Radio Masih Jadi Idola
“Desta and Gina in the morning….”. Demikian suara dua penyiar Prambors, salah satu radio anak muda di Jakarta, yang berkumandang sejak pukul 6 pagi. Radio Prambors merupakan pelopor radio anak muda di tahun 1970-an dan hingga kini masih terus mengudara. Meski telah muncul sejumlah radio anak muda lainnya, tetapi Prambors tetap memiliki pangsa pendengar tersendiri.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan hingga tahun 2016 jumlah stasiun radio yang resmi terdaftar sebanyak 1.887 yang bersiaran di jalur frekuensi FM dan 80 stasiun radio di jalur frekuensi AM. Minimnya jumlah stasiun radio di jalur AM dikarenakan kualitas suaranya kalah bagus dibandingkan dengan jalur FM, sehingga mayoritas radio saat ini bersiaran di jalur FM.
Sebaran stasiun radio di Indonesia juga bisa dikatakan merata di tiap kota atau kabupaten. Dalam satu kota atau kabupaten misalnya, jumlah stasiun radio bisa mencapai 5 – 15 stasiun radio. Bahkan di kota besar seperti DKI Jakarta, frekuensi FM mencapai 38 stasiun radio. Dari jumlah tersebut bisa diartikan bahwa radio tetap memiliki pendengar dan masih memiliki peluang bisnis meskipun porsinya lebih kecil dibandingkan jenis media massa lainnya.
[kompas-highchart id="radio-1" /]
Data Nielsen tahun lalu menyebutkan belanja iklan radio sepanjang semester pertama 2016 terus meningkat. Dari semula di bulan Januari 2016 hanya Rp 26 miliar menjadi Rp 57 miliar pada Juni 2016. Data ini menguatkan keyakinan bahwa potensi pemasukan bisnis radio maupun basis pendengar masih terbuka sehingga menjadikan radio tetap eksis.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pekan lalu menunjukkan bahwa radio masih memiliki tempat di hati pendengarnya. Tujuh dari 10 responden di 14 kota besar Indonesia mengakui masih mendengarkan siaran radio meski dengan frekuensi waktu berbeda-beda. Dari mereka yang masih mendengarkan siaran radio, sebanyak 31,7 persen mendengarkan program radio setiap hari. Sisanya menyatakan hanya kadang-kadang atau pun jarang mendengarkan siaran radio.
Animo mendengarkan siaran radio juga tergambar dalam hasil survei tatap muka Litbang Kompas yang diselenggarakan secara periodik tiga bulanan pada 2015 – 2016. Dari 1200 responden survei di 34 provinsi, terungkap bahwa radio masih tetap dijadikan sumber informasi dan hiburan oleh sekitar 16 - 24 persen responden. Hasil survei tersebut juga memperlihatkan bahwa radio merupakan medium yang biasa diakses setelah televisi dan media cetak. Radio juga masih lebih sering diakses responden dibandingkan portal berita di internet maupun media sosial.
[kompas-highchart id="radio-2" /]
Era Emas Radio
Masa kejayaan radio terjadi pada era 1970-1990. Saat itu hiburan bagi masyarakat bisa dikatakan masih cukup terbatas bila dibandingkan era saat ini. Media hiburan gratis selain radio di era tersebut adalah televisi. TVRI saat itu masih banyak ditonton dan banyak digemari program hiburannya. Drama atau sandiwara radio serial “Saur Sepuh”, “Tutur Tinular”, “Misteri Gunung Merapi”, dan “Ibuku Malang, Ibu Tersayang” merupakan sederet sandiwara radio yang banyak penggemarnya. Distribusi serial drama radio tersebut juga tergolong luas, hampir semua stasiun radio di kota atau kabupaten di Jawa menyiarkan drama serial tersebut. Jumpa darat penggemar dengan pengisi suara drama radio tersebut acapkali dilakukan di stasiun-stasiun radio.
Tidak heran jika pada jam-jam tertentu pada masa itu masyarakat pendengar setia serial drama radio duduk manis di dekat radio untuk menantikan kelanjutan serialnya. Bahkan terdapat fenomena unik, sejumlah pendengar memasang antena tinggi untuk dapat menangkap siaran radio yang dipancarkan dari kota lain yang kelanjutan serial dramanya ternyata lebih cepat. Menariknya pula program-program drama radio tersebut juga dibanjiri iklan. Sebuah tren positif bagi bisnis radio pada masa itu.
Radio juga menjadi sarana sambung rasa bagi pendengarnya kala itu. Lewat acara saling sapa antarpendengar dan saling berkirim lagu, radio menjadi perantara saluran komunikasi. Pada masa itu, telepon selular atau layanan pesan singkat belum ada. Alhasil radio menjadi medium menyenangkan untuk saling berkirim kabar dan menyampaikan salam pendengar.
Saat televisi swasta pertama RCTI mengudara pada 24 Agustus 1989, hiburan masyarakat berangsur mengarah kepada media pandang dengar tersebut. Hingga tahun 1995 saat lima stasiun televisi resmi bersiaran nasional, pendengar radio disuguhi sarana hiburan baru. Bisa diduga saat itu dengan kehadiran beberapa televisi swasta, jumlah pendengar radio mulai berkurang.
Maraknya penggunaan internet di awal tahun 2000 makin melebarkan pilihan jenis media informasi dan hiburan. Meningkatnya jumlah pengguna telepon selular dan media pesan singkat (sms) di awal tahun 2000 juga turut andil dalam menggeser pola komunikasi serta pola mencari informasi dan hiburan, terutama bagi pendengar radio. Diperkirakan pendengar radio yang sebelumnya memanfaatkan medium radio untuk berkirim pesan kabar dan saling sapa kepada pendengar lainnya juga makin surut.
Radio Tetap di Hati
Meskipun saat ini hiburan dan informasi membanjiri masyarakat, keberadaan media radio masih tetap dibutuhkan. Hasil jajak pendapat Kompas mengungkap lebih dari separuh bagian responden (64,4 persen) menyatakan radio masih penting bagi mereka. Bahkan enam dari sepuluh responden (61,9 persen) menyatakan puas terhadap program siaran radio yang mereka dengarkan. Fakta ini menunjukkan bahwa di tengah banjir informasi dan hiburan melalui medium digital, eksistensi radio masih dibutuhkan.
Dimana sajakah siaran radio disimak para pendengarnya? Separuh bagian responden (51,2 persen) mendengarkan radio ketika berada di dalam mobil. Sedangkan sepertiga bagian lainnya biasa mendengarkan siaran radio dengan perangkat radio di rumah atau tempat lainnya. Artinya, radio masih menjadi sarana hiburan dan informasi bagi sebagian responden ketika berkendara, baik untuk mendengarkan musik ataupun sekadar mencari informasi arus lalu lintas ketika di jalan raya.
[kompas-highchart id="radio-3" /]
Mendengarkan siaran radio sambil berkendara paling sering dilakukan oleh responden berusia antara 17 – 40 tahun dibandingkan mereka yang berusia di atas 40 tahun. Di kelompok usia 17-30 tahun bahkan proporsinya cukup tinggi mencapai lebih dari 70 persen sedangkan pada kelompok usia 31-40 tahun terdapat lebih dari 50 persen responden.
Radio juga merupakan medium yang khas dan unik. Di daerah-daerah, lantunan tembang-tembang tradisional setempat kerap terdengar di radio sebagai bentuk “kearifan lokal” yang terasa merdu di telinga. Kekhasan lokal semacam ini tidak ditemui di medium lain. Dialek, logat bicara, dan gaya bercanda penyiar radio menjadi ciri khas tersendiri bagi suatu daerah dan tidak ditemui di daerah lain. Terlebih lagi diiringi lantunan musik lokal yang kini mulai jarang disiarkan televisi. Tidak mengherankan jika tembang-tembang lawas Indonesia masih menghiasi belantara siaran radio.
Dalam jajak pendapat ini juga terungkap lebih dari separuh bagian responden (58,8 persen) menyukai siaran musik di radio. Sedangkan 3 dari 10 responden menyatakan menyukai pogram berita dan informasi. Program musik terutama digandrungi kelompok usia lebih muda (17-40 tahun) sedangkan berita dan informasi cenderung lebih banyak diakses kelompok usia lebih tua (di atas 40 tahun).
[kompas-highchart id="radio-4" /] |
Metode Jajak Pendapat Pengumpulan pendapat melalui telepon ini diselenggarakan Litbang Kompas 4 – 5 Maret 2017. Sebanyak 464 responden berusia minimal 17 tahun dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan sistematis dari buku telepon terbaru. Responden berdomisili di 12 kota besar di Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Palembang, Denpasar, Banjarmasin, Pontianak, Makasar, dan Manado. Jumlah responden di setiap wilayah ditentukan secara proporsional. Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, nirpencuplikan penelitian + 4,5 persen. Meskipun demikian, kesalahan di luar pencuplikan dimungkinkan terjadi. Hasil jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh masyarakat di negeri ini. |
Meskipun radio mendapat tantangan dari media digital, beberapa stasiun radio sudah melakukan siaran melalui jalur internet (streaming radio). Strategi ini ditempuh untuk meluaskan jangkauan pendengar. Jika semula hanya bersiaran analog melalui jalur AM atau FM, dengan menggunakan media streaming radio, jangkauan siaran bisa lebih luas hingga ke penjuru dunia dengan kualitas audio yang tetap bagus. Interaksi dengan pendengar yang dibangun pun juga mulai multi platform. Banyak stasiun radio yang memanfaatkan sosial media seperti Instagram, Twitter dan Facebook agar komunikasi dengan pendengar setianya tetap terjalin dan lebih interaktif.
Bisnis radio dalam satu dekade terakhir juga diperluas dengan sistem radio jaringan (radio network). Jaringan radio berita Elshinta dan Sonora memiliki puluhan radio di daerah sebagai mitra jaringan pemberitaan. Radio Delta FM, Prambors, dan I-Radio juga merupakan jaringan radio yang memiliki jaringan radio di berbagai kota di Indonesia yang ikut memancarkan siarannya yang dipusatkan di Jakarta.
Lantunan tembang mancanegara, lagu hit Indonesia terbaru, lagu kenangan, campursari, lagu betawi, gambang kromong, dan siaran wayang kulit semalam suntuk yang mulai jarang muncul di televisi, kini masih masih bisa didengarkan melalui media radio. Bahkan, lirik lagu Gombloh “Di radio aku dengar lagu kesayanganmu# Kutelepon..di rumahmu sedang apa sayangku# Kuharap kau mendengar# Dan kukatakan rindu… La… la la la lala…”, yang sempat hit tahun 1980-an barangkali masih akan terus menggema seiring teknologi radio yang kini bisa didengarkan di mana saja dan kapan saja. Radio tetap menemukan tempat di hati pendengarnya.