Media Cetak di Persimpangan Jalan
Oplah media cetak nasional anjok selama beberapa tahun terakhir. Jumlah penerbit pun turun. Sebagian pihak memaknai ini sebagai sinyal kuning bagi kelangsungan bisnis industri media cetak. Penetrasi media digital yang sangat masif menempatkan industri media cetak di sebuah persimpangan jalan.
Di tengah situasi yang berubah, pelaku industri media cetak dituntut untuk menentukan arah agar bisa bertahan. Sejumlah perusahaan penerbitan terpaksa menutup usahanya. Alasannya, antara lain, biaya produksi meningkat, sementara oplah dan pembacanya menurun.
Sejumlah perusahaan media lain memilih beralih fokus dari platform cetak ke media digital, mengikuti kecenderungan perubahan perilaku pembaca dalam mengonsumsi informasi. Sebagian lain berusaha bertahan dengan mengembangkan kedua platform media, baik cetak maupun digital.
Data terakhir dari Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) atau kini disebut Serikat Perusahaan Pers yang diterbitkan tahun 2016 menyebutkan, pada tahun 2014 terdapat 418 surat kabar yang terbit di Indonesia. Tahun 2015 berkurang menjadi 383 surat kabar. Dalam kurun waktu satu tahun, ada 35 surat kabar yang berhenti terbit.
”Pada tahun 2014 terdapat 418 surat kabar yang terbit di Indonesia. Tahun 2015 berkurang menjadi 383 surat kabar. Dalam kurun waktu satu tahun, ada 35 surat kabar yang berhenti terbit.”
Surat kabar kerap dijadikan tolok ukur penerbitan media cetak karena dianggap memiliki coverage pembaca yang paling banyak dibandingkan dengan jenis media cetak lainnya. Oplah surat kabar nasional turun sebesar 8,9 persen pada periode 2014-2015. Padahal, pada periode tiga tahun sebelumnya (2008-2013), oplah surat kabar sempat meningkat sebesar 8,21 persen.
Dalam industri cetak, media yang paling signifikan mengalami penurunan adalah majalah. Pada tahun 2012, tercatat tak kurang dari 455 majalah yang terbit di Indonesia. Dua tahun kemudian, jumlah majalah yang bertahan turun menjadi 449. Dan di tahun 2015 jumlah majalah yang terbit tinggal 420. Banyaknya majalah yang kolaps dibarengi anjloknya oplah media dalam platform ini.
Perubahan pola konsumsi informasi masyarakat yang beralih ke internet ditengarai menjadi tantangan paling berat bagi pelaku industri majalah. Konten majalah yang berisi tema-tema khusus menjadikan ceruk pembacanya juga sangat khusus. Ceruk tersebut makin sempit ketika pembaca bisa mendapatkan artikel yang diinginkan dengan mencari di internet, apalagi artikel didapatkan secara gratis.
Nasib serupa juga dialami tabloid. Data SPS menyebutkan, tahun 2011-2015 jumlah tabloid turun. Pada tahun 2011, jumlah tabloid beredar sebanyak 265, turun menjadi 213 tabloid pada tahun 2015. Demikian pun surat kabar cetak mingguan juga mengalami nasib serupa. Sejak 2012, surat kabar mingguan mengalami penurunan yang cukup signifikan. Dari 284 surat kabar mingguan yang terbit pada tahun 2012, tinggal 202 penerbitan pada tahun 2015.
Iklan di media cetak
Nielsen Indonesia pada 1 Februari 2017 merilis data total belanja iklan di televisi dan media cetak sepanjang tahun lalu mencapai Rp 134,8 triliun. Jumlah ini naik 14 persen dari tahun sebelumnya. Riset Nielsen ini memantau iklan yang ditayangkan 15 stasiun televisi nasional, diterbitkan 99 surat kabar, serta gabungan 123 majalah dan tabloid.
Media penyiaran televisi masih menjadi penyerap utama belanja iklan, yakni sebesar Rp 103,8 triliun atau 77 persen dari total keseluruhan belanja iklan. Sementara belanja surat kabar berhasil mengambil bagian sebesar Rp 29,4 triliun atau 22 persen. Adapun majalah meraup Rp 1,6 triliun atau 1 persen dari total belanja iklan.
Nielsen memaparkan pada 2009, memberikan gambaran, perusahaan-perusahaan yang menjadi kliennya masih gencar beriklan di media cetak. Namun, memasuki tahun 2011, iklan di media cetak benar-benar dikurangi, misalnya pada periode 2014-2015 Nielsen mencontohkan salah satu perusahaan perbankan mengurangi porsi iklan di media cetak sampai 70 persen. Porsi belanja iklan tersebut dialihkan ke radio dan digital.
Beralih ke digital?
Tren sirkulasi media cetak tampak berbeda di sejumlah negara. Meskipun di sejumlah negara penurunan oplah surat kabar tampak signifikan, faktanya secara global tren sirkulasi surat kabar meningkat. Data yang dilansir oleh asosiasi surat kabar dan penerbit berita dunia Wan Ifra menunjukkan adanya peningkatan sirkulasi surat kabar global sebesar 21 persen selama lima tahun terakhir (2011-2015).
Wan Ifra mengestimasi tak kurang dari 2,7 miliar orang di dunia yang membaca edisi cetak surat kabar. Sementara itu, lebih dari 1,3 juta atau sekitar 40 persen pengguna internet membaca surat kabar secara online. Data yang dilansir Wan Ifra menunjukkan bahwa fenomena peningkatan sirkulasi surat kabar hanya terjadi di kawasan Asia. Sementara di wilayah lain terjadi penurunan yang cukup signifikan.
”Wan Ifra mengestimasi tak kurang dari 2,7 miliar orang di dunia yang membaca edisi cetak surat kabar. Sementara itu, lebih dari 1,3 juta atau sekitar 40 persen pengguna internet membaca surat kabar secara online.”
Di Amerika Serikat (AS), misalnya, data dari News Media Alliance (NMA) yang dikutip oleh Pew Research Center menunjukkan, dalam rentang waktu enam tahun terakhir (2011-2016), sirkulasi surat kabar di AS terus mengalami penurunan, dari 44.000 eksemplar anjlok menjadi 34.000 eksemplar.
Sejumlah media cetak di AS yang tutup antara lain majalah Newsweek yang berhenti terbit pada tahun 2012. Perusahaan tersebut memutuskan mengembangkan format digital/online. Namun, pada tahun 2014, media tersebut dibeli oleh salah satu perusahaan media digital IBT Media. Di bawah manajemen yang baru, Newsweek kembali terbit dalam bentuk cetak.
Media cetak lain yang mengalami kebangkrutan adalah Reader’s Digest. Majalah yang terbit sejak 1922 dan terbit dalam 17 bahasa di dunia itu menyatakan bangkrut pada tahun 2013. Sementara itu, surat kabar Tribune Co bangkrut pada tahun 2008 dan beralih ke media online. Sementara di Inggris, surat kabar The Independent mulai menghentikan penerbitan edisi cetaknya pada tahun 2016. Koran yang telah terbit selama 33 tahun itu juga beralih fokus pada produksi berita online/digital.
Problem penurunan oplah ditambah anjloknya pendapatan iklan menjadi alasan utama yang disebut-sebut sebagai penyebab tutupnya penerbitan media cetak tersebut. Sebaliknya, tren pendapatan iklan pada platform digital justru mengalami peningkatan. Di AS, misalnya, kue iklan digital pada tahun 2011 sebesar 17 persen dan berangsur naik hingga 29 persen di tahun 2016.
Data Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, lebih dari setengah penduduk Indonesia telah terhubung ke internet pada tahun 2016. Jumlah pengguna internet pada tahun 2016 tercatat 132,7 juta orang, naik sekitar 50 juta dari tahun 2014. Jumlah ini semakin meningkat pesat bersamaan dengan melonjaknya jumlah kepemilikan gawai. Kemudahan pengguna gawai dan tersedianya jaringan data internet yang disediakan oleh operator telekomunikasi yang makin merata jangkauannya mempermudah pengguna gawai terkoneksi ke internet kapan pun dan di mana pun.
Kemudahan pengguna gawai mengakses berita secara gratis dan cepat bisa jadi merupakan salah satu faktor penyebab keengganan orang untuk membaca atau bahkan membeli dan berlangganan koran. Dengan gawai, pencarian berita dan informasi pun secara gratis mudah dilakukan.
Kondisi perubahan tutupnya industri media cetak di Indonesia tidak sedrastis di luar negeri. Namun, beberapa media cetak sudah tidak terbit lagi dan ada yang berubah ke platform digital. Sejumlah surat kabar cetak nasional masih tetap terbit edisi cetaknya, tetapi secara bersamaan juga menerbitkan edisi digital.
Terbitnya surat kabar versi digital yang masih bersamaan dengan edisi cetak bisa jadi sebagai upaya transisi jika suatu ketika nanti surat kabar cetak akan sepenuhnya berubah ke platform digital. Dengan kondisi semacam ini, situasi media cetak di Indonesia tengah berada di titik persimpangan jalan, antara mempertahankan edisi cetak yang masih memiliki pembaca dan pemasang iklan yang loyal, tetapi di sisi lain tuntutan teknologi yang ”memaksa” surat kabar cetak berubah ke digital. Ditambah pula tren menurunnya oplah media cetak dalam beberapa tahun terakhir memperkuat asumsi perubahan tersebut.
Tantangan media cetak adalah membuat konten digital yang bisa bersaing dengan beberapa portal berita besar yang sudah cukup lama beroperasional di Tanah Air. Kecepatan berita dalam dunia digital adalah hal penting, tetapi hal utama adalah pada kredibilitas berita dan akurasi berita yang pada gilirannya tetap akan menentukan kualitas konten suatu media. (TOPAN YUNIARTO/LITBANG KOMPAS)