Pencacahan jiwa yang dilakukan BPS, walaupun mungkin tidak sepenuhnya memberikan kepastian soal jumlah, mungkin tetap dapat dipakai untuk melihat beberapa kecenderungan, terutama menjadi petunjuk awal atas perubahan-perubahan dan tren migrasi yang mungkin terjadi. Dengan membandingkan antara data tahun 2000 dan 2010, setidaknya tertangkap gambaran pola-pola migrasi yang mungkin menjadi inti dari cara “membaca Tionghoa”.
Berdasarkan sensus penduduk oleh BPS tahun 2000, jumlah etnis Tionghoa di Indonesia hanya 1,1 persen dari total penduduk Indonesia dan meningkat menjadi 1,2 persen pada tahun 2010. Etnis ini bertambah sebanyak 536.763 jiwa selama kurun waktu sepuluh tahun (2000-2010), dari 2,295,747 jiwa menjadi 2,832,510 jiwa, atau naik sebesar 23,38 persen (bandingkan dengan pertambahan penduduk Indonesia yang 15,8 persen). Dengan rata-rata pertumbuhan pertahun 2,34 persen, etnis Tionghoa menjadi kelompok masyarakat yang mengalami pertumbuhan jauh lebih pesat daripada rata-rata pertumbuhan penduduk Indonesia, yang hanya 1,48 persen pertahun selama sepuluh tahun tersebut.
Pertambahan penduduk Tionghoa terjadi di 325 (73,6 persen) wilayah dari total 440 kabupaten/kota pada tahun 2000. Pada 284 kabupaten/kota, pertumbuhannya berada di atas rata-rata pertumbuhan penduduk Indonesia (15,8 persen) selama sepuluh tahun, dengan pertambahan pesat (lebih dari 50%) terjadi di 208 daerah, termasuk di wilayah-wilayah padat penduduk seperti Kota Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Tangerang, Kota Batam, Kota Pekanbaru, Bogor, Kota Depok, Bandung, dan lain-lain. Secara umum, di Jawa bagian barat (Jabodetabek), Banten, dan Bandung etnis Tionghoa mengalami pertumbuhan yang signifikan. Daerah-daerah tersebut dicirikan oleh pertumbuhan perdagangan yang pesat dan migrasi masuk yang jauh lebih besar daripada migrasi keluar. Pertumbuhan juga terjadi di sebagian wilayah Jawa Timur, seperti Kota Surabaya, Sidoarjo, Malang, Pacitan, Bojonegoro, Lumajang, Madiun, Blitar, Tulungagung, Magetan, Jember, Gresik, Pasuruan, Banyuwangi, Ponorogo, Kota Batu dan sejumlah wilayah lain. Di Pulau Madura, pertumbuhan etnis Tionghoa di wilayah Pamekasan jauh lebih cepat dibanding kabupaten-kabupaten lainnya.
Pertambahan jumlah penduduk Tionghoa juga sangat signifikan pada sejumlah wilayah yang menunjukkan kondisi keamanan yang semakin baik. Misalnya di Aceh, yang pada Sensus 2000 sangat sedikit atau bahkan tidak ada penduduk Tionghoa, pada tahun 2010 memperlihatkan pertambahan penduduk Tinghoa yang sangat kentara. Di Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Jaya, Bireun, Aceh Timur, Aceh Barat, Bener Meriah, Aceh SIngkil, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Tamiang, kenaikan penduduk Tionghoa lebih dari 100 persen. Meski demikian, pertumbuhan penduduk di Aceh harus dicermati, pertama mengingat Tahun 2000 BPS kemungkinan sulit melakukan sensus di sana karena gejolak politik yang melibatkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan kedua karena tidak ada yang mau mengaku sebagai etnis Tionghoa dalam kerawanan konflik politik itu.
Hal yang serupa juga terjadi di bekas wilayah konflik lainnya, seperti di Papua (Jayapura, Nabire, Boven Digoel, Jayawijaya, Mimika, Sorong, Seram Bagian Timur, Merauke, Sarmi, Kota Sorong, Kota Jayapura, dan Seram Bagian Barat, Boalemo, dan Asmat).
Sementara itu, di wilayah-wilayah ekonomi baru yang sedang berkembang karena industri tambang juga terjadi pertambahan penduduk Tionghoa yang signifikan. Tambang mangan yang mulai berkembang di wilayah NTT seperti di Manggarai, Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan, serta daerah tambang batubara di Kalimantan seperti Barito Selatan, Barito Utara, Barito Timur, Kapuas, dan Kota Waringin Timur, menjadi daya tarik yang cukup kuat bagi kalangan Tionghoa.
Walaupun tumbuh pesat, namun tidak di semua wilayah pertumbuhan penduduk etnis Tionghoa terjadi. Di Kota Pariaman, Kabupaten Kaur, Puncak Jaya dan Tolikara selama sepuluh tahun tidak tercatat adanya penduduk etnis Tionghoa, menurut data BPS.
Penurunan jumlah etnis Tionghoa terjadi di 110 kabupaten/kota. Penurunan ini paling kentara terjadi di wilayah tengah dari Pulau Jawa, terutama pada daerah-daerah yang menjadi sentra perdagangan lama. Selain Kota Cirebon dan Kota Semarang, sejumlah permukiman lama di Jawa bagian tengah juga mengalami penurunan jumlah orang Tionghoa, seperti Banyumas, Temanggung, Purbalingga, Wonosobo, Rembang, Pemalang, Batang, Pati, Wonogiri, Blora, Karanganyar, Jepara, Kendal, Sragen, Kota Pekalongan, Kota Salatiga, Purworejo, Banjarnegara, Cilacap, Tegal dan Kota Tegal, Brebes, Magelang dan Kota Magelang, Sukoharjo, Klaten, hingga Kota Surakarta. Namun, untuk daerah yang mampu mengembangkan sektor jasa seperti Yogyakarta, kemerosotan jumlah dapat tertahan (meskipun juga tidak berkembang).
Wilayah-wilayah di luar Jawa, yang dulunya menjadi daerah konsentrasi pendatang Tionghoa, sehingga menjadi wilayah bercitra tradisional Tionghoa Indonesia, tampaknya juga mulai berubah. Wilayah-wilayah yang pada masa dahulu menjadi daerah tujuan eksodus penduduk China karena pembukaan usaha tambang di Sumatera dan Kalimantan, kini mulai ditinggalkan. Di beberapa daerah Provinsi Bangka Belitung yang dulunya menjadi daerah tambang timah, dan sejumlah wilayah di Kalimantan Barat yang pernah menjadi daerah tujuan penambang emas, jumlah penduduk Tionghoa makin tergerus. Di Pulau Sumatera, penurunan cukup kentara juga terjadi di sejumlah wilayah Sumatera Barat, seperti Tanah Datar, Kota Sawahlunto, Kota Padang, Kota Bukittinggi, Kota Lubuklinggau, dan Kota Tebingtinggi.
Di Kalimantan Barat, gejala penurunan dapat dilihat pada daerah-daerah yang dulunya menjadi pusat pertambangan emas seperti Kabupaten Sambas dan Bengkayang. Bahkan, daerah “peChinan” seperti Kota Singkawang , Kota Pontianak dan Kabupaten Pontianak, pertumbuhan penduduk Tionghoa relatif stagnan, lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan penduduk nasional.
Pertumbuhan penduduk Tionghoa tidak selalu identik dengan proporsi jumlahnya di suatu wilayah. Bisa saja secara total terjadi penurunan jumlah seperti di Pontianak, namun secara proporsi justru mengalami kenaikan. Diduga, daerah tersebut telah semakin plural, menjadi kota yang didiami oleh bermacam suku bangsa, sehingga dengan jumlah yang tersisa pun, proporsi etnis tionghoa masih terbesar, bahkan semakin menonjol pada 2010.
Besarnya proporsi suatu etnis di sebuah wilayah, bisa dimaknai sebagai “penetrasi” atau “dominasi” yang mungkin saja berkorelasi dengan besarnya hegemoni etnis tersebut atas kehidupan ekonomi, sosial dan kebudayaan. Di Kota Singkawang, misalnya, dengan jumlah etnis mencapai 36 persen (tahun 2010), sangat mungkin penetrasinya atas kegiatan ekonomi, kehidupan sosial, dan kultur sangat dominan. Walau demikian, komposisi etnis Tionghoa di sini turun 5,1 persen selama satu dekade terakhir, sehingga menimbulkan pertanyaan mengapa terjadi perubahan komposisi yang cukup drastis padahal keterbukaan politik sudah sangat luas setelah terpilihnya warga dari kalangan Tionghoa (Hasan Karman) sebagai Walikota Singkawang (2007-2012).
Perubahan yang serupa juga terjadi di enclave Tionghoa Sumatera, yakni di Provinsi Bangka-Belitung. Bahkan, di ibukota provinsi ini, yakni Kota Pangkal Pinang, terjadi kemerosotan penetrasi yang paling tajam, dari 26,5 persen menjadi 13,17 persen. Penurunan proporsi juga terjadi di hampir semua kabupaten lainnya, seperti Bangka, Bangka Barat, Bangka Selatan, Bangka Tengah, Belitung, dan Belitung Timur.
Berbagai gejala di atas dapat menjadi kajian yang menarik untuk memetakan perubahan sosial yang terjadi pada etnis Tionghoa di Indonesia. Dengan mempelajari perubahan yang terjadi pada etnis Tionghoa, sangat mungkin juga tergambar kecenderungan-kecenderungan yang terjadi pada etnis-etnis lainnya. Pola-pola migrasi Tionghoa bisa terjadi karena faktor penarik. Migrasi yang terjadi karena perkembangan yang berlangsung dalam perekonomian lokal, antarwilayah di dalam domain Indonesia, karena daya tarik potensi daerah yang dituju. Pembukaan tambang-tambang dan perkebunan baru dan berkembang atau terbukanya sentra-sentra ekonomi baru di sejumlah wilayah menjadi daya tarik etnis Tionghoa untuk mencari kehidupan baru dengan meninggalkan daerah asal. Migrasi ke kota juga didorong oleh persaingan yang semakin ketat dengan pengusaha pribumi yang kian berkembang di kota-kota kecil. Jaringan dan modal kalangan pribumi yang semakin kuat, turut menggeser hegemoni orang-orang Tionghoa dalam perdagangan.
Migrasi Tionghoa juga sangat mungkin terjadi karena faktor pendorong, seperti masalah politik, keamanan, dan kurangnya potensi ekonomi di daerah asal. Pergolakan politik dan kerusuhan rasial di Indonesia yang terjadi pada Mei 1998, yang diawali oleh terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, telah berdampak luas pada masyarakat Tionghoa. Kerusuhan besar menjelang kejatuhan rezim Soeharto ini telah mendorong sebagian orang Tionghoa, terutama dari kalangan atas, untuk menetap di luar negeri.
Migrasi Tionghoa juga sangat mungkin terjadi karena perubahan orientasi, tidak saja dalam pekerjaan tetapi juga dalam kepercayaan serta adat istiadat. Ikatan primordial yang mengendur, nilai-nilai keluarga yang kian longgar, serta jaringan sosial yang melemah di tempat asal juga berpotensi mendorong etnis Tionghoa mencari bentuk-bentuk baru kehidupan sosial di tempat lain. Basis pekerjaan yang semula berdagang atau bertani, mulai ditinggalkan oleh generasi muda yang mendapat kesempatan pendidikan yang lebih baik. Mereka mencari kehidupan di kota-kota besar yang menyajikan beragam pilihan pekerjaan. Bekerja di perusahaan swasta atau bergerak di bidang jasa, kian menjadi pilihan menarik daripada berdagang di desa atau kota-kota kecil. Gejala itu membuat basis ikatan sosial dan kultural dengan penduduk lokal semakin jauh. Penduduk desa tidak ada ketergantungan lagi dengan patron-patron ekonomi yang dulunya banyak dikuasai oleh kalangan Tionghoa. Melemahnya basis Tionghoa di desa, juga berpotensi memutus mata rantai kekuatan politik kalangan ini di level paling bawah, terutama di wilayah-wilayah Jawa yang pertanian tradisionalnya telah berubah.
(LITBANG KOMPAS)