Gempa berkekuatan 6,5 SR yang melanda Aceh pada Desember 2016 telah menimbulkan banyak kerugian, baik material maupun jiwa. Gempa yang melanda tiga kabupaten, yakni Pidie Jaya, Bireuen, dan Pidie, telah meruntuhkan ribuan rumah, ratusan sekolah dan bangunan lain, serta merusak infrastruktur. Akibatnya, ratusan warga meninggal atau terluka. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa begitu banyak bangunan runtuh, sehingga jatuh banyak korban?
Peristiwa gempa di Aceh bukanlah kali yang pertama. Gempa serupa juga pernah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kita masih ingat gempa di Yogyakarta Mei 2006. Guncangannya merontokkan banyak gedung dan menimpa ribuan warga. Runtuhan bangunan telah merenggut banyak korban jiwa, melukai dan mencederai ribuan orang lain. Sebagian dari mereka yang selamat terpaksa hidup sebagai penyandang cacat.
Hasil pemeriksaan terhadap bangunan runtuh di Aceh, baik yang dilakukan oleh tim Universitas Syiah Kuala maupun pihak lain yang terdiri dari ahli konstruksi, menyimpulkan adanya ketidakberesan konstruksi. Besi untuk bangunan satu lantai digunakan pada bangunan dua lantai lebih, belum lagi besi kolom yang tidak saling mengikat. Pada kasus lain, ahli konstruksi mendapatkan komposisi bahan yang tidak tepat, misalnya terlalu banyak campuran air dalam adukan beton.
Temuan-temuan serupa juga diperoleh dari pemeriksaan terhadap bangunan roboh di Yogyakarta. Kerusakan paling parah terjadi pada bangunan tembok tanpa perkuatan struktur beton bertulang atau struktur baja. Pengerjaan asal-asalan dan kualitas bahan yang rendah, seperti menggunakan spesi kapur tras tanpa semen, menjadi sumber bencana sesungguhnya.
Keamanan bangunan
Dalam Konferensi Internasional Rekayasa dan Mitigasi Bencana Gempa ketiga di Bali awal Agustus 2016, Asosiasi Ahli Rekayasa Kegempaan Indonesia (AARGI) berpendapat bahwa kejadian gempa bukan sebagai penyebab bencana gempa. Elemen fisik bangunan yang rentan terhadap guncangan atau getaran gempa merupakan penyebab bencana.
Para ahli telah berulang kali mengingatkan pemerintah akan pentingnya bangunan dan infrastruktur tahan gempa. Pada tahun 2002 pemerintah telah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung (SNI 1726-2002), Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Tahan Gempa tahun 2006. Selanjutnya SNI 1726-2012 tentang Perencanaan Gedung dan Non-Gedung Tahan Gempa menggantikan SNI 1726-2002.
Peraturan-peraturan tersebut dikeluarkan dengan tujuan menjaga kenyamanan dan keselamatan warga, serta tetap berfungsinya bangunan dan infrastruktur lain pasca-bencana. Selain penerbitan peraturan, para ahli terus mengingatkan pentingnya penegakan aturan secara konsisten termasuk pengawasan ketat terhadap pembuatan bangunan dimulai dari pemberian izin mendirikan bangunan (IMB).
IMB merupakan instrumen pemerintah untuk menjamin keamanan, kenyamanan masyarakat. IMB diajukan sebelum pembangunan dilakukan, baik membangun baru, perluasan, maupun renovasi. Ketika pemilik bangunan mengajukan permohonan IMB, tim teknis akan melakukan survei meliputi peninjauan lokasi bangunan dan desain bangunan agar sesuai dengan rencana teknis bangunan dan rencana tata ruang pemerintah.
Hal yang diperhatikan adalah koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien luas bangunan (KLB), koefisien ketinggian bangunan (KKB), dan adanya pengawasan penggunaan bangunan (kesesuaian pembangunan dengan izin yang dimintakan). Idealnya, selama proses membangun, ada petugas pemerintah daerah setempat yang rutin memantau ke lokasi.
Hal ini karena sekalipun secara administratif semua persyaratan telah dipenuhi, penyimpangan dalam pelaksanaannya masih bisa terjadi. Misalnya, IMB untuk bangunan 3 lantai dibuat untuk 5 lantai. Tentu spesifikasi yang dicantumkan dalam IMB tidak memadai lagi.
Jika terjadi penyimpangan dalam pembangunan, maka pemerintah daerah setempat berwenang menyegel, bahkan mengeluarkan perintah bongkar bangunan. Tindakan tersebut perlu dilakukan mengingat telah terjadi penyalahgunaan izin, pengabaian terhadap keselamatan pengguna dan warga sekitar lokasi gedung, serta bisa mengacaukan rencana tata ruang dan wilayah daerah.
Selain IMB, pemerintah juga mensyaratkan dimilikinya sertifikat laik fungsi (SLF) sebelum bangunan digunakan. SLF diberikan setelah pembangunan selesai dan dinilai memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, termasuk syarat bangunan tahan gempa. Syarat dan proses administrasi SLF ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2007 tentang Pedoman Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung. SLF memiliki masa berlaku, yakni 5 tahun untuk bangunan umum dan 10 tahun untuk bangunan rumah tinggal. Menjelang masa berlaku habis, pemilik bangunan wajib mengajukan permohonan perpanjangan SLF.
SLF merupakan upaya pemerintah untuk meminimalkan kegagalan atau kerusakan suatu bangunan. Dasar LSF adalah UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, yang dijelaskan secara rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2002.
Sekalipun pemerintah pernah mewajibkan pemerintah daerah untuk menetapkan SLF selain IMB sebagai syarat penggunaan bangunan gedung, namun baru sebagian daerah yang menerapkannya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta misalnya, telah menerapkan peraturan tersebut dengan menetapkan perizinan bangunan yang harus dimiliki pemilik bangunan adalah IMB dan SLF sesuai ketentuan dalam Perda Nomor 7 Tahun 2010.
Penerapan peraturan lemah
Upaya pemerintah untuk meminimalkan risiko warga menghadapi bencana sudah lebih baik dengan diterbitkannya berbagai peraturan yang mensyaratkan dipenuhinya standar pembangunan dan pemanfaatan gedung. Namun, dalam kenyataannya masih banyak jatuh korban saat terjadi bencana. Di mana letak masalahnya?
Ada beberapa momen krusial yang tampaknya acap terlewat, dimulai dari pengurusan IMB. Bapak PW (62 tahun), warga Jatiwaringin, mengeluhkan pengurusan IMB yang melelahkan. Dia telah tiga kali bolak-balik ke Dinas Tata Kota Bekasi, tetapi hasilnya nihil. Ia gagal bertemu dengan petugas yang berjanji akan menangani. “Kami sudah janjian, tetapi petugas masih di lapangan. Saya disuruh nunggu lama. Petugas lain tidak bersedia menggantikan kalau kita sudah janjian dengan petugas tertentu. Saya jadi malas untuk terus mengurus.”
Lokasi pembangunan gedung milik pak PW sempat didatangi petugas. Kala itu petugas hanya mengingatkannya untuk segera mengurus IMB. Selama membangun, tidak ada petugas yang memeriksa kesesuaian antara bahan yang sungguh digunakan dan bahan yang dinyatakan dalam dokumen.
Warga di desa atau kaum marjinal kemungkinan akan sulit memenuhi persyaratan tersebut. Mereka membangun berdasarkan denah sederhana, dikerjakan oleh tukang kampung, dan umumnya tanpa pengawasan ahli konstruksi.
Bukan hanya pengurusan perizinan yang tidak selalu mudah, tetapi juga syarat perizinan yang belum tentu dapat dipenuhi oleh warga. Rancang bangun, penentuan spesifikasi bahan, dan perhitungan biaya memerlukan keahlian khusus dan umumnya berbiaya. Warga di desa atau kaum marjinal kemungkinan akan sulit memenuhi persyaratan tersebut. Mereka membangun berdasarkan denah sederhana, dikerjakan oleh tukang kampung, dan umumnya tanpa pengawasan ahli konstruksi.
Keterbatasan tersebut tidak hanya dialami oleh warga, tetapi juga pemerintah daerah. Petugas pemerintah yang kompeten di bidang konstruksi masih terbatas, sehingga pemerintah sulit menjalankan peran pengawasan. Belum lagi soal ketersediaan alat uji yang belum memadai. Di satu sisi, peraturan tentang keamanan gedung sudah lebih baik, tetapi di sisi lain semua persyaratan agar peraturan tersebut dapat diterapkan belum terpenuhi. Ditambah lagi kecenderungan petugas pemerintah yang menganggap IMB semata soal retribusi, kian menghambat penerapan semua peraturan tersebut.
Pengalaman negara lain
Pengalaman negara lain bisa menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Pemahaman pemerintah yang matang akan menghasilkan perencanaan dan tindakan yang matang (tegas) pula, sebagaimana diperlihatkan oleh pemerintah Taiwan saat menjatuhkan hukuman bagi pengembang yang apartemennya hancur saat gempa Februari 2016.
Begitu pula para pemimpin Selandia Baru yang mengeluarkan kebijakan dan pengawasan sedemikian rupa guna melindungi warganya. Menuk (71 tahun), orang Indonesia yang sudah menjadi warga negara Selandia Baru, harus rela membiarkan garasinya terbuka karena berdampingan dengan kamar mandi/WC. Pengawasan pemerintah terhadap pembangunan sangat ketat. Petugas Kota Praja bahkan memeriksa pemasangan kabel listrik. Jika pemasangan tidak sesuai ketentuan, petugas akan memberikan koreksi atau perintah bongkar.
Karena Selandia Baru sering mengalami gempa (bisa ribuan kali dalam setahun), rumah tinggal baru jarang menggunakan batu bata. Kerangka bangunan berbahan kayu, aluminium, atau baja. Pemerintah setempat rutin melakukan pemeriksaan terhadap gedung-gedung tua. Gedung yang tidak memenuhi persyaratan harus diperkuat. Gedung-gedung tinggi menggunakan rangka baja yang lentur, jendela pun berbahan lentur.
Menurut Menuk, Selandia Baru memiliki Komisi Gempa Bumi yang bertanggung jawab atas pembiayaan kerusakan akibat gempa.
Berkaca pada pengalaman pemerintah Selandia Baru, pemerintah (daerah) di Indonesia perlu segera memenuhi jumlah aparat yang cakap di bidang desain gedung dan konstruksi/pembangunan, menyediakan jasa konsultasi gratis bagi warga yang tidak memiliki akses kepada ahli desain gedung dan ahli konstruksi/pembangunan. Selain itu, pemerintah daerah perlu senantiasa melakukan pembaruan peta jalur atau lintasan gempa guna menghindari pendirian bangunan di daerah tersebut. Tentu kita tidak ingin menyimpan bom waktu dengan membiarkan diri lalai.