Budaya Kebugaran Kontemporer
Kebugaran menjadi perhatian baru warga dunia. Jumlah pusat kebugaran di dunia selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan signifikan. Animo ini juga tampak di media sosial melalui foto-foto yang diunggah netizen dunia. Tren olah kebugaran tersebut juga diadopsi oleh kalangan menengah atas Indonesia sebagai gaya hidup.
Surat kabar The New York Times tahun 2014 menurunkan berita mengenai Jen Selter yang sering mengunggah fotonya saat berlatih olahraga. Selepas jam kerja, Selter melakukan latihan otot di tempatnya bekerja dan mengunggah sesi latihannya tersebut ke media sosial.
Meski hanya warga biasa, foto-foto Selter saat melakukan fitness mendapat banyak perhatian. Melalui foto tersebut, Selter mampu menunjukkan bahwa olahraga tidak hanya menyehatkan, tetapi juga membuat perempuan berusia 18 tahun tersebut memiliki tubuh seksi. Sosoknya menjadi sensasional dan menginspirasi banyak perempuan untuk berolahraga dan memiliki tubuh indah seperti Selter.
Setelah Selter, makin banyak selebritas dan netizen yang memamerkan kegiatan olah tubuh mereka. Foto atau video yang menggunakan tagar seperti #fitness atau #workout pun mencapai 170 juta unggahan. Swafoto menggunakan pakaian olahraga menjadi tanda eksistensi masa kini.
Tren di Indonesia
Media sosial lagi-lagi menjadi jendela dunia. Setiap orang di belahan dunia mana pun dapat melihat dan mengawasi satu sama lain. Tren memamerkan foto saat berolahraga ala Selter pun mewabah juga di Indonesia.
Aktris Dian Sastro salah satunya. Bisa jadi dia tidak meniru gaya Selter, tetapi sebagai seorang public figure Indonesia, apa yang dilakukannya sehari-hari menjadi panutan masyarakat Indonesia. Selain sebagai aktris film, Dian juga aktif berolahraga, seperti lari, boxing, dan yoga. Dian juga sering mengunggah aktivitasnya ke sosial media diikuti tagar #pertemanansehat dan #jangankasihkendor.
Meski awalnya tagar tersebut hanya untuk berkomunikasi dalam lingkaran pertemanan Dian, akhirnya ditiru juga oleh masyarakat luas. Akhirnya, secara perlahan masyarakat mulai mengikuti hobi olahraga Dian tersebut—ikut mengunggah ke sosial media—dengan tagar yang sama. Kehadiran sosok terkenal pun terbukti berpengaruh dalam membumikan tren baru ini.
Tujuan olah tubuh sebagai gaya hidup adalah untuk mendapatkan kebugaran dan kesehatan yang makin prima. Sementara sebagai sebuah tren, tujuan olahtubuh adalah untuk memantapkan kelas sosial. Olah tubuh yang dilakukan bukan untuk tren dapat dijalankan dengan sangat murah. Sebaliknya, olahraga sebagai tren membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ongkos yang dikeluarkan pun bukan hanya pada biaya latihan, tetapi juga pada atribut-atribut lain, seperti pakaian, sepatu, dan peralatan yang harus digunakan untuk berlatih sehari-hari.
Selain Dian, tren kebugaran juga diikuti oleh Narita Diyan (38). Tiga tahun lalu, ibu satu anak ini mulai melirik olahraga sebagai gaya hidup. Awalnya, ia sekadar mengikuti lomba lari maraton yang sedang marak di Ibu Kota dan dengan intensitas yang tidak teratur. Namun, pada awal 2016 Narita memutuskan berkomitmen untuk rutin melakukan olahraga lari.
Saat ini targetnya bukan lagi untuk kesehatan dan kebugaran tubuh, melainkan untuk berkompetisi. Tidak hanya lari, ia kini juga menekuni olahraga sepeda dan berenang. Narita hampir setiap hari berlatih ketiga jenis olahraga tersebut secara bergantian dan menargetkan dapat mengikuti triathlon (lari-renang-sepeda) di Sungailiat, Bangka, April mendatang.
Komitmen yang dijaga Narita muncul karena efek positif yang dia rasakan. Olahraga memberikan improvement for mind, body and soul. ”Selain efek positif bagi tubuh dan pikiran, exercise rutin bagi saya adalah bagian dari rasa bersyukur kepada Tuhan. Saya diberikan kemauan dan kemampuan untuk melakukan semua ini, sementara banyak di antara kita tidak punya kesempatan untuk menikmati olahraga,” ujarnya ketika dihubungi Kompas melalui surat elektronik.
Narita mewakili kelas menengah Ibu Kota yang menjadikan olahraga sebagai gaya hidup itu sendiri. Ia mendapatkan kesehatan yang prima dan pada waktu yang bersamaan menjadi bagian dari tren masa kini.
Sebagai konsekuensi pengikut tren, Narita juga berusaha tampil menarik saat berolahraga. Rutinitasnya dalam berlatih kerap ia publikasikan melalui media sosial. Di akun Instagramnya, ia mengunggah foto ketika berlatih lengkap dengan paduan baju olahraga yang menarik. ”Outfit yang tepat akan meningkatkan performance saat berlatih. Tapi yang juga penting bagi saya adalah untuk terlihat menarik dan eye catching,” katanya.
Perlengkapan olahraga yang digunakan Narita dan kaum urban kelas menengah pengikut tren kebugaran bisa jadi berkualitas dan mahal harganya. Harga perlengkapan olahraga dibanderol mulai dari Rp 300.000 sampai Rp 5 juta. Bagi kelas menengah, harga yang mahal tidak menjadi masalah selagi dapat menunjang aktivitas olahraga dan penampilannya.
Seperti dikutip dari situs nike.com, harga sebuah kaus kaki saja bisa mencapai Rp 650.000. Padahal, dengan merek biasa, harganya hanya Rp 10.000.
[kompas-highchart id="bugar-1" /]
Sarana olah kebugaran
Gaya hidup olahraga juga diikuti dengan meningkatnya jumlah sarana olahraga. Di dunia, jumlah sarana olahraga meningkat drastis selama lima tahun terakhir. Tahun 2009, baru ada sekitar 128.000 pusat olahraga dan tahun 2015 meningkat hampir 50 persen menjadi 186.000.
Hal yang sama terjadi di Indonesia. Menurut data yang dirilis Statista, Indonesia menempati urutan ketujuh dalam hal jumlah pusat kebugaran di Asia Pasifik. Di luar data tersebut, kegiatan olah tubuh banyak dilakukan berkelompok secara mandiri.
[kompas-highchart id="bugar-2" /]
Setelah meredupnya senam aerobik yang jamak diminati tahun 2000-an, pusat kebugaran yang semula hanya ada di hotel mulai menjamur dan hadir dalam tampilan yang beragam. Di Jakarta, pusat kebugaran konvensional bermertamorfosis menjadi studio zumba, pilates, yoga, sampai yang terbaru, seperti crossfit, indoor cycling, dan micro-gym.
Makin beragamnya jenis olah tubuh pun tidak lepas dari diseminasi informasi yang dilakukan oleh figur publik. Penyanyi Andien Aisyah, misalnya, pada 2014, menyalurkan gairahnya pada olahraga dengan membuka bisnis micro-gym pertama di Indonesia. Pengguna micro-gym dengan teknologi electro muscle stimulation bisa mendapatkan hasil yang lebih baik dengan waktu latihan yang lebih singkat.
Ide dari micro gym menjadi tawaran yang sangat sesuai dengan manusia urban yang tak banyak memiliki waktu luang. Dalam hal ini, Andien menjadi agen perubahan yang tidak hanya bertindak memopulerkan, tetapi juga menjadi produsen tren hidup sehat.
Namun, berlatih di sarana olahraga tidaklah gratis. Biaya yang dibutuhkan setiap kali berolahraga bervariasi dari Rp 25.000 sampai ratusan ribu rupiah. Sebut saja yang paling murah untuk olahraga aerobik. Biaya setiap kali latihan adalah Rp 25.000-Rp 125.000. Sementara itu, biaya yang paling mahal hampir Rp 400.000 untuk berolahraga electro muscle stimulation.
Harga yang harus dibayar untuk tren hidup sehat ini tidak murah. Setidaknya butuh modal lebih untuk bisa melakukannya di kota-kota besar. Namun, bagi Albertus (28) masih ada sejumlah cara untuk melakoni. Pria yang bekerja di kawasan Senayan tersebut memilih berolahraga tinju sendiri. Hal tersebut, menurut dia, cukup murah dibandingkan harus bergabung dengan klub olahraga dan membayar biaya keanggotaan. Padahal, olahraga tinju yang ia geluti bukan olahraga murah jika dilakukan di klub tinju profesional.
Ia memilih membeli samsak bersama kawan-kawan, lalu berlatih sendiri. Ia pun cenderung tidak mengunggah kegiatannya tersebut di media sosial. ”Intinya biar sehat. Soal gaya itu biasanya hanya terjadi pada orang yang baru mengawali olahraga,” ujarnya.
Setali tiga uang, gaya hidup bugar berdampak pada aspek kesehatan sekaligus sosial. Jika dijalankan dengan benar, latihan fisik dapat meningkatkan kualitas tidur, memperbaiki mood, dan tentu saja menambah kebugaran. Pun jika tidak dijalankan dengan benar, pelaku tren kebugaran setidaknya mendapatkan keuntungan sosial, seperti mendapatkan banyak teman dan dapat bergaya di media sosial.
Gaya hidup Victorian
Tren gaya hidup bugar yang dilakukan Narita dan kecenderungan kaum urban lain merupakan gejala munculnya kembali gaya hidup Victorian. Victorian merupakan sebuah kultur masyarakat kelas menengah terdidik di Eropa Barat dan Amerika di abad ke-19. Kaum Victorian dengan pilihan gaya hidupnya menunjukkan perbedaan yang tajam dengan kelas lain.
Akhir tahun lalu, sebuah artikel di majalah Jacobin mengulas tentang kembalinya etos Victorian yang mewujud dalam tren olah kebugaran. Dalam artikel tersebut dijelaskan, meskipun seseorang tidak benar-benar berolahraga, ia akan tetap merasa sama dengan orang yang berolahraga hanya dengan mengenakan perlengkapan atau baju layaknya atlet profesional. Hal tersebut untuk menunjukkan bahwa seseorang tersebut berada di kelas sosial tertentu dan berfungsi sama layaknya masa Victorian yang mengenakan korset untuk menopang dominasi sosial.
Orang yang telah melakukan olahraga dapat mengunggah fotonya ke media sosial untuk membuktikan kepada orang lain bahwa ia telah berlatih keras. Sama halnya seperti yang dilakukan Narita atau Dian. Kedisiplinan mengolah tubuh yang berbuah hasil tercapainya bentuk tubuh idaman adalah perwujudan nilai yang dahulu dianut kaum Victorian.
Saat ini dengan media sosial, setiap orang memiliki publiknya masing-masing (follower). Tidak heran jika kemudian muncul selebritas Instagram yang seolah memiliki tanggung jawab untuk mengabarkan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Dalam hal mengikuti tren kebugaran, perkaranya bukan lagi pada apakah seseorang benar-benar mendapatkan manfaat atas tren ini, melainkan lebih pada apakah pesan bahwa “saya bagian dari gaya hidup elite” sampai kepada publik (baca: follower).