Milenial di Pusaran Medsos
GENERASI Milenial tengah menjadi sorotan saat ini. Polah tingkah laku Generasi Y ini mengundang perhatian karena jauh berbeda dari generasi sebelumnya, di antaranya fasih menggunakan teknologi dan memiliki rasa percaya diri yang kuat. Hal tersebut sedikit banyak memengaruhi pola penggunaan internet yang berdampak pada pola konsumsi makanan, mode, dan produk kecantikan.
Sebutan Generasi Y muncul setelah Generasi X yang disebut juga Generasi Baby Boomers yang hadir setelah meredanya Perang Dunia II. Sejumlah literatur menetapkan, Generasi Milenial lahir dalam rentang tahun 1980-2000. Hasil penelitian Pew Research menyebutkan (2010), Generasi Y memiliki karakteristik melek teknologi dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Kehidupan Generasi Milenial tidak bisa dilepaskan dari teknologi, terutama internet dan entertainment (hiburan).
Selain itu, generasi ini juga lebih terbuka terhadap pandangan politik dan ekonomi sehingga mereka terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya. Mereka juga berjiwa wirausaha dan cenderung bekerja dalam kelompok. Karakteristik lainnya, Generasi Milenial juga cenderung membutuhkan pengakuan dan apresiasi atas kerja kerasnya. Buktinya, mayoritas anak-anak muda pasti memiliki akun media sosial (medsos).
Saat ini, populasi Generasi Milenial sangat besar di sejumlah negara. Tertinggi ada di India, yakni 209 juta orang, diikuti China dengan 193 juta orang. Di Indonesia, jumlah orang dari Generasi Milenial 61,8 juta atau sekitar 24,5 persen dari total jumlah penduduk.
Jika dilihat dari jumlah populasi penduduk negara-negara kawasan Asia Tenggara, Indonesia menjadi kunci jumlah produktif terbanyak. Dari 10 negara anggota ASEAN, diperkirakan jumlah penduduknya mencapai 625 juta jiwa dengan 23 persen adalah Generasi Milenial dari Indonesia.
Tren ikut medsos
Generasi yang juga mendapat sebutan Generasi Langgas ini juga sangat menggemari internet. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016 mencatat, sebanyak 24,4 persen dari 132,74 juta pengguna internet di Indonesia berusia 25-34 tahun. Penetrasi tertinggi juga berada di golongan anak muda ini, yakni 75,8 persen.
Catatan APJII tersebut juga tecermin dalam kehidupan sehari-hari kaum Milenial.
Hampir semua aspek kehidupan mereka dipengaruhi oleh internet, mulai dari cara belajar, berbelanja, hingga bekerja dilakukan secara daring.
Dunia maya menjadi labirin baru yang menawarkan banyak hal sehingga memengaruhi mereka dalam menentukan pilihan. Medsos menjadi sarana bagi Gen Y untuk memudahkan kehidupan mereka.
Lewat medsos, mereka mengumbar kehidupan sehari-harinya sehingga menjadi konsumsi publik. Menu sarapan pagi, lagu apa yang didengar saat menembus kemacetan Ibu Kota, atau di mana lokasi liburan akhir tahun menjadi beberapa contoh hal yang diceritakan Gen Y di medsos. Perilaku para milenial ini disebut dengan self-obsession. Mereka cenderung terobsesi dan fokus pada diri sendiri atau narsis.
Memengaruhi pola konsumsi
Akibatnya, medsos memiliki andil besar dalam kehidupan Gen Milenial, termasuk pola konsumsi barang dan jasa mereka. Di sanalah mereka berselancar melihat perkembangan terkini dunia, mulai dari tempat nongkrong, busana, hingga produk kecantikan.
Aqida (25) dan Aya (23), karyawan swasta di Jakarta, menjadi contoh Generasi Y yang pola konsumsinya sangat dipengaruhi oleh medsos, khususnya Instagram.
Aqida menyebutkan, dirinya bisa sangat tergoda dengan makanan yang diunggah di Instagram. Kehadiran ojek daring cukup membantu Aqida untuk membeli makanan karena menghemat waktu, tidak mengganggu jam kerja, tapi di sisi lain tetap bisa memenuhi keinginan.
Survey AC Nielsen (2015) menunjukkan, Milenial adalah generasi yang memiliki intensitas paling tinggi makan di luar, yakni 58 persen. Enam dari sepuluh Gen Y makan di luar minimal seminggu sekali, sedangkan satu dari tiga orang sekitar 3 kali dalam seminggu. Meski waktu dan uang terbatas, hal itu tidak menghalangi mereka untuk bersantap di luar.
Lain halnya dengan Aya yang lebih memiliki minat pada bidang mode (fashion). Setiap membuka Instagram yang menjual pakaian, Aya langsung membelinya. Harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan di toko menjadi salah satu alasannya.
Instagram yang muncul tahun 2010 kini telah memiliki 200 juta pengguna aktif setiap bulan. Sebanyak 20 miliar foto telah diunggah sampai saat ini. Menurut Ypulse, riset pasar khusus Milenial menyatakan sebanyak 47 persen Gen Y adalah pengguna Instagram.
Instagram yang muncul tahun 2010 kini telah memiliki 200 juta pengguna aktif setiap bulan.
Tingginya jumlah pengguna Generasi Y serta keaktifan penggunaannya membuat mereka menjadi pasar besar bagi sebuah produk industri. Affirm, sebuah situs finansial yang membantu belanja daring, menyebutkan, 170 milliar dollar AS dikeluarkan kaum Milenial untuk berbelanja setiap tahun. Padahal, proporsi mereka hanya 25 persen dari populasi di Amerika Serikat.
Penyuka rating dan ulasan
Gen Y tanpa sadar menjadi ”duta produk sukarela” medsos, seperti Instagram atau Youtube, lewat akun mereka masing-masing. Mereka membantu memasarkan dengan mengulas dan memberikan rating produk yang baru dipakai atau tempat yang dikunjungi.
Generasi Langgas penyuka rating dan ulasan, baik sebagai pelaku maupun pengguna. Hal ini menjadi penting bagi mereka dalam menentukan tempat makan yang ingin dikunjungi atau baju yang ingin dibeli. Melihat peringkat, ulasan, dan berdiskusi, baik secara daring maupun langsung, menjadi ciri khas kaum Milenial sebagai konsumen.
Kebiasaan berbelanja generasi ini menurut penelitian Jeff Fromm, ahli pemasaran, jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka akan berdiskusi lebih dulu dengan teman-teman yang dipercaya. Sebanyak 70 persen Gen Y lebih antusias terhadap keputusan mengonsumsi sesuatu yang telah disetujui teman-temannya.
Dan Schawbel, seorang peneliti, juga pernah menulis di Forbes dan melansir temuannya, yakni 33 persen Milenial akan melihat ulasan di blog sebelum berbelanja. Hal yang sama dilakukan Naila (24). ”Gue akan lebih tertarik sama apa yang pernah ada di medsos dan diulas sama kenalan, sih,” ujar karyawan swasta tersebut. Naila akan lebih yakin membeli sebuah produk atau mencoba tempat makan yang pernah dilihat di akun medsos temannya.
Bukan selalu ”follower”
Meski demikian, tidak semua kaum Langgas mengikuti tren media sosial. Masih ada sebagian kecil dari mereka yang tidak dipengaruhi medsos dalam mengonsumsi makanan, pakaian, atau produk lain.
Salah satunya adalah Boy (25). Karyawan di Jakarta Selatan ini tidak terpengaruh oleh media sosial dalam memilih barang. ”Sudah tahu sih sukanya apa, brand apa, modelnya gimana, jadi ya enggak kepengaruh yang lagi tren di medsos,” ucapnya.
Menurut Boy, jika sudah mengetahui hal yang dibutuhkan, akan sulit untuk bisa dipengaruhi oleh medsos. Meski banyak tren yang berkembang di dunia maya, Boy tidak akan mengikutinya karena telah memiliki merek yang disukai.
Jika sudah mengetahui hal yang dibutuhkan, akan sulit untuk bisa dipengaruhi oleh medsos.
Generasi Y juga melakukan filterisasi dan tidak terbutakan dengan derasnya arus informasi di medsos. Hal tersebut dilakukan Arita (24) dan Poppy (23) yang cukup selektif dalam mengikuti tren medsos.
Poppy beralasan, tidak semua tren cocok dengan dirinya. Di tengah menjamurnya barang atau tempat nongkrong menarik saat ini, ia harus menyesuaikan dengan kepribadian dan keuangan yang dimilikinya. ”Kalau semua hal duniawi ini kita ikutin, enggak ada habis-habisnya,” ujar karyawan lepas ini.
Demikian juga dengan Arita, yang akan mengikuti tren yang berhubungan dengan hidupnya, misalnya untuk pekerjaan. Sebagai seorang pekerja media, mau tidak mau ia berhadapan dengan medsos setiap hari. Namun, itu tidak lantas membuatnya ingin mengikuti semua tren yang sedang berkembang.
Medsos memang seakan mampu menjadi representasi keadaan dunia terkini. Namun, sebagai pengguna, kita juga harus bijak menggunakannya. Jangan sampai medsos malah menjadi bumerang bagi anak muda yang justru paling melek teknologi.
(Litbang Kompas)