Kabupaten Kepulauan Morotai merupakan tipikal wilayah yang sistem hunian penduduknya mencerminkan pola segregasi berdasarkan agama. Jika kita berkeliling ke daratan dan pulau-pulau Morotai, klustering permukiman penduduk lebih banyak didasarkan pada agama. Kecuali di Kota Daruba, ibu kota kabupaten, hampir semua perkampungan dicirikan oleh label kampung Islam atau kampung Kristen.
Kalau kita melakukan perjalanan dari Kota Daruba menuju Wayabula, ibu kota Kecamatan Morotai Selatan Barat, kita akan disajikan pemandangan perkampungan-perkampungan yang berciri kesatuan hidup masyarakat dari agama dan etnis tertentu. Kampung pertama selepas Kota Daruba adalah Kampung Aha yang merupakan perkampungan etnis Bugis yang beragama Islam. Selanjutnya, memasuki Kampung Aru Irian kita bertemu dengan penduduk dari Kepulauan Aru, Papua, yang beragama Kristen. Lalu, terdapat Kampung Cucumare yang diisi orang-orang Bugis dan Galela yang beragama Islam. Berikutnya, kita akan bertemu dengan Desa Usbar Pantai, perkampungan etnis Galela yang beragama Islam.
Memasuki Wayabula, kita akan disajikan empat perkampungan dengan pembagian tiga ciri, Desa Tiley Kusu yang Muslim, Desa Wayabula yang campuran Islam dan Kristen, Desa Tiley Pantai yang mayoritas berasal dari Sangir Talaud yang beragama Kristen, dan Desa Raja yang diisi pemeluk nasrani pendatang dari Sangir dan Tobelo. Menyeberang ke Pulau Saminyamau, hampir semua penduduknya merupakan pendatang dari Sangir yang beragama Kristen. Demikian juga dengan pulau di sebelahnya, Pulau Rao, perkampungan-perkampungan di sini mayoritas merupakan pendatang nasrani dari Sangir Talaud dan Minahasa. Kecenderungan perkampungan-perkampungan dengan pola yang serupa juga kita jumpai di pesisir pantai timur dan utara dan kecamatan-kecamatan lain.
Terbentuknya pola perkampungan seperti ini banyak didorong peristiwa kerusuhan antarpemeluk agama di wilayah Ambon, Maluku, yang menyebar hingga ke Pulau Halmahera, Maluku Utara. Saat ini, Morotai yang penduduknya berjumlah 52.697 orang, proporsi pemeluk agama Islam 58,49 persen, agama Kristen Protestan 41,21 persen, Katolik 0,12 persen, dan sisanya agama lain.
Sukubangsa | Jumlah | % |
Galela | 37.297 | 70,78 |
Tobelo | 5.666 | 10,75 |
Sangir | 3.226 | 6,12 |
Bugis | 970 | 1,84 |
Ternate | 692 | 1,31 |
Jawa | 681 | 1,29 |
Buton/Butong/Butung | 615 | 1,17 |
Ambon | 439 | 0,83 |
Talaud | 383 | 0,73 |
Minahasa | 284 | 0,54 |
Makian | 254 | 0,48 |
Tidore | 249 | 0,47 |
Makassar | 146 | 0,28 |
Laloda/Loloda | 112 | 0,21 |
Biak-Numfor/Mafoorsch/Noefor | 91 | 0,17 |
Sula | 79 | 0,15 |
Una-una | 78 | 0,15 |
Morotai | 70 | 0,13 |
Tidak ada data | 92 | 0,17 |
Suku lainnya di Maluku | 227 | 2,42 |
Total | 52.697 | 100 |
Sumber: Sensus Penduduk Indonesia 2010, BPS. |
Representasi Agama
Dalam lanskap sosial seperti itulah Pilkada Kabupaten Kepulauan Morotai 2017 akan digelar pada 15 Februari nanti. Representasi agama Islam dan Kristen dalam pasangan calon (paslon) bupati dan wakil bupati dipandang penting oleh sebagian masyarakat. Tampaknya, itu pula yang menjadi petunjuk bagi pasangan nomor urut 1 (Benny Laos-Asrun Paduma) dan nomor urut 2 (Muhamad Ali Sangaji-Yulce Makasarat) dari total tiga pasangan kandidat pilkada. Pasangan nomor urut 3 (Ramli Yaman-Adjan Djaguna) maju dengan skema berbeda, yakni keduanya Islam.
”Kalau calon bupatinya Islam, calon wakil bupatinya Kristen. Kalau calon bupatinya Islam, calon wakil bupatinya Kristen. Yang calon independen saja yang keduanya sama (Islam). Saya tidak tahu rumus apa yang dipakai mereka. Saya melihat peluang itu ada di pasangan nomor 1 dan 2. Untuk calon nomor 3 agak sulit karena pemilihan umum itu kan persepsi. Ketika pasangan itu Muslim dengan Muslim, berarti mengabaikan pemilih di luar Muslim. Ketika sudah membuat jarak atau kotak, orang akan melihat ’oh itu sudah bukan bagian dari kita’. Padahal, lebih kurang 40 persen non-Muslim ada di sini dan tersebar di semua kecamatan,” kata Muhlis Bay, birokrat kawakan, mantan Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda).
Meskipun terdapat upaya yang berbeda untuk memaksimalkan dukungan massa dari salah satu kelompok agama, sejauh ini belum terjadi polarisasi yang mengkhawatirkan. ”Kalau terjadi polarisasi, itu yang dikhawatirkan. Syukur tidak terjadi polarisasi berbasis agama. Masing-masing punya konstituen yang sangat cair walaupun politik identitas masih ada,” kata Muhlis yang saat ini juga menjabat sebagai Kepala Dinas Perikanan Morotai.
Problem sinkronisasi
Terletak amat jauh dari pusat pemerintahan Indonesia, Pulau Morotai yang berada di antara Samudra Pasifik dan Pulau Halmahera ini merupakan salah satu pulau terluar di Provinsi Maluku Utara. Sebagai pulau yang paling banyak menyimpan artefak sejarah perang, Pulau Morotai menjadi salah satu dari 10 destinasi wisata unggulan yang dicanangkan pemerintah. Pulau ini mulai banyak dikenal dunia sejak penyelenggaraan ”Sail Morotai 2012” di sini. Sarana dan prasarana fisik mulai dibangun menjelang hajatan terbesar di kepulauan itu, mulai dari penataan jalan raya, pembangunan pelabuhan, pasar, hingga Museum Perang Dunia II. Hotel dan homestay juga dikembangkan. Sayangnya, seusai pesta perahu layar internasional itu, semua infrastruktur seolah menjadi artefak. Pelabuhan Wayabula yang megah tak pernah dipakai lagi, Musium Perang Dunia II kondisinya memprihatinkan, dengan atap yang bocor menetes di ruang koleksi museum serta hilangnya sebagian barang peninggalan perang.
Seusai Sail Morotai, pembangunan kembali berjalan lambat. Terlebih, keberlangsungan pemerintahan daerah Morotai tidak pernah stabil. Berkali-kali terjadi pergantian kepala daerah dalam lima tahun belakangan ini, menyebabkan kebijakan pembangunan selalu terputus. Upaya pengembangan yang didorong penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), sejauh ini hanya menyentuh Kota Daruba, belum membawa pengaruh signifikan pada daerah-daerah lain. Sinkronisasi antarlevel instansi menjadi masalah besar di sini. Jika melintas jalan antara Daruba dan Wayabula, kita akan menyaksikan sebuah pemandangan jalan yang ganjil. Jalan hanya diaspal hingga menjelang jembatan. Sekitar 50 meter sebelum dan setelah jembatan, kondisi jalan dibiarkan rusak parah. Jembatan pun bersifat darurat, terbuat dari batang kelapa. Setelah melewati jembatan, 50 meter kemudian jalanan kembali normal beraspal. Demikian seterusnya, hal ini terjadi pada 12 jembatan sepanjang Daruba-Wayabula. Persoalan ini sudah menjadi gugatan masyarakat sejak empat tahun terakhir, tetapi tidak pernah ada perubahan. Pembangunan jembatan seolah bukan urusan pemerintah provinsi atau pusat, sementara pemerintah daerah cenderung membiarkannya. Kondisi yang serupa juga terjadi di Pulau Rao, ketika jalan terputus, masyarakat harus bertahan sambil menunggu birokrasi berjalan entah sampai kapan.
Kondisi pembangunan infrastruktur yang berjalan sangat lambat juga terjadi di bidang pendidikan dan kesehatan. Ketersediaan sekolah setingkat SMA yang masih jarang dan jauh membuat anak-anak kerap kali harus berjalan berjam-jam untuk mencapai sekolah atau pulang ke rumah, terutama bagi anak-anak yang berada di pulau-pulau kecil.
Politik agitasi saintifik
Konteks lemahnya dukungan infrastruktur ini memberi landasan yang kuat bagi penduduk Morotai untuk memilih pemimpin daerah yang tepat. Pilkada kali ini menjadi pertaruhan akan masa depan penduduk pedesaan dan terpencil untuk tidak lagi salah memilih kepala daerah. Karena itu, tidak heran jika di kampung-kampung terpencil justru pertarungan sangat ketat. Gelar spanduk dan kesiagaan koordinator lapangan pemenangan kandidat juga berlangsung massif. Tiap kandidat mencoba mendata peluang kemenangan dan melakukan politik agitasi saintifik.
Meskipun pilkada belum digelar, data calon pemilih sudah terekam dalam bingkai statistik kemenangan. Seperti yang terjadi di Desa Aru Burung, Pulau Rao, tim pemenangan paslon Benny Laos-Asrun Paduma sudah mendeteksi kemenangannya berdasarkan catatan lapangan koordinatornya. Hasilnya dibuat dalam bentuk tabel dan dipasang di posko pemenangan tim ini. Tim lain juga melakukan ”survei” serupa dan menuliskan kesimpulannya di dinding rumah penduduk. Pertarungan antarkandidat juga terekam di berbagai ruang terbuka, termasuk dinding kapal dan menancap di batu karang yang mencuat di laut Pulau Rao.