Akses produk dan jasa keuangan kini telah meluas penggunannya. Bahkan masyarakat dari golongan bawah pun sudah merasakannya. Fenomena yang dikenal sebagai Inklusi keuangan ini sudah menjadi gejala yang mengglobal. Bagaimana kondisi di Indonesia? Seberapa besar dampaknya?
Laporan Bank Dunia tentang Indeks Inklusi Finansial Global membawa sejumput kabar positif, lebih banyak warga negeri ini yang memiliki akses ke produk dan jasa keuangan. Termasuk diantaranya golongan masyarakat miskin. Angka kemiskinan pun perlahan ikut menyusut. Namun, program ini harus terus dijalankan agar tidak tertinggal dengan negara-negara lain dan yang lebih penting, untuk membuka jalan meninggalkan kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi yang bisa terasa oleh sebagian besar rakyat selama ini telah diimpikan realisasinya oleh para ekonom. Pertumbuhan ekonomi inklusif atau pertumbuhan yang melibatkan partisipasi semua pihak tanpa diskrimiasi akan berkualitas dan lebih merata. Aneka cara pun ditempuh untuk mengurangi kesenjangan dan kemiskinan, mulai dari memberikan bantuan tunai hingga cara tak langsung misalnya lewat pemerataan pembangunan infrastruktur. Peran intermediasi pun juga dikerahkan untuk menekan kemiskinan, yakni dengan memperluas peran finansial di semua pihak termasuk golongan masyarakat miskin.
Secara sederhana, inklusi finansial berarti individu maupun perusahaan memiliki akses terhadap produk dan jasa keuangan yang bermanfaat, terjangkau, dan aman. Jika mereka punya akses terhadap ini, maka mereka akan bisa memenuhi kebutuhan mereka yang terkait dengan produk dan jasa keuangan, misalnya transaksi, pembayaran, tabungan, pinjaman, dan asuransi.
Tahap pertama inklusi finansial adalah memiliki akun untuk transaksi. Paling tidak, dengan punya sebuah akun, warga bisa menyimpan uang, mengirim, serta menerima pembayaran dari jasa atau pekerjaannya. Setelah itu, mereka dapat lebih luas mengakses produk dan jasa keuangan yang lebih rumit.
Ketika warga mampu mengakses lembaga keuangan, mereka akan memiliki banyak peluang. Mereka bisa memulai atau memperluas bisnis, membiayai sekolah, menabung, ataupun berinvestasi. Dengan kata lain, akses ke lembaga keuangan bisa memberdayakan warga dan mengakselerasi kemampuan warga untuk lebih mendekati level sejahtera.
Perhatian Bank Dunia
Saat ini, pentingnya inklusi finansial sudah lebih banyak dipahami khalayak luas. Banyak negara beserta bank sentralnya mendorong program percepatan inklusi finansial di wilayah masing-masing. Demikian pula dengan lembaga-lembaga internasional, salah satunya Bank Dunia. Organisasi berskala internasional ini bahkan mengeluarkan Indeks Inklusi Finansial Global berikut data-data nya untuk mengidentifikasi kendala pemanfaatan produk dan jasa keuangan serta menemukan jalan keluarnya.
Data-data terkait inklusi finansial ini pertama diperkenalkan ke khalayak umum pada tahun 2011. Dalam rangkaian data ini, memungkinkan untuk melihat inklusi finansial di sekitar 148 negara dengan lebih 60 indikator. Tiga tahun berikutnya, muncul pemutakhiran data dan memperlihatkan perubahan hubungan dengan keuangan.
Dalam laporan termutakhirnya ini, jumlah indikator sudah bertambah menjadi 100 buah. Negara yang dibahas menurun, menjadi 143 saja. Metode yang dipakai adalah data dari wawancara sekitar 150.000 penduduk berusia 15 tahun ke atas. Sayangnya, dalam laporannya, Bank Dunia tidak menyebutkan ranking negara. Hanya dituliskan pencapaian masing-masing negara terkait inklusi keuangan dalam 2015 serta kondisi regional kawasan.
[kompas-highchart id="inklusi-1" /]
Inklusi Finansial Indonesia Meluas
Indonesia menjadi salah satu negara dalam kajian Bank Dunia ini. Dengan keberadaan data tahun 2011 dan 2014, tertangkap kemajuan signifikan dalam inklusi finansial di Indonesia. Proporsi penduduk berusia minimal 15 tahun yang memiliki akun pada lembaga penyedia jasa keuangan ternyata meningkat hampir dua kali lipat dalam tiga tahun. Pada tahun 2014, sebanyak 36,06 persen warga Indonesia berusia produktif yang memiliki akun di lembaga keuangan.
Dalam laporannya, pihak Bank Dunia memberi catatan positif terkait pertumbuhan signifikan di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Asia Selatan, dan Latin Amerika dan Karibia, termasuk Indonesia yang meraih penambahan kepemilikan akun di atas 10 persen.
Jika dikaji berdasarkan latar belakang ekonomi, akses ke produk keuangan tak bisa sangkal lebih mudah diperoleh oleh penduduk yang lebih mampu. Persentase penduduk yang memiliki akun yang masuk golongan 60 persen paling kaya mencapai 45,34 persen, yang telah mengalami peningkatan 19,35 persen dibandingkan tiga tahun sebelumnya.
Sementara itu, dari sisi pendidikan, proporsi warga berakun yang memiliki pendidikan lebih tinggi lebih banyak daripada warga dengan pendidikan minim. Informasi dan pengetahuan mendorong warga yang lebih berpendidikan semakin dekat dengan produk dan jasa keuangan. Selama tiga tahun, bagian penduduk yang memiliki akun bertambah hampir dua kali lipat. Sebaliknya, penambahan warga yang memiliki akses ke lembaga keuangan di kelompok yang berpendidikan minim berjalan dengan sangat lambat.
Wanita Lebih Melek
[kompas-highchart id="inklusi-2" /]
Dalam surveinya, Bank Dunia menemukan proporsi wanita yang punya akses ke produk keuangan lebih besar ketimbang laki-laki. Padahal, tiga tahun sebelumnya, angka persentase antara laki-laki dan perempuan hampir sama. Salam tiga tahun terakhir, lebih banyak wanita yang berkenalan dengan produk keuangan paling dasar yakni memiliki akun. Kabar ini menggembirakan karena dalam data literasi keuangan milik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dirilis tahun 2013 lalu, tingkat melek keuangan laki-laki mencapai 25 persen sedangkan perempuan 19 persen.
Kepemilikian akun perempuan berperan penting secara akumulatif dalam masyarakat karena di Indonesia, wanita biasanya masih menjadi pengelola keuangan keluarga. Mereka yang mengatur uang belanja sehari-hari, uang sekolah, dan tabungan keluarga.
Kemiskinan Berkurang
Kembali ke tujuan awal, kampanye dan aneka kebijakan untuk mendukung program inklusi keuangan bermuara pada pengurangan kemiskinan. Seiring dengan peningkatan akses masyarakat Indonesia terhadap produk dan jasa keuangan, angka kemiskinan pun ternyata perlahan menciut.
Dari catatan Bank Dunia, pada tahun 2011 hanya 19,56 persen penduduk negeri ini yang terhubung dengan produk keuangan yang kemudian melonjak menjadi menjadi 36,06 persen pada tahun 2014. Sementara itu, proporsi penduduk miskin di bulan September 2011 mencapai 12,36 persen dan menjadi 10,96 persen di bulan September 2014. Semester kedua tahun 2016, angka kemiskinan di Indonesia bahkan sudah lebih mengecil, sudah mencapai 10,70 persen.
[kompas-highchart id="inklusi-3" /]
Masih Tertinggal
Meski kabar baik ini patut diapresiasi, banyak hal yang masih harus dikejar. Di antara semua negara, ada tiga negara yang memiliki banyak penduduk yang masih belum mengenal perbankan, yakni India, Tiongkok, dan Indonesia. Ketiga negara ini berkontribusi hampir 40 persen penduduk yang tak tersentuk produk perbankan.
Jika dibandingkan dengan kondisi umum di Asia Timur dan Pasifik pada tahun 2014 yang mencapai 69,0 persen, persentase kepemilikan akun Indonesia yang 36,05 persen masih tergolong rendah. Di tingkat regional, jumlah warga yang memiliki akun di negeri jauh tertinggal dibandingkan di Singapura, Malaysia, dan Thailand. Lebih dari 50 persen warga usia dewasa di tiga negara tersebut sudah memiliki akun di produk dan jasa keuangan. Bahkan, di Singapura, hampir semua atau tepatnya 96,35 persen penduduk usia produktifnya punya akses ke lembaga keuangan.
Enam Strategi
Pemerintah Indonesia saat ini sudah membentuk kelompok yang bertugas merumuskan strategi memperluas inklusi finansial. Kerja kelompok yang beranggotakan Bank Indonesia, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Kementerian Keuangan membuahkan hasil enam strategi atau enam pilar.
Realisasi inklusi keuangan akan diawali dengan gerakan edukasi keuangan, dilanjutkan dengan penyediaan fasilitas keuangan publik dan pemetaan informasi keuangan. Peraturan dan kebijakan serta fasilitas intermediasi dan saluran distribusi perlu disiapkan. Terakhir, perlindungan konsumen harus dijalankan agar warga negeri ini tetap merasa aman dalam berinteraksi dan menggunakan produk keuangan.
Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Memiliki Akun di Sejumlah Negara ASEAN |
Negara | Persentase |
Singapura | 96,35 |
Malaysia | 80,67 |
Thailand | 78,14 |
Indonesia | 36,05 |
Filipina | 31,28 |
Vietnam | 30,95 |
Myanmar | 22,78 |
Kamboja | 22,16 |
Keterangan: Brunei Darussalam dan Laos tidak diikutsertakan dalam Indeks Inklusi Finansial Global milik Bank Dunia tahun 2014 |