Kemajuan teknologi telah memberi banyak kemudahan, khususnya dalam hal mengakses informasi dan berkomunikasi. Dari gawai segenggaman tangan, informasi apa saja bisa dengan mudah ditemukan. Komunikasi pun tak mengenal batas wilayah. Di satu sisi kemudahan itu merupakan hal yang positif. Di sisi lain disadari atau tidak kemudahan teknologi itu bisa membawa dampak negatif yang tidak bisa dihindari.
Salah satu dampak negatif dari penyalahgunaan kecanggihan teknologi informasi adalah munculnya kejahatan melalui jaringan internet atau yang disebut dengan cyber crime. Di antara beberapa kualifikasi cyber crime, menurut Convention on Cybercrime 2001, sebuah konvensi tentang kejahatan dunia maya yang dilaksanakan di Budapest, Hongaria, terdapat kejahatan terhadap anak-anak. Bentuk tindak kejahatannya bisa berupa cyber bullying, cyber pornography, children online trafficking, dan paedophilia.
Terbongkarnya jaringan paedofil dalam grup Facebook bernama Official Loli Candy’s Group pertengahan Maret lalu semakin membuka mata bahwa kejahatan dunia maya nyata adanya dan dekat di sekitar kita. Hanya dalam waktu tujuh bulan, jaringan paedofil ini sudah beranggotakan lebih dari 7.000 orang lintas negara yang saling bertukar ratusan, bahkan mungkin ribuan foto dan video porno anak. Besarnya jaringan pemangsa anak ini tentu saja memicu keprihatinan yang mendalam.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat kejahatan pornografi dan cyber crime terhadap anak terus meningkat dalam periode tiga tahun terakhir. Dari 2014 hingga 2016, setidaknya ada 1.372 kasus pengaduan yang masuk. Jumlah ini meningkat 124 persen jika dibandingkan dengan data 2011-2013 yang mencapai 610 pengaduan. Pada 2016 dari total 587 pengaduan, jumlah pengaduan anak korban pornografi menduduki peringkat tertinggi dan angkanya terus naik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Usia muda
Peningkatan laporan pornografi dan kejahatan di dunia maya beriringan dengan besarnya jumlah anak yang menggunakan internet. Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) dalam survei tahun 2016 mengungkap bahwa lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia (132,7 juta orang) kini telah terhubung ke internet. Peningkatannya mencapai 51,8 persen dibandingkan jumlah pengguna internet pada 2014, yaitu 88 juta orang.
Sebanyak 18,4 persen dari pengguna internet itu berusia 10-24 tahun dan 6,3 persen di antaranya (8,3 juta orang) adalah pelajar. Hasil riset UNICEF bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang dipublikasikan pada 2014 juga menyebutkan 30 juta anak dan remaja Indonesia intensif menggunakan internet. Mudahnya mendapatkan perangkat telepon pintar (smartphone) dari vendor yang jumlahnya semakin banyak serta murahnya harga perangkat genggam disinyalir menjadi penyebab pesatnya peningkatan jumlah pengguna internet tersebut.
Dalam jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas medio Maret lalu memperkuat gambaran tersebut. Jajak pendapat yang dilakukan di 14 kota besar Indonesia memperlihatkan telepon genggam telah dimiliki oleh anak-anak di bawah usia 17 tahun. Lebih dari separuh bagian responden (67,2 persen) menyatakan, telepon genggam telah dimiliki kerabat atau anggota keluarga mereka yang berusia di bawah 17 tahun. Bahkan, sebanyak 12,7 persen di antara anak-anak tersebut sudah memiliki smartphone sejak usia mereka belum menginjak 10 tahun. Hanya sepertiga bagian responden (32,2 persen) yang menyatakan tidak memiliki telepon pintar sendiri.
Kategori usia di bawah 17 tahun sendiri bisa ditelusuri lebih jauh dari hasil jajak pendapat tersebut. Lebih dari separuh bagian responden (56 persen) menyatakan, anggota keluarga mereka telah memiliki telepon genggam sendiri sejak usia di bawah 15 tahun. Dari proporsi tersebut sebanyak 12,7 persen bahkan mengakui kerabat mereka telah memiliki telepon pintar sejak sebelum berusia 10 tahun, sedangkan kepemilikan telepon pintar sejak usia 15 tahun ke atas diakui oleh 32,2 persen responden.
Anak rentan
Mudahnya berselancar di dunia maya untuk mendapatkan berbagai informasi, baik pengetahuan maupun hiburan, menjadikan internet sudah menjadi “makanan” sehari-hari bagi anak-anak. Dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas di 14 kota besar terungkap bahwa separuh bagian responden (50,8 persen) menyatakan, anggota keluarga yang berusia di bawah 17 tahun mengakses internet dari telepon genggam pribadi. Hanya 30 persen yang mengakses internet dari laptop, komputer pribadi, ataupun dari warnet.
Jika anak-anak di bawah usia 17 tahun mengakses internet dari telepon genggam pribadi pada dasarnya bisa membuka peluang untuk lepas dari pengawasan orang dewasa. Hasil jajak pendapat juga menunjukkan bahwa selain untuk mencari materi belajar, anak-anak paling sering menggunakan internet untuk bermain berbagai jenis games, mencari hiburan dengan mendengarkan musik atau menonton film, dan mencari teman ngobrol (chatting) melalui media sosial (medsos) pertemanan.
Umumnya, media sosial menerapkan batas usia minimal bagi seseorang untuk memiliki akun, yaitu 13 tahun. Namun, tak jarang anak di bawah usia 13 tahun membuka akun media sosial dengan memalsukan tahun kelahirannya. Padahal, inilah yang memancing bahaya daring (dalam jaringan) bagi anak. Celah seperti ini yang dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan dunia maya untuk mencari korban.
Anak-anak mudah menjadi korban karena mereka cenderung masih lugu dan memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Anak-anak juga suka melakukan hal baru yang sedang menjadi tren. Namun, terkadang mereka tidak menyadari risiko yang dapat ditimbulkan. Laporan KPAI tahun 2011-2016 memperlihatkan bahwa dari kasus anak korban pornografi dan cyber crime, jumlah kasus terbanyak adalah kasus pornografi dari media sosial. Ruang privat telepon genggam/gawai menjadi tidak privat lagi.
Penggunaan teknologi informasi yang tidak terbatas menyebabkan kejahatan dunia maya dapat dilakukan oleh semua kalangan dan semua umur. Realitas getir yang terjadi adalah selain menjadi korban, anak di bawah umur banyak pula yang menjadi pelaku. Dalam kasus grup paedofilia di Facebook, dua tersangkanya masih di bawah umur. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya hidup telah membawa perubahan sosial yang pada gilirannya berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.
Pencegahan
Kejahatan seksual di dunia virtual adalah ancaman nyata. Dampak negatif dalam berselancar di dunia maya terhadap anak perlu mendapat perhatian yang serius. Meningkatnya laporan kasus pornografi dan cyber crime menunjukkan tindak kejahatan dunia maya sudah sangat mengkhawatirkan dan membutuhkan kewaspadaan. Dibutuhkan partisipasi aktif semua pihak untuk mencegah predator anak merajalela.
Pengetahuan tentang dampak negatif internet membuat orangtua lebih waspada. Sebanyak 52,6 persen orangtua yang menjadi responden mengetahui apa yang biasanya diakses anak-anak di internet, dan 55 persen orangtua memberi penjelasan kepada anak-anak tentang kejahatan melalui internet dan cara menghindarinya.
Namun, dari hasil wawancara melalui telepon tersebut diketahui bahwa hampir separuh responden tidak mendampingi anak ketika mengakses internet dan sebanyak 56 persen tidak mengontrol teman-teman medsos anak-anaknya. Bahkan, ada sekitar 10 persen responden yang tidak mengkhawatirkan anak-anak mereka dengan semakin maraknya kejahatan di dunia maya.
Orangtua sebaiknya berkomunikasi dengan anak dan mengawasi pergaulan anak di media sosial. Kepedulian dan peran masyarakat juga sangat penting untuk mencegah kejahatan siber semakin meluas. Dari sisi aturan, Indonesia sudah mempunyai sejumlah undang-undang (UU), seperti UU Perlindungan Anak, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Pornografi, serta Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bahkan, perubahan kedua atas UU Perlindungan Anak sudah menambahkan hukuman yang diperberat, yaitu hukuman mati dan kebiri serta pemasangan alat pendeteksi elektronik bagi pelaku berusia dewasa.
Kerja sama semua pihak menjadi kunci, selain komitmen negara untuk menjamin keamanan anak-anak dan membuka ruang seluas-luasnya bagi peningkatan literasi digital masyarakat. Semua upaya ini untuk memastikan, para predator anak tidak lagi bebas berkeliaran dan menjadi momok yang menghantui. (MB DEWI PANCAWATI/LITBANG KOMPAS)