Jerat Kekerabatan dalam Politik Buton
Pilkada Kabupaten Buton yang diselenggarakan 15 Februari 2017 mencerminkan kuatnya pengaruh tokoh lokal dan jaringan kekerabatan terhadap politik praktis. Meski bermasalah dengan hukum, bupati petahana tetap mampu meraih simpati politik dan memenangi penghitungan suara.
Kemenangan pasangan Samsu Umar Abdul Samiun-La Bakry di Pilkada Kabupaten Buton meninggalkan banyak pertanyaan. Bagaimana mungkin pasangan calon bupati yang baru ditahan KPK di Jakarta bisa tetap menang di bilik suara melawan kotak kosong? Sebagaimana hasil hitungan sementara KPU berdasar scan surat C1 menunjukkan pasangan Umar Samiun-La Bakry unggul atas kotak kosong.
Hasil rekap data C1 KPU dari 213 TPS memperlihatkan pasangan Samsu Umar Abdul Samiun-La Bakry memperoleh 55,07 persen suara (27.512 suara). Adapun perolehan kotak kosong mencapai 44,93 persen (22.438 suara). Di sisi lain, jumlah suara yang diraih kotak kosong hampir mencapai separuh suara pemilih yang mencoblos.
Sebagai perbandingan, dari sembilan daerah dengan pasangan calon tunggal dalam pilkada serentak 2017, hanya pasangan di Kabupaten Buton yang perolehan suaranya relatif dekat (berimbang) melawan kotak kosong. Apakah ini menggambarkan kuatnya penolakan di masyarakat terhadap kepemimpinan Umar Samiun?
Politik kekerabatan
Sulit dimungkiri, terdapat kesan yang kuat bahwa demokrasi pemilihan kepala daerah secara langsung di pulau penghasil aspal alam ini tampak sedang bergelut dalam ”jerat kekerabatan politik”. Elite politik berkelindan melalui relasi kekerabatan keluarga, saudara jauh, hingga kesamaan etnis. Jaringan itu kemudian terangkum menggunakan kendaraan ideologis partai politik, terutama Partai Amanat Nasional (PAN), yang merupakan partai ”penguasa” Sulawesi Tenggara. Namun, tak hanya PAN, sejumlah partai besar seperti PDI-P, Golkar, dan Demokrat belakangan juga mulai muncul.
Bukti maraknya politik kekerabatan di Buton tak lepas dari pola kekerabatan yang terjadi di Pilkada Sulawesi Tenggara (Sultra) secara umum. Pada Pilkada Buton Selatan, misalnya, kandidat Agus Feisal Hidayat adalah anak dari Syafei Kahar, bupati Buton dua periode. Di Pilkada Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra (ADP) adalah anak dari Wali Kota Kendari (petahana) Asrun. Di Pilkada Kolaka Utara, M Nur Rahman Umar merupakan keponakan dari Rusda Mahmud, Bupati Kolaka Utara (petahana). Sementara di Pilkada Muna Barat, kandidat Ihsan Taufik Ridwan merupakan anak dari Ridwan Bae, Ketua DPD Golkar Sultra.
Dr Eka Suaib, Ketua Program Studi Ilmu Politik Universitas Haluoleo, Kendari, menyinyalir bagaimana pilkada menjadi basis legitimasi untuk kekuasaan. Dengan kekuasaan yang diraih, akses pada penguasaan sumber daya alam, terutama sektor pertambangan, menjadi terbuka. Hal ini dilakukan dengan penggantian jabatan-jabatan kepala dinas yang ”sepaham” dengan kepala daerah.
”Akibatnya, birokrasi cenderung bersifat melayani pemerintah ketimbang masyarakat dan terfragmentasi,” ujar Eka Suaib.
Muncul fragmentasi di birokrasi akibat terpecahnya tujuan kepentingan. Menurut Eka, ada istilah yang menjadi rahasia umum di wilayah ini, yaitu, ”ganti kepala daerah ganti kepala dinas”. Tak hanya level kepala dinas, bahkan level di bawahnya pun dinilai Eka Suaib merupakan kaki tangan pimpinan eksekutif daerah. Akibatnya, banyak kursi jabatan yang diisi pejabat yang tidak sesuai kapasitas dan kemampuannya. Orientasinya tidak lagi ”right man on the right place”, tetapi menjadi ”all bupati/wali kota/gubernur’s man”.
Kultur birokrasi yang demikian pada akhirnya melunturkan loyalitas dan dedikasi birokrasi pada tugas pelayanan kepada publik dan sebagai sulihnya membuat jabatan politik jadi incaran para pejabat daerah. Indikasinya, di setiap pilkada kini semakin banyak penjabat sementara (pjs) bupati yang ”ikut-ikutan” maju di pilkada. Tercatat, di Pilkada Buton Selatan ada Pjs Muhamad Faisal, di Buton Tengah ada Pjs Abdul Mansur Amila, dan di Muna Barat ada Pjs Laode Rajiun Tumada. Kultur tersebut berkelindan dengan sejumlah kandidat yang memanfaatkan ”orang kuat” di daerah untuk memuluskan kemenangan. Salah satu kandidat di Kolaka Utara, misalnya, merupakan putra dari tokoh kuat yang dikenal sebagai ”preman” yang disegani.
Di sisi lain, partai politik hanya dipakai sebagai kendaraan politik oleh kandidat. Calon yang akan maju nyalon mencari parpol ”tunggangan” yang akan dipakai sebagai kendaraan politik. ”Kandidat, sebaliknya, juga hanya dimanfaatkan parpol untuk menjaga elektabilitas parpol di mata pemilih,” ujar Eka Suaib.
Indikasi hal itu terekam dari centang perenang bentuk koalisi parpol yang tidak lagi memperlihatkan susunan basis massa ideologis. Lumrah mendapati PDI-P bergabung bersama PKS dalam pilkada di kawasan ini. Indikasi lain adalah maraknya fenomena pindah partai selama proses jelang pilkada.
Meski demikian, sejumlah parpol besar tercatat berani memajukan kadernya dengan dukungan partai sendiri saja. PAN sebagai partai mayoritas di Sultra, misalnya, berani mengusung sendiri calonnya di Pilkada Buton Selatan. Golkar tercatat berani maju sendiri di Kabupaten Muna Barat, dan PDI-P berani memajukan sendiri kadernya di Kolaka Utara.
Politik antarsuku
Dr Najib Husain, dosen Pascasarjana Universitas Haluoleo, Kendari, menyatakan kuatnya kekerabatan berbasis identitas kesukuan merasuk dalam sejumlah pilkada di Sultra. Beberapa suku yang cukup dominan antara lain suku asli Muna, Tolaki, Buton, dan suku pendatang Bugis yang diam-diam atau terang-terangan berebut pengaruh. Secara klandestin ataupun terbuka, suku-suku asli itu berupaya membendung penguasaan kaum pendatang dari suku Bugis yang rata-rata lebih unggul dari segi pendidikan.
Husain menunjuk pada struktur tempat tinggal (kos) mahasiswa Universitas Haluoleo yang tersegregasi berdasarkan garis etnisitas di Sultra.
”Sentimen etnis bahkan masuk sampai ke dunia akademis kampus,” kata Najib Husain.
Penguasaan etnis dan subetnis ini kental dan jamak terjadi di seluruh Sultra. Kontestasi serupa itu terjadi di level birokrasi kabupaten/kota, masyarakat, bahkan sampai perguruan tinggi. Pertarungan paling panas terjadi di level perebutan jabatan elite politik, baik dalam partai maupun sebagai kepala daerah.
Kelindan kekerabatan dalam kontestasi Pilkada Kabupaten Buton mengacu pada garis sesama subetnis Buton yang menjadi mayoritas di kawasan tersebut. Titik tolak hubungan kekerabatan antaretnik dimulai dari kedatangan nenek moyang penduduk yang berdiam di daerah Sultra pada masa lalu.
Ketiga suku itu, Muna, Buton, dan Tolaki, mewakili kepadatan populasi setiap suku di gugusan Pulau Muna, Wakatobi, Buton, dan daratan Sultra. Faktor demografi dan sejarah masa lalu membuat ketiga suku itu tak selamanya rukun. Pulau Muna, yang secara geografis dan topografi relatif kering dan kurang subur, sejak lama dikenal melahirkan politisi yang ”tangguh” dan andal. Di pulau ini muncul nama La Ode Rivai Padansa, seorang nasionalis yang berafiliasi kuat ke PDI-P.
Sosok Rivai Padansa bersaing dengan Ketua DPD PDI-P Sultra Hugua, yang pada Pemilu Gubernur 2018 bakal maju menjadi calon gubernur. Hugua, yang asli Wakatobi, sebelumnya adalah bupati kepulauan Wakatobi. Namun, di pulau ini ada tokoh Golkar yang kuat, Ridwan Bae, yang dikenal luas oleh masyarakat Sultra. Sebagai catatan, Sultra pada masa Orde Baru adalah lumbung suara Golkar.
Kota Baubau di Pulau Buton tercatat pernah menjadi ibu kota wilayah Sulawesi bagian tenggara pada periode 1960-an, saat pembentukan wilayah provinsi di Pulau Sulawesi sedang berproses. Adapun suku Buton menjadi penduduk dominan Pulau Buton dengan kebanggaan dan identitas tersendiri yang tampak cenderung lebih ”percaya diri” dengan keberadaan kotanya.
Rasman Sastra Wijaya (40), dosen Universitas Muhammadiyah Buton, menggambarkan kesibukan dan era kejayaan Kota Baubau pada masa lalu. Dermaga pelabuhan Baubau pada saat itu ramai menjadi sentra pelabuhan untuk pelayaran wilayah Indonesia bagian timur, bersaing dengan pelabuhan Ujung Pandang. ”Waktu itu, Kendari masih sedikit penduduknya, belum ada apa-apanya dibandingkan Buton,” ujar Rasman.
Kampanye dan massa
Penelusuran lapangan satu minggu sebelum pelaksanaan Pilkada Kabupaten Buton pada 15 Februari 2017 memperlihatkan minimnya pemasangan baliho dan atribut kampanye pasangan calon dibandingkan dengan wilayah tetangga di Kabupaten Buton Selatan ataupun di daratan Sultra. Kebanyakan hanya baliho sosialisasi standar dari KPU yang dipasang di sejumlah titik persimpangan jalan. Berbeda dengan level elite Buton yang berkompetisi dengan sengit, suasana di masyarakat bawah Kabupaten Buton tak menunjukkan kegairahan.
Alimuddin, Ketua KPU Kabupaten Buton, juga mengkhawatirkan minimnya ketertarikan publik Buton dalam pilkada saat itu. Kekhawatiran terutama terkait indikasi lesunya pilkada di masyarakat kali ini. ”Kami khawatir tingkat partisipasinya rendah karena masyarakat mungkin memandang pilkada ini tidak ada calonnya,” kata Alimuddin. Kekhawatiran minimnya partisipasi ini pada akhirnya terbantahkan setelah hasil penghitungan pemilih Pilkada Kabupaten Buton memperlihatkan tingkat partisipasi yang relatif cukup, yaitu 71,5 persen.
Namun, dari sisi pendapat warga, hal itu bukan tanpa alasan. Sepinya suasana kompetisi Pilkada Buton karena warga juga pesimistis dengan ”manfaat” yang didapat secara langsung. Tidak dimungkiri bahwa di pilkada dengan calon yang banyak berarti juga banyak ”uang saku” yang mengalir ke masyarakat bawah secara langsung. Meski hal ini berarti politik uang, bagi warga itu dipandang sebagai manfaat pilkada.
Bagi masyarakat Buton, setiap pelaksanaan kampanye akbar di lapangan terbuka menjadi ajang ”rekreasi” untuk menyuarakan kebersamaan dengan sesama pendukung pasangan calon. Hasan (40), warga Desa Gunung Sejuk, Kabupaten Buton Selatan, menyebut pilkada menjadi ajang masyarakat bawah menumpahkan kekesalan mereka atas pembangunan fisik yang dinilai tak menyentuh desa mereka.
Hasan dan beberapa rekannya bersemangat saat mengetahui kunjungan penulis dari Jakarta. Meski sudah diterangkan bahwa kunjungan tidak dimaksudkan mengawasi pilkada, bagi mereka, tetap membawa harapan karena kondisi kampung mereka akan terekspos. ”Kalau tidak diawasi dari pusat, para politisi itu cuma bagi-bagi uang supaya menang, lalu setelah itu lupa,” ujar Hasan.
Dari sebaran proporsi pemilih di tujuh kecamatan, terlihat suara kotak kosong justru menang di Pasarwajo, ibu kota Buton. Selain Pasarwajo, Kecamatan Wolowa juga memenangkan kotak kosong daripada petahana Umar Samiun-La Bakry. Benarlah kesan yang ditangkap dalam wawancara warga, bahwa popularitas Umar Samiun lebih banyak bercokol di kawasan-kawasan pinggiran perdesaan Buton, dengan bentuk-bentuk kampanye bersifat ”karitatif” diperkirakan marak dilakukan daripada di ibu kota Pasarwajo.
Skenario pilkada
Merunut ke belakang, Pilkada Kabupaten Buton merupakan satu dari sembilan daerah di Indonesia yang melaksanakan pilkada serentak pada 15 Februari 2017 dengan hanya pasangan calon tunggal melawan ”kotak kosong”. Yang membedakan Buton dengan daerah lain adalah sang kandidat petahana, Haji Umar Samiun, kini dalam tahanan KPK di Jakarta. Umar Samiun ditahan KPK saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada akhir 2016 akibat diduga menyuap Ketua MK Akil Mochtar pada tahun 2012 untuk memenangkan sengketa kasus Pilkada Buton.
Dengan kemenangan Umar Samiun-La Bakry, pemerintahan Kabupaten Buton akan dijalankan oleh Wakil Bupati La Bakry selama 5 tahun ke depan. Sebelumnya, jika kotak kosong yang menang, hasil pilkada akan dianggap belum ada dan pelaksanaan pilkada akan diulang pada tahun 2018. Periode selama setahun ke depan akan dipimpin oleh pelaksana tugas bupati. Dua konsekuensi yang berbeda ini menjadikan simpatisan kubu Umar Samiun memanfaatkan isu penghematan anggaran APBD Buton dalam kampanye di kampung-kampung.
Salah satu isu yang keras digaungkan adalah penghematan biaya penyelenggaraan pilkada ulangan tahun 2018 yang diperkirakan bisa mencapai belasan miliar rupiah.
”Daripada membuang uang rakyat untuk pilkada lagi, lebih baik dipergunakan membangun wilayah Buton,” demikian bunyi jargon yang digaungkan saat kampanye pilkada.
Faktanya, meski berada dalam tahanan KPK, kubu Umar Samiun tetap mampu mengumpulkan ribuan pendukungnya dalam kampanye akbar jelang berakhirnya masa kampanye, di perdesaan pelosok Buton. Dalam kampanye terakhir jelang masa tenang yang memenuhi lapangan desa tersebut, bahkan dibacakan surat tulisan tangan Umar Samiun di depan massa kampanye.
Alih-alih menyerah atas kasus yang menimpanya, Umar Samiun justru mengajak massa pendukungnya untuk memenangkan wakilnya dalam Pilkada Buton. Dia menyatakan, penahanan oleh KPK adalah sebuah kesalahan yang terjadi akibat fitnah dan kepentingan perebutan kekuasaan oleh elite Sulawesi Tenggara.
Secara politik penguasaan Syamsu Umar Abdul Samiun (Umar Samiun) sangat massif di Buton. Umar dikenal menguasai jaringan birokrasi daerah tidak hanya di Buton, tetapi juga di seluruh wilayah Pulau Buton, bahkan sampai Kendari, melalui PAN. Selain aktif sebagai pimpinan PAN Sultra, Umar juga aktif menggagas Provinsi Buton Raya—belakangan namanya diganti menjadi Provinsi Buton Kepulauan.
Dengan ditahannya Umar Samiun, tampaknya tidak mengurangi kewibawaan dan pengaruhnya di kalangan kerabat dan pengikutnya. Kewibawaan Umar hanya turun di kalangan non-pemilihnya (rata-rata). Banyak kabar bahwa orang Buton tidak mempermasalahkan kasus korupsi yg dituduhkan kepada Umar Samiun. Orang hanya melihat apakah tokoh tersebut memberikan manfaat material bagi masyarakat/kerabatnya. Maka, dalam rapat akbar terakhir minggu lalu, ribuan orang memenuhi lapangan desa mendengarkan surat Umar Samiun yg dikirim dari tahanan.
Kantor Bupati Buton yang baru di Kecamatan Pasarwajo terletak di atas bukit yang menanjak terjal. Dari depan kantor Bupati terlihat jelas pesisir pantai di Pasarwajo. Kompleks pemerintahan ini megah namun masih kesulitan air bersih dan relatif sepi dari aktivitas kantor (9/2).
”Media watch”
Secara formal, sulit untuk mengetahui secara pasti kekuatan politik Umar Samiun di arena politik Buton mengingat minimnya corong suara publik di Pulau Buton. Penelusuran keberadaan media watch di Buton hanya menemukan segelintir pegiat media yang mampu bersuara cukup kritis. Di antaranya Baubau Post, sebuah koran lokal dengan oplah 3.500 eksemplar.
Yuhandri, Pimred Baubau Post, mengakui minimnya keberadaan media massa lokal, bahkan regional Sulawesi Tenggara, yang mampu menyuarakan persoalan-persoalan politik kemasyarakatan. Nyaris tak ada koran besar yang mampu bertahan secara konsisten di Baubau. Di sisi lain, diakui bahwa media massa lokal hidupnya banyak bergantung pada proyek-proyek dari pemerintahan kabupaten. ”Kita harus bisa tarik ulur dengan pemda supaya tetap bisa terbit,” kata Yuhandri.
Baubau Post merupakan koran lokal yang memiliki perwakilan di seluruh wilayah Kota Baubau dan empat kabupaten di Buton. Yuhandri menceritakan saat dirinya pernah didatangi beberapa preman lokal yang datang langsung ke rumahnya dan mengancam akan membunuhnya karena memberitakan kasus korupsi salah satu tokoh lokal. ”Di sini, ancaman sifatnya langsung ke pribadi kita karena di sini semua saling kenal,” ujarnya.
Meski mengatakan tidak bakal surut memberitakan peristiwa secara obyektif, tak urung pengalaman itu membuat Yuhandri lebih berhati-hati ketika memberitakan persoalan kriminal atau korupsi terkait elite lokal.
Sejarah Buton
Secara geografis dan genealogis, wilayah Sulawesi Tenggara merupakan pertemuan ras-ras dalam proses perpindahan bangsa-bangsa prasejarah. Suku Moronene, Tolaki, Wawonii, dan Kulisusu mempunyai ciri fisik dan budaya yang mirip. Penduduk kepulauan (Muna dan Buton), termasuk Kepulauan Banggai (Sulteng) dan suku-suku di NTT, memiliki banyak persamaan dengan ras Austro-Melanesoid.
Dari segi kesejarahan, Kesultanan Buton terbentuk diperkirakan pada abad ke-14 dan baru pada 1540 memeluk agama Islam dan menjadi Kesultanan Buton. (Pim Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, 2003). Dilihat dari potensi ekonomi dan sumber daya manusia di 15 kabupaten/kota Sultra lainnya, posisi Buton berada di tengah-bawah dengan jumlah penduduk sekitar 97.670 jiwa (2015) dan pemilih dalam pilkada 2017 ini sebanyak 71.527 pemilih.
Indeks pembangunan manusia tercatat 62,78 (2015) atau relatif rendah di peringkat bawah bersama wilayah Buton Tengah dan Buton Selatan, tetapi di bawah Buton Utara. Kabupaten Buton sejatinya merupakan wilayah induk Buton pada masa sebelum pemekaran daerah menjadi tiga kabupaten baru (Buton Tengah, Buton Selatan, dan Buton Utara).
Selama periode pasca-pemekaran, tercatat persentase penduduk miskin cenderung menurun dari 16,64 persen (2011) menjadi 13,75 persen pada tahun 2015. Seiring dengan itu, indeks pembangunan manusia juga merambat naik dari 60,12 (2011) menjadi 62,78 (2015). Laju pertumbuhan ekonomi (PDRB) tahun 2014 tercatat 3,69 persen, jauh melambat dibandingkan tahun 2011-2013 yang rata-rata 9 persen.
Di sisi lain, terekam kerinduan publik terhadap kehadiran kepemimpinan daerah yang benar-benar berkuasa untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat. Sebab, sejauh ini, para pemimpin yang silih berganti naik ke kekuasaan politik di Buton lebih banyak mengabdi kepada kepentingan partai, kepentingan elite, bahkan kepentingan keluarga mereka sendiri. (LITBANG KOMPAS)