Upaya Meredam Aksi Kriminalitas
Meningkatnya kualitas tindak kejahatan saat ini dinilai semakin mengkhawatirkan di tengah upaya aparat kepolisian menekan laju pertumbuhan angka kriminalitas. Perhatian aparat dan partisipasi masyarakat secara umum diperlukan untuk lebih memberi rasa aman kepada warga.
Jajak pendapat Kompas tentang tingkat kriminalitas di masyarakat mengungkapkan besarnya kekhawatiran publik akan tindak kejahatan saat ini. Dibandingkan dengan lima tahun yang lalu, lebih dari dua pertiga bagian (71,9 persen) responden menyatakan, tindak kriminal saat ini semakin berbahaya.
Saat ini, semakin banyak aksi kriminal ekstrem yang terungkap dengan melibatkan orang asing ataupun orang yang dikenal baik. Perkembangan teknologi juga berperan dalam kebaruan aksi kriminal melalui berbagai bentuk kejahatan kesusilaan terhadap orang dewasa ataupun anak-anak. Selain itu, kriminalitas di dunia maya juga muncul dalam bentuk penyebaran ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan fitnah.
Dalam jajak pendapat ini diakui responden bahwa mereka tidak mengalami tindak kriminalitas secara langsung, tetapi lebih pada mengetahui kejadian atau peristiwa kriminal yang terjadi di lingkungan tempat tinggal. Sebanyak 61,7 persen responden mengakui hal tersebut.
Kejahatan terjadi di mana saja dan kapan saja, bahkan di lingkungan yang dianggap sangat aman sekalipun.
Tindakan kriminal umum, seperti perampasan hak milik, pencurian, dan perampokan, masih menjadi tindak kriminal yang paling mengkhawatirkan responden. Sebanyak 36 persen responden mengaku khawatir terhadap bentuk kejahatan ini. Kekhawatiran ini sejalan dengan temuan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Kriminal Tahun 2016 yang menempatkan kejahatan terhadap hak milik di peringkat teratas dengan 114.013 kejadian.
Kejahatan yang mengancam nyawa dan kejahatan narkotika menempati peringkat kedua mencakup 36.874 kejadian.
Temuan jajak pendapat menunjukkan 21,7 persen responden mengaku khawatir terhadap kejahatan narkoba dan ancaman pembunuhan. Sementara kejahatan terhadap kesusilaan dikhawatirkan 8,7 persen responden.
Eskalasi tingkat bahaya bisa jadi dipicu meningkatnya rasa nekat seseorang atau sekelompok orang melakukan tindak kejahatan didorong oleh kebutuhan tertentu. Atau, bisa juga dipicu kecanggihan berpikir untuk bertindak jahat yang didukung dengan kemajuan teknologi sekarang.
Angka kriminalitas, mengacu data BPS, menunjukkan kenaikan dari 325.317 pada 2014 menjadi 352.936 pada 2015. Polda Metro Jaya menjadi yang tertinggi dalam jumlah pelaporan kejahatan, disusul Polda Jawa Timur dan Polda Sumatera Utara.
Tren kriminalitas
Rasa aman, baik atas perlindungan diri pribadi, kehormatan, martabat, maupun harta benda, merupakan hak asasi yang telah tertuang dalam Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945. Negara, melalui aparat penegak hukum, harus memastikan perlindungan terhadap tindakan kriminal, baik melalui upaya pencegahan, pemberantasan, maupun penanganan melalui peradilan.
Awal tahun ini, Jakarta dihebohkan dengan perampokan di sebuah rumah mewah di kawasan Pulomas, Jakarta Timur. Para pelaku yang merupakan residivis perampokan menyekap 11 korban di kamar mandi. Enam korban tewas akibat penyekapan tersebut.
Beberapa waktu kemudian, polisi berhasil mengungkap jaringan pelaku kejahatan asusila terhadap anak di bawah umur yang beroperasi dengan memanfaatkan teknologi. Maret lalu, polisi membongkar jaringan paedofil dunia maya yang beranggotakan 7.800-an akun Facebook. Lima pengelola grup ditangkap.
Dewasa ini, jenis kejahatan lain juga marak di dunia maya, seperti penyebaran ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan fitnah. Sepanjang 2016, terdapat 1.627 kasus pidana yang ditangani Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Separuh lebih atau sebanyak 1.207 kasus menyangkut ujaran kebencian dan pencemaran nama baik (Kompas, 30/12/2016).
Peran aparat
Berdasarkan data statistik kriminal 2016, tingkat risiko terkena kejahatan adalah 140 dari setiap 100.000 penduduk. Selang waktu antartindak kejahatan tercatat hanya 1 menit 29 detik.
Ini menunjukkan bahwa potensi terjadinya aksi kriminal begitu besar.
Untuk itu, sudah semestinya semua lapisan masyarakat memiliki akses ke pihak berwajib sebagai tempat melaporkan tindak kejahatan. Apalagi, berdasarkan jajak pendapat, 46,4 persen responden yang mengetahui tindak kriminal di sekitarnya menyatakan akan melaporkan kepada polisi. Namun, masih ada 25,9 persen responden yang justru mengaku hanya akan berdiam diri.
Polri pun tahun ini akan meningkatkan keberadaan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas). Hal ini dilakukan untuk mencegah potensi ancaman dan keamanan (Kompas, 3/1).
Penilaian publik terhadap kemampuan polisi dalam membasmi tindak kriminal cenderung lebih positif dibandingkan dengan penilaian terhadap kejaksaan dan kehakiman.
Sebanyak 59,7 persen responden menilai, dua lembaga penegak hukum tersebut belum mampu menghadirkan peradilan yang murah dan cepat bagi pelaku tindak pidana kriminal.
Penegakan hukum untuk pelaku tindak kejahatan justru menghadapi berbagai kendala di dalam prosesnya. Padahal, terdapat asas yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa peradilan harus dilakukan dengan asas cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Ini seharusnya diterapkan dalam semua tingkat peradilan.
Namun, optimisme publik tetap muncul di tengah kekhawatiran akan rasa aman yang terancam. Sebanyak 71,3 persen responden merasa yakin bahwa penegakan hukum terhadap pelaku tindak kriminal akan lebih baik ke depan. Kepolisian dan masyarakat perlu bersinergi untuk menjaga keamanan, tidak hanya di lingkungan sekitar, tetapi juga seluruh pelosok negeri.
(Litbang Kompas/Ida Ayu Grhamtika Saitya)