Persaingan Dua Sosok
Apabila pemilu presiden dilakukan saat ini, posisi politik Presiden Joko Widodo masih tidak tergoyahkan. Sosoknya masih menjadi referensi terbesar publik, terpaut jauh dengan sosok-sosok lainnya yang dianggap layak sebagai presiden di negeri ini.
Selain tetap bercokol pada posisi teratas, tingkat keterpilihannya pun semakin membesar dari waktu ke waktu yang sekaligus menunjukkan derajat kepercayaan publik yang kian menguat terhadap dirinya. Kesimpulan demikian menjadi salah satu temuan survei opini publik yang dilakukan Litbang Kompas secara berkala sejak Januari 2015 hingga April-Mei 2017 di seluruh provinsi negeri ini.
Masih tingginya tingkat keterpilihan dan tren peningkatan terhadap Jokowi patut ditelusuri alasan logis yang mendasari peningkatan tersebut.
Presiden Joko Widodo pada survei terakhir April-Mei 2017 dipilih 41,6 persen responden jika pemilu dilakukan saat itu. Pesaing terdekatnya, Prabowo Subianto, dipilih oleh 22,1 persen responden. Dibandingkan dengan survei sebelumnya (Oktober 2016), keterpilihan Jokowi meningkat hampir 4 persen. Demikian pula jika dihitung sejak survei periode April 2015, keterpilihan Jokowi terus-menerus meningkat.
Masih tingginya tingkat keterpilihan dan tren peningkatan yang justru positif saat ini terhadap Jokowi patut ditelusuri alasan logis apa yang mendasari peningkatan tersebut. Menjadi relevan jika dikaitkan dengan kondisi bangsa akhir-akhir ini yang tengah menunjukkan geliatnya dalam permasalahan-permasalahan politik dan keamanan, tekanan perekonomian dan kesejahteraan, hingga persoalan-persoalan penegakan hukum yang kerap memancing kegaduhan.
Semakin menjadi relevan lagi jika memandang hasil survei yang sama, yang menunjukkan bagaimana kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi pun cenderung menurun dibandingkan dengan periode sebelumnya. Apabila pada Oktober 2016 hampir dua pertiga (65,9 persen) responden menyatakan puas terhadap kinerja pemerintahannya, pada April-Mei 2017 sedikit menyusut, menjadi 63,1 persen.
Kecuali pada kinerja hukum, kecenderungan penurunan apresiasi terjadi pada persoalaan politik dan keamanan serta perekonomian dan kesejahteraan sosial. Faktanya, tingkat kepuasan publik masih dominan. Namun, segenap kondisi demikian juga mengindikasikan adanya tekanan-tekanan berat yang kini tengah dihadapi pemerintahan Jokowi.
Mengurai penyebab peningkatan tingkat keterpilihan Jokowi di tengah tekanan-tekanan berat persoalan bangsa yang dihadapi, perlu pula dicermati terlebih dahulu dinamika tingkat keterpilihan sosok-sosok lain yang dianggap layak sebagai presiden.
Pencermatan demikian patut dilakukan guna memahami apakah tren peningkatan ataupun penurunan terhadap keterpilihan setiap sosok yang dianggap layak menjadi presiden saling terhubung satu sama lain. Dalam hal ini, apakah tren peningkatan keterpilihan Jokowi diikuti pula oleh penurunan ataupun justru peningkatan sosok-sosok lain?
Mencermati hasil survei, pesaing terdekat Jokowi, Prabowo Subianto, ternyata mengalami pula tren peningkatan keterpilihan. Dibandingkan dengan periode survei sebelumnya, tambahan peningkatan elektabilitas Prabowo bahkan mencapai hampir 6 persen. Peningkatan keterpilihan Prabowo berlangsung terutama sepanjang enam bulan terakhir.
Dengan demikian, hingga kini, baik sosok Jokowi maupun Prabowo semakin populer di mata publik, kian jauh meninggalkan popularitas sosok-sosok lain. Perhatian publik menjadi semakin tertuju kepada kedua sosok tersebut.
Apabila digabungkan, kedua sosok tersebut mampu menguasai 63,7 persen atau hampir dua pertiga dari total responden. Proporsi tersebut tampak semakin membesar dari waktu ke waktu dan pada sisi lain justru semakin meredupkan alternatif pilihan publik pada sosok-sosok lain.
Mereka yang menyatakan memilih sosok-sosok lain di luar Jokowi dan Prabowo pada survei terakhir ini sebesar 12,4 persen. Di antara sosok-sosok yang menjadi rujukan publik, sosok pemimpin level daerah, seperti Basuki Tjahaja Purnama, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, dan gubernur DKI terpilih Anies Baswedan, serta beberapa sosok lain yang berlatar belakang politisi, militer, dan menteri masih menjadi pilihan publik.
Namun, tingkat keterpilihan mereka masing-masing masih jauh di bawah 2 persen. Praktis, hasil survei berkala tersebut menunjukkan masih kuatnya dominasi keterpilihan kedua sosok tersebut dalam benak publik.
Di saat tekanan-tekanan persoalan dihadapi bangsa belakangan ini, perhatian publik lebih banyak terfokus pada kiprah dua sosok.
Tetap rendahnya proporsi keterpilihan dari sosok-sosok lain di luar Jokowi dan Prabowo dapat menjadi alasan pembenaran terhadap kokohnya kualitas keterpilihan publik pada kedua sosok tersebut. Di saat tekanan-tekanan persoalan dihadapi bangsa belakangan ini, perhatian publik lebih banyak terfokus pada kiprah kedua sosok tersebut. Dalam kondisi demikian, tidak mengherankan jika posisi keterpilihan Jokowi dan Prabowo meningkat.
Tampilnya kedua sosok tersebut tidak lepas dari ketatnya pola kontestasi politik yang dihadapi kedua sosok tersebut dalam Pemilu Presiden 2014. Selepas hasil pemilu diumumkan, yang mengukuhkan Jokowi sebagai presiden dengan meraih dukungan suara sekitar 53,2 persen (berselisih sekitar 6,3 persen suara pemilih), arus dukungan publik terhadap sosok Jokowi ataupun Prabowo tetap berlanjut. Dengan berjalannya waktu, pola keterpilihan kedua sosok tersebut menjadi semakin kompetitif.
Apabila ditelusuri, tren peningkatan dukungan publik kepada Jokowi dan Prabowo berlangsung hampir merata di sebagian besar kluster wilayah. Di DKI Jakarta, sosok Jokowi tampak dominan. Tren peningkatan keterpilihannya terjadi sejak April 2015 dan kini mencapai 52 persen. Besaran proporsi yang dicapainya itu tertinggi dibandingkan dengan periode-periode lampau. Di sisi lain, dukungan terhadap Prabowo di DKI Jakarta pun mulai meningkat sejak April 2016 dan kini mencapai 25 persen.
Pada kluster wilayah yang dikenal sebagai basis kemenangan Jokowi pada Pemilu 2014, seperti sebagian kawasan Sumatera (Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Bengkulu), sebagian Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta), Sulawesi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah), Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua, dukungan terhadap Jokowi juga semakin menguat sejak dua tahun terakhir.
Bahkan, terhadap beberapa wilayah yang menjadi basis kemenangan Prabowo pada Pemilu 2014, seperti Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Banten, proporsi keterpilihan Jokowi cenderung menunjukkan peningkatan.
Akan tetapi, kondisi yang sama juga dialami Prabowo. Sosoknya juga semakin menjadi rujukan pilihan bagi responden tidak hanya terjadi di wilayah basis kemenangannya pada pemilu lalu. Peningkatan elektabilitas juga terjadi di wilayah-wilayah yang menjadi basis kemenangan Jokowi, seperti Sumatera Utara dan sebagian wilayah Sumatera lainnya, sebagian Kalimantan, dan Sulawesi.
Semakin terpolarisasinya pola dukungan pada kedua sosok dapat dipahami pula sebagai petunjuk kian menguatnya dua harapan kepentingan yang berbeda pada masing-masing pendukung.
Dengan kondisi demikian, indikasi polarisasi dukungan yang semakin kompetitif pada kedua sosok tersebut tengah berlangsung pada wilayah-wilayah yang dikenal sebagai basis kemenangan kedua sosok tersebut.
Semakin terpolarisasinya pola dukungan pada kedua sosok itu dapat dipahami pula sebagai petunjuk kian menguatnya dua harapan kepentingan yang berbeda pada pendukung masing-masing. Persoalan demikian dapat terindikasi dari alasan pertimbangan masing-masing yang diberikan responden terhadap sosok yang dipilihnya. Bagi para pemilih Jokowi, misalnya, bagian terbesar menganggap kinerja yang ditunjukkan Jokowi selama ini menjadi dasar pertimbangan yang menguatkan keputusan mereka untuk tetap memilihnya.
Alasan terbesar, tidak kurang dari 34,5 persen pemilih Jokowi mengungkapkan, dalam menjalankan tugas kepemimpinannya itu, Presiden Jokowi mampu menunjukkan capaian perubahan yang signifikan terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini.
Di luar aspek prestasi kerja, sisi kepribadian personal Jokowi juga menjadi daya tarik terbesar bagi kalangan yang mendukungnya. Sisi personal yang ditunjukkan Presiden Jokowi selama ini, seperti upaya menunjukkan kedekatan dan keberpihakan kepada masyarakat, menjadi daya tarik bagi sekitar 19 persen pemilihnya. Aspek personal lainnya, seperti sikap jujur, sederhana, dan tegas yang ditunjukkan, juga menjadi alasan tersendiri bagi para pemilih Jokowi.
Akan tetapi, bagi sebagian responden, terutama yang kini cenderung memilih Prabowo, faktor-faktor personal diri Jokowi yang selama ini ditunjukkannya itu justru menjadi faktor kekurangan dari sosok tersebut. Bagian terbesar, 34,7 persen responden pemilih Prabowo, menganggap ketegasan masih kurang dimiliki Jokowi.
Selain itu, persoalan-persoalan hasil kerja yang ditunjukkan selama ini pun dirasakan masih kurang memadai dalam standar penilaian mereka. Bersandar pada sisi kekurangan semacam itu yang membuat mereka memilih Prabowo, sosok yang mereka nilai punya sisi ketegasan dan kapabilitas dalam memimpin negeri ini.
Pemilih PDI-P tergolong paling loyal, lebih dari tiga perempat responden yang mengaku memilih PDI-P menyatakan memilih Jokowi sebagai presiden.
Pada sisi lain, baik Jokowi maupun Prabowo ditopang pula oleh loyalitas pemilihnya yang berasal dari partai-partai politik pengusung kedua sosok tersebut. Pada kedua grafik berikut, jika masing-masing responden dipilah berdasarkan partai pilihannya pada pemilu lalu, tampak bagian terbesar dari pemilih Jokowi merupakan responden yang memilih partai-partai politik yang tergabung sebagai partai pendukung pemerintahan.
Dalam hal ini, pemilih PDI-P tergolong paling loyal, lebih dari tiga perempat responden yang mengaku memilih PDI-P menyatakan memilih Jokowi sebagai presiden. Begitu pula responden yang mengaku memilih Partai Gerindra mayoritas memilih Prabowo sebagai sosok yang dinilai layak menjadi presiden.
Di luar para pemilih PDI-P dan Gerindra, bagian terbesar responden juga tampak sejalan dengan pilihan sosok calon presiden yang diusung partainya. Akan tetapi, proporsi dukungan relatif lebih cair, tidak sekuat proporsi dukungan pemilih PDI-P dan Gerindra. Partai Nasdem, PKB, dan Partai Golkar, misalnya, sekalipun bagian terbesar memilih Jokowi, tetapi responden pemilih kedua partai ini yang memilih di luar Jokowi juga tergolong signifikan. Begitu pula pada pemilih PKS, masih signifikan besarnya responden yang mengaku memilih partai ini, tetapi menyatakan tidak menghendaki Prabowo sebagai sosok yang layak menjadi presiden. (LITBANG KOMPAS).
Metodologi
Survei untuk mengukur kinerja pemerintahan ini dilakukan secara tatap muka pada 1.200 responden secara periodik oleh Litbang Kompas, dan kali ini dilakukan pada 25 April-7 Mei 2017. Populasi survei adalah warga Indonesia berusia di atas 17 tahun, responden dipilih secara acak proposional bertingkat di 32 provinsi Indonesia. Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error penelitian ± 2,83 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana. Meski demikian, kesalahan di luar pemilihan sampel dimungkinkan terjadi.