Mengenali Modal Sosial Suporter Bola
SEPAK bola dan suporter adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Di negeri ini, hampir semua klub sepak bola memiliki suporter fanatik yang tergabung dalam komunitas suporter. Namun, citra kelompok suporter kerap tercoreng akibat bentrok dengan suporter lain yang mengakibatkan korban tewas. Padahal, komunitas suporter itu bisa tumbuh dan berkembang sebagai modal sosial.
Tak bisa dimungkiri, sepak bola menjadi magnet bagi masyarakat pencinta olahraga itu di Tanah Air. Mereka hadir di pertandingan dengan tujuan memberikan dukungan kepada klub sepak bola pujaan. Kumpulan suporter itu sangat khas karena berbagai batasan melebur, tak memandang jenis kelamin, usia, status sosial ekonomi, dan profesi, semuanya melebur menjadi satu identitas dalam wadah suporter.
Ada beberapa klub sepak bola papan atas negeri ini yang memiliki pendukung fanatik yang tergabung dalam komunitas suporter. Sebut saja Jakmania yang merupakan pendukung fanatik Persija Jakarta, Viking pendukung klub Persib Bandung, Bonek pendukung klub Persebaya Surabaya, dan Aremania pendukung klub Arema Indonesia Malang.
Meski demikian, fanatisme kelompok suporter itu kerap diwarnai keributan antarsuporter. Keributan tak hanya terjadi di lapangan saat tim sepak bola idolanya bermain, tetapi juga di jalan. Di Jawa Barat, bentrokan antarsuporter kerap terjadi antara Viking dan Jakmania, sementara di Jawa Timur antara Bonek dan Aremania.
Tak jarang keributan antarsuporter itu menelan korban jiwa. Bentrokan antarsuporter Persija Jakarta dan Persib Bandung sudah menelan korban tewas puluhan remaja dan ratusan lainnya luka-luka. Hal serupa juga terjadi antara Suporter Persebaya dan Arema, dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun. Kasus bentrokan antarsuporter terakhir terjadi pada November 2016. Seorang anggota The Jakmania dari Kalimalang meninggal dikeroyok sejumlah suporter Persib di Jalan Tol Palimanan, Cirebon, seusai menyaksikan Persija bertanding di Solo.
Modal sosial
Keributan yang terjadi antarsuporter berdampak buruk pada citra komunitas suporter. Mereka kerap dipahami sebagai kelompok yang menyukai tawuran dan berbuat onar. Padahal, beberapa kelompok suporter telah berkembang dan memiliki modal sosial, tidak hanya semata pendukung fanatik atau fans klub sepak bola.
Robert Putnam, ilmuwan politik dari Amerika Serikat, mengutarakan konsep modal sosial sebagai rangkaian proses hubungan manusia yang melibatkan kehidupan sosial atau jaringan-jaringan, norma-norma (norms) dan kepercayaan sosial (social trust) yang memungkinkan para partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu sehingga terjadi kerja sama yang saling menguntungkan. Modal sosial juga dipahami sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama oleh komunitas, serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu melakukan satu kegiatan yang produktif (Yulius Slamet, 2011).
Singkatnya, modal sosial mengacu pada tiga dimensi utama, yakni hubungan sosial atau jaringan, norma-norma, dan kepercayaan yang menyertainya. Ketiga dimensi tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku kerja sama untuk mencapai hasil yang diinginkan yang mampu mengakomodasi kepentingan individu yang melakukan kerja sama ataupun kelompok secara kolektif.
Keberadaan dimensi utama modal sosial itu sebenarnya terlihat pula di kelompok suporter sepak bola papan atas, seperti Viking di Jawa Barat. Viking dikenal sebagai kelompok suporter sepak bola terbesar di Indonesia. Nama resmi kelompok suporter ini adalah Viking Persib Fans Club (VPFC). VPFC lahir dari obrolan ringan perkoncoan sejumlah pemuda usia 20-an tahun. Mereka itu adalah Ayi Beutik, Yana Bool, dan Adi yang tinggal di bilangan Pasirluyu, serta Heru Joko, Dodi Pesa Rokhdian, dan Hendra Bule di daerah Cibangkong, kawasan Jalan Gatot Subroto, Bandung. Secara resmi VPFC dideklarasikan pada 17 Juli 1993.
Dinamai Viking karena nama itu identik dengan suku dari Skandinavia yang gemar menjelajah, agresif, solid, dan militan. Karena suporter Persib Bandung sering berkelana dan menjelajah dengan ikut tur laga tandang ke luar Kota Bandung, mereka menilai ada kesamaan dengan bangsa Viking. Anggota Viking juga kerap dipanggil bobotoh, kata dari bahasa Sunda yang berarti orang-orang yang memberi semangat dan dorongan.
Norma, jaringan, kepercayaan
Norma yang hidup dalam Viking terlihat dari kesadaran anggota untuk mendukung Persib Bandung dalam ikatan kekeluargaan dan persaudaraan. Norma-norma itu terwujud dalam slogan-slogan sebagai pedoman mereka berinteraksi dengan sesama anggota. Slogan ”kabeh dulur” (semua saudara), ”Make Maneh (mengunakan hati), ”Bagimu Persib Jiwa Raga Kami”, dan ”Persib nu Aing” (Persib milikku) menegaskan bagaimana komunitas ini memosisikan Persib.
Dalam praktiknya, norma yang berlaku di komunitas ini adalah mendukung langsung Persib di mana pun berlaga. Norma lainnya adalah mengikuti kegiatan komunitas di luar pertandingan. Dukungan langsung di lapangan diharapkan mampu membakar semangat pemain Persib untuk memenangi pertandingan, sementara kegiatan di luar pertandingan mampu mengikatkan tali persaudaraan antaranggota komunitas.
Dimensi lainnya adalah jaringan sosial yang terlihat dari keberadaan sistem distrik yang tersebar di sejumlah wilayah Jabar, total lebih dari 200, meski jumlah pasti tidak tercatat. Distrik dibentuk untuk memudahkan koordinasi, komunikasi, dan penyaluran aspirasi anggota Viking. Bukti nyata keberadaan ratusan distrik terlihat saat puluhan ribu bobotoh mengenakan atribut kaus, syal, spanduk, bendera, dan aksesori lainnya di pertandingan Persib. Meski massa Viking memenuhi stadion, tidak sulit memilah gelombang komunitas ini berdasarkan distrik. Sebab ketika mendatangi stadion, tiap distrik biasa menandai dirinya dengan kaus berdesain khas, selain spanduk berukuran besar bertuliskan nama distrik.
Bukti lainnya adalah situs atau media sosial yang dikelola setiap distrik. Tiap media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, biasanya menampilkan kegiatan distrik sebagai wadah menunjukkan eksistensi dan ajang komunikasi dengan sesama anggota atau dengan distrik lainnya.
Terbentuknya jaringan tergambar dari interaksi antara distrik-distrik terkait kegiatan tiketing. Dalam kegiatan itu terlihat jaringan timbal balik yang saling menguntungkan, Viking pusat mendistribusikan tiket yang dialokasikan Panpel pada komunitas itu, sementara distrik mendapatkan kepastian tiket untuk melihat langsung Persib bermain di kandang.
Interaksi antardistrik terlihat pula dalam aktivitas unit usaha distrik yang menjual pernak-pernik suporter, seperti kaus, syal, dan atribut lainnya, yang dipakai saat menonton pertandingan. Distrik-distrik biasanya memesan kaus dan pernak-pernik aksesori suporter dari Viking pusat untuk dipajang di fanshop setiap distrik.
Dalam pandangan Putnam, trust atau rasa percaya (memercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil risiko dalam hubungan sosial yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, atau paling tidak, tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya. Kepercayaan yang muncul dalam komunitas ini mampu memfasilitasi anggotanya untuk saling bekerja sama dan tolong-menolong.
Munculnya rasa percaya itu tak bisa lepas dari peran pengurus Viking, baik di tingkat pusat maupun di distrik. Peran ketua cukup dominan dalam membangun kepercayaan di komunitas ini, sementara di tingkat distrik trust terbangun dari pengurus-pengurusnya yang menunjukkan aksi mereka, terutama dalam memberikan dukungan total kepada Persib. Tak hanya sikap di lapangan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Rasa percaya mewujud dalam kegiatan yang mendukung Persib di lapangan dan kegiatan internal Viking. Kegiatan itu antara lain tiketing, tur, nonton bareng, silaturahim, pembuatan kaus, dan cendera mata, anniversary, dan bakti sosial. Kegiatan itu menumbuhkan rasa nyaman di dalam kelompok dan menganggap kelompok sebagai keluarga kedua, serta menumbuhkan rasa memiliki dan kepedulian sehingga membuat komunitas tetap utuh.
Efektif
Keberadaan modal sosial dalam komunitas itu terbukti efektif dalam memobilisasi suporter menonton Persib berlaga. Di ajang final Piala Bhayangkara 2016, misalnya, Viking sukses mengoordinasi ribuan suporter yang menonton pertandingan final. Meski Persib gagal memenangi partai final, komunitas Viking meraih penghargaan sebagai suporter terbaik di ajang Piala Bhayangkara dan berhak mendapatkan uang hadiah Rp 100 juta. Prestasi itu kembali diulang di ajang Piala Presiden 2017, di mana bobotoh mendapat penghargaan sebagai suporter terbaik dan menerima hadiah uang sebesar Rp 100 juta. Penghargaan itu diraih karena Viking mampu mengendalikan diri dan bersikap tenang meski tim kesayangannya kalah di kandang.
Di luar sepak bola, salah satu wujud modal sosial dalam komunitas Viking terlihat dalam aksi sosial terkait persoalan sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam menyikapi musibah atau bencana di negeri ini, misalnya, Viking kerap mengadakan aksi sosial dengan menggalang dana yang hasilnya disumbangkan kepada para korban. Seperti aksi ”Kadeudeuh Bobotoh Keur Pangalengan” di mana Viking ikut menyumbang bagi 9 korban tewas longsor Pangalengan dan 174 orang luka-luka.
Ribuan bobotoh dari distrik-distrik di Jawa Barat menghadiri aksi sosial itu sekaligus mendonasikan uang secara langsung. Sebelum memasuki lokasi acara, di depan pintu masuk diletakkan kotak amal sebagai tempat penampungan donasi dari bobotoh. Jika bobotoh menyumbangkan uang secara sukarela, mereka mendapatkan stiker sebagai tanda kepedulian. Dana terkumpul mencapai Rp 30 juta, serta sejumlah pakaian, makanan, susu, dan obat-obatan.
Modal sosial yang tumbuh dalam komunitas suporter sepak bola menjadi kekuatan tersendiri dalam mendukung tim sepak bola pujaannya. Jika itu terus berkembang, citra suporter yang sebelumnya dikenal sebagai brutal, tukang tawuran, dan membuat onar, bisa terkikis dan menjadi suporter yang santun, kreatif, dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.
(Litbang Kompas)