanya dipandang bukan putra daerah. Benny Laos adalah putra kelahiran Ternate meskipun kakek dan neneknya berasal dari Morotai. Sementara Ali Sangaji diembuskan memiliki ayah yang berasal dari Pulau Makian dan ibu dari Sangir.
”Dari tiga calon itu, hanya Ramli Yaman yang asli Morotai, sedangkan Benny Laos dari Ternate dan Ali Sangaji ayahnya berasal dari Pulau Makian dan ibunya orang dari Pulau Rao keturunan Sangir,” kata Mcs, nelayan pendukung pasangan Radja. Isu ini ternyata tidak hanya menarik untuk menghimpun dukungan dari kalangan muslim, tetapi juga sejumlah kalangan dari agama Kristen. ”Kalau saya lebih condong memilih pasangan nomor satu (Balap), tetapi ayah saya berencana memilih pasangan nomor tiga,” kata Fbi, lulusan sekolah tinggi teologi di Manado yang sedang pulang kampung ke Morotai. Ayahnya adalah seorang pendeta di Posi-posi, Pulau Rao.
Politik agitasi saintifik, upaya memengaruhi calon pemilih dengan metode penyajian data statistik, ternyata juga terjadi di Pilkada Morotai. Berbagai upaya dilakukan untuk memberikan efek banwagon, efek eksternalitas di mana seorang calon pemilih cenderung ingin memilih kandidat yang diprediksi akan menang. Terlepas dari independensi penyelenggara survei, tetapi hasilnya cenderung dimanfaatkan oleh pasangan terprediksi menang untuk kampanye guna kian menarik pemilih.
Setelah penetapan pasangan calon, setidaknya ada dua survei yang dilakukan dua lembaga dengan hasil berbeda. Pertama adalah yang diselenggarakan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) 28 November sampai 3 Desember 2016. Hasilnya, dukungan pemilih untuk pasangan Balap mencapai 49,8 persen, disusul pasangan Ali-Yuk sebesar 29 persen, sedangkan pasangan Radja sebesar 12,2 persen. Kedua adalah yang dilakukan oleh Indonesia Development Monitoring (IDM) 24 September hingga-02 Oktober 2016, dengan hasil pasangan Radja memiliki tingkat elektabilitas tertinggi yakni 30,4 persen, Balap 28,7 persen, dan Ali-Yuk 16,3 persen.
Pasangan Ali-Yuk yang tidak diuntungkan oleh kedua survei di atas, rupanya mencoba melakukan rekayasa hasil survei. Dalam sebuah pidato kampanyenya di Desa Daruba Pante, Morotai Selatan, Ali Sangaji mengklaim sebagai calon yang mendapatkan dukungan publik paling besar dibandingkan dengan calon lainnya dengan mengutip data survei Indo Barometer. Padahal, Indo Barometer tidak melakukan survei pilkada di daerah itu. Lembaga ini pun kemudian melaporkan Ali Sangaji ke Kepolisian Morotai Selatan, atas dugaan pencemaran nama baik. Hingga kini persoalan tersebut masih ditangani polisi.
Begitulah Morotai, untuk menjejakkan pengaruhnya di sini, para petualang telah menempuh berbagai jalan. Salah satunya, mencoba menembusnya menggunakan rumus statistika.
Hasil Pilkada
[kompas-highchart id="morotai1-1" /]
Hasil pilkada menunjukkan, pasangan Benny Laos dan Asrun Paduma memenangi hampir setengah (49,74 persen) suara pemilih sah, diikuti oleh pasangan Ali Sangaji dan Yulce Makasarat (34,49 persen), dan Ramli Yaman dan Adjan Djaguna (15,77 persen). Kemenangan pasangan nomor pemilihan satu, yakni Balap, terjadi di semua (lima) kecamatan. Bahkan, di Kecamatan Morotai Utara kemenangannya mencapai 58,4 persen. Sementara, di Kecamatan Morotai Selatan pasangan ini memperoleh 42 persen suara, bersaing ketat dengan pasangan Ali-Yuk yang memperoleh 41,2 persen suara.
Kemenangan Balap seolah membuka harapan baru bagi Kabupaten Pulau Morotai. Dengan figur Benny Laos yang memiliki banyak pengalaman dalam mengembangkan usaha perhotelan dan properti, upaya mendorong Pulau Morotai sebagai salah satu destinasi unggulan wisata nasional seharusnya akan berjalan seiring.