MENJADI salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, bukan jaminan bagi Indonesia mampu memenuhi kebutuhan garam dalam negeri. Panjang garis pantai Indonesia, lebih dari 100.000 kilometer, tetapi hampir setiap tahun selalu mengimpor garam lebih dari dua juta ton. Langkah impor garam tersebut dipilih karena tingginya kebutuhan untuk sektor industri dalam negeri.
Sumber suplai produksi garam Indonesia berasal dari industri garam rakyat dan dari PT Garam selaku BUMN penyedia komoditas garam. Industri rakyat memproduksi sekitar 1,38 juta ton atau 85 persen. Adapun sisanya sekitar 23.000 ton (15 persen) dihasilkan oleh PT Garam.
Produksi garam rakyat tahun 2015 mencapai 2,92 juta ton yang dihasilkan dari tambak garam di 44 kabupaten/kota dengan total luas tambak mencapai 26.000 hektar. Dari data tersebut diketahui, produktivitas tambak nasional mencapai 112,87 ton per hektar.
Namun, angka produktivitas tersebut belum mampu untuk memenuhi kebutuhan garam nasional. Pada kurun 2011-2014, rata-rata kebutuhan garam Indonesia mencapai 3,37 juta ton. Produksi domestik rata-rata hanya bisa memenuhi sekitar 1,61 juta ton. Sisanya ditutup dengan mengimpor dari luar negeri.
Kebutuhan garam nasional terbagi menjadi dua, yakni garam untuk konsumsi dan garam untuk industri. Garam konsumsi diperlukan untuk rumah tangga, usaha aneka pangan, dan pengasinan ikan. Garam industri diperuntukkan bagi industri farmasi-Chlor Alkali Plant CAP (Chlor, Alkali, Plant) dan industri non-CAP seperti perminyakan, kesehatan, kulit, tekstil, sabun, dan sebagainya.
Kebutuhan garam konsumsi per tahun rata-rata sekitar 1,48 juta ton atau sekitar 43 persen dari total konsumsi garam. Proporsi sisanya 57 persen merupakan kebutuhan sektor industri yang setiap tahunnya rata-rata membutuhkan 1,97 juta ton. Dari angka tersebut terlihat kebutuhan sektor industri lebih besar dibandingkan kebutuhan konsumsi rumah tangga.
Impor Garam Industri
Impor garam dibutuhkan karena kebutuhan agregat masih sangat kurang terutama untuk keperluan sektor industri. Rata-rata per tahun jumlah impor garam Indonesia mencapai 2,29 juta ton. Lima negara menjadi pusat impor garam Indonesia, yakni, Australia, India, China, New Zealand, dan Thailand. Tanpa mendatangkan produk dari negara-negara tersebut, sulit rasanya kebutuhan garam dari dalam negeri tercukupi. Mengingat, kemampuan produksi domestik hanya sekitar 47 persen dari seluruh total kebutuhan per tahun.
Selain itu, garam lokal Indonesia kualitasnya kurang jika digunakan untuk memroduksi bahan-bahan farmasi keperluan industri. Salah satu kendalanya adalah iklim kering yang kurang panjang, sehingga hanya mampu menghasilkan kadar Natrium Klorida (NaCl) dibawah 98 persen. Padahal standar garam industri berada di kisaran 98 persen. Bahkan untuk farmasi lebih tinggi lagi hingga 99,9 sampai 100 persen untuk memproduksi infus dan cairan pembersih darah.
Produksi garam petani Indonesia menurut Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia, terdiri dari tiga jenis. Kualitas 1 (Kw 1) berkadar NaCl minimal 94 persen, kualitas 2 berkadar 90-93 persen, dan kualitas 3 berkadar NaCl lebih rendah dari 90 persen. Semakin rendah kadar NaCl – nya , kian sulit dilakukan pemurnian sehingga memerlukan biaya yg besar.
Kondisi tersebut menyebabkan kebutuhan (impor) garam industri sangat besar karena terbatasnya produksi garam dengan kadar NaCl yang tinggi. Berbeda halnya dengan garam konsumsi yang relatif berlimpah karena hanya memerlukan syarat kadar minimal NaCl-nya 94,7 persen.
Upaya Peningkatan Produksi
Pemerintah sejak 2011 telah mencanangkan program ‘Pugar’ (Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat) untuk mengurangi ketergantungan impor garam. Program tersebut bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada garam, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani garam.
Program ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.41/Men/2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan. Pugar ini merupakan bagian dari pelaksanaan program PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan melalui bantuan pengembangan usaha dalam menumbuhkembangkan usaha perikanan sesuai dengan potensi desa. Program ini tetap berlanjut dan dananya dikelola oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan.
Selama 2011-2014 program “Pugar” berhasil meningkatkan produksi. Salah satu parameternya adalah target jumlah petambak dan cakupan luas lahan produksi dapat tercapai. Target produksi garam juga tercapai hingga lebih dari 100 persen. Kecuali target pada tahun 2013 yang hanya mencapai 56 persen dari total target 1,845 juta ton.
Salah satu penyebab tinggi-rendahnya produksi garam adalah lamanya waktu musim panas. Semakin panjang musim panas maka tingkat produksi garam cenderung tinggi. Sebaliknya, jika lebih banyak musim hujan maka produksi garam akan cenderung turun.
Secara umum, produksi garam rakyat secara nasional, cenderung naik. Pada tahun 2011-2015 rata-rata naik sekitar 32 persen atau 322 ribu ton per tahun sehingga pada tahun 2015 jumlah produksi garam mencapai 2,19 juta ton. Luas lahan budidaya tambak garam juga meningkat hampir 7 persen atau sekitar 1.400 hektar per tahun. Pada tahun 2015 luas lahan tambak garam rakyat mencapai 25.830 hektar.
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan 2015, dari 44 daerah penghasil garam di Indonesia, produksi tertinggi terdapat di Kabupaten Cirebon yaitu mencapai 438 ribu ton dengan luas tambak garam mencapai 3.858 hektar. Cirebon merupakan daerah dengan tambak garam terluas di Indonesia. Untuk produksi terendah ada di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, dengan volume sebesar 315,10 ton yang dihasilkan dari tambak garam seluas 17 hektar.
Meskipun program ‘Pugar’ berhasil meningkatkan produksi garam selama lima tahun terakhir, tapi kualitas garam Indonesia masih rendah. Impor masih tetap harus dilakukan untuk mendapatkan garam dengan kadar NaCl tinggi.
Dibutuhkan beberapa upaya untuk menciptakan garam industri dalam negeri . Pertama, memerlukan bantuan alam yakni musim panas yang cukup. Kedua, memerlukan biaya investasi yang besar utuk menciptakan garam berkualitas tinggi.
Keinginan untuk swasembada garam tidak semudah membalikkan tanah. Terbukti, target untuk mencapai produksi garam sekitar 3 juta ton pada 2016 tidak tercapai. Minimnya paparan panas di sejumlah lokasi produsen garam menjadi salah satu penghambat. Langkah masih cukup panjang untuk meraih swasembada garam. (Budiawan Sidik A/ Litbang Kompas)