Mengungkap Rasa Percaya Diri ala Desa Kemiren
Perkembangan Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, sebagai desa wisata ditopang oleh kesadaran, sekaligus partisipasi warga yang relatif tinggi. Ketika modal sosial masyarakat tinggi, partisipasi mereka pun juga tinggi sebagai bentuk kesadaran bersama.
Kesadaran inilah yang sampai hari ini terawat dengan baik yang menopang proses perubahan dan dinamika di desa ini. Survei Kompas menangkap kecenderungan tingginya modal sosial masyarakat Desa Kemiren tersebut. Indeks modal sosial di Desa Kemiren berada di angka 3,5. Kekuatan sosial ini ditopang oleh tingginya partisipasi warga dalam dinamika sosial di wilayah ini.
Selain itu penopang terbesar adalah dari tingkat rasa percaya yang tinggi antarwarga desa. Hanya sisi jaringan komunitas atau kelompok di luar desa yang cenderung rendah dari indikator modal sosial di Desa Kemiren ini.
Indeks modal sosial ini relatif penyumbang tertinggi bagi bangunan ketahanan sosial di Desa Kemiren. Dari empat indikator tentang ketahanan sosial, angka indeks modal sosial paling tinggi dibandingkan dengan bidang kesehatan, pendidikan, dan permukiman. Hal ini tidak lepas dari nilai dari modal sosial yang relatif melekat dalam diri masyarakat dibandingkan dengan sesuatu yang sifatnya fisik, seperti tiga bidang lainnya tersebut.
Kekuatan modal sosial di Desa Kemiren ini sebagian besar termanifestasikan pada tradisi-tradisi budaya yang berkembang dan dirawat oleh desa. Sebut saja seperti Ider Bumi, Tumpeng Sewu, Kopi Sewu, dan Tarian Gandrung. Hampir sebagian besar responden menyatakan terlibat aktif dalam pelaksanaan tradisi yang dilakukan berkala tiap tahun tersebut.
Kekuatan modal sosial di Desa Kemiren termanifestasikan pada tradisi-tradisi budaya.
Momentum-momentum seperti inilah yang menciptakan ruang sekaligus media penguatan modal sosial warga desa. Hal ini diakui oleh Kepala Desa Kemiren Lilik Yuliati. Dengan tradisi budaya yang ada, Kemiren menyemai sebuah benih-benih modal sosial yang berlaku generatif, artinya menurun ke generasi berikutnya.
Tidak heran jika setelah terpilih sebagai kepala desa, Lilik menekankan pentingnya peran institusi desa, seperti pemerintahan desa, dalam merawat nilai dan tradisi budaya lokal tersebut. Sejak 2013, tradisi budaya ini pun diformalkan dalam sebuah peraturan desa. ”Ini upaya pemerintah desa dalam menjaga tradisi budaya Kemiren,” kata Lilik.
Tidak selamanya upaya pemerintah desa ini dipandang positif. Bagi Budayawan Banyuwangi yang juga warga asli Desa Kemiren, Adi Purwadi, kebijakan pemerintah memformalkan tradisi budaya dalam sebuah peraturan desa justru akan menggerus nilai budaya itu sendiri.
Bagi Pak Pur, begitu biasa dia dipanggil, upaya ini tidak lepas dari komersialisasi budaya yang justru akan meminggirkan partisipasi warga dan perlahan menjauhkan warga dengan tradisinya. ”Seperti Kopi Sewu, itu bukan tradisi Kemiren, tapi diciptakan untuk kepentingan wisata,” kata Pak Pur. Untuk itu, Purwadi dalam lima tahun terakhir berinisiatif membuka rumah using sebagai bagian dari paket wisata dan pusat pembelajaran tradisi-tradisi using.
Kebijakan pemerintah memformalkan tradisi budaya dalam peraturan desa justru menggerus nilai budaya.
Partisipasi informal
Kekhawatiran Purwadi sebenarnya juga tergambar dari hasil survei terkait keterlibatan warga Desa Kemiren terkait dana desa. Rata-rata, responden menyatakan tidak banyak terlibat dalam urusan terkait dana desa tersebut.
Hanya satu dari lima responden yang mengaku terlibat dalam perencanaan proyek kegiatan sampai pada evaluasinya. Artinya, banyak warga yang memang tidak terlibat atau melibatkan diri dalam proses dana desa tersebut.
Namun, dari semua proses itu, untuk soal pemanfaatan sarana dan prasarama yang dibangun dari dana desa, separuh lebih responden (70 persen) mengaku memanfaatkan proyek pembangunan tersebut. Sementara dalam hal perencanaan, penentuan jenis kegiatan, pengawasan, dan evaluasi proyek hanya sedikit yang mengaku terlibat.
Hal ini menjadi potret modal sosial masyarakat Desa Kemiren belum secara kuat merangsang warga untuk terlibat dalam hal kegiatan pemerintahan, termasuk di antaranya proyek-proyek dana desa. Namun, untuk hal yang terkait dengan kegiatan ritual budaya, partisipasi warga relatif cukup tinggi. Partisipasi informal inilah yang lebih kuat terekam dalam masyarakat Desa Kemiren.
Hal ini tentu wajar mengingat warga Desa Kemiren ini masih relatif kuat identitas kulturalnya dibandingkan dengan masyarakat Banyuwangi pada umumnya. Desa Kemiren secara historis geneologis-sosiologis masih memperlihatkan tata kehidupan sosio-kultural yang mempunyai kekuatan nilai tradisional Osing sehingga pada saat kepemimpinan Gubernur Jawa Timur Basofi Sudirman, desa ini ditetapkan menjadi Kawasan Wisata Desa Adat Osing.
Osing merupakan salah satu komunitas etnis yang berada di daerah Banyuwangi dan sekitarnya. Dalam lingkup lebih luas, Osing merupakan salah satu bagian sub-etnis Jawa.
Menurut Samsul Muarif dalam ”Mengenal Budaya Masyarakat Osing”, penerbit SIC, 2002, menyebutkan, masyarakat Using (Osing) menempati wilayah yang tersebar di 13 kecamatan dari 21 kecamatan di Banyuwangi. Jika dihitung jumlah desa yang ditempati, masyarakat using tersebar di 126 desa dari 176 desa yang ada di Banyuwangi.
Samsul dalam buku ini tidak menyebut secara eksplisit nama-nama kecamatan tempat tinggal masyarakat using, tetapi dia hanya menulis ”kabupaten Banyuwangi dibagi menjadi 21 wilayah kecamatan. Membentang dari utara mulai kawasan Taman Nasional Baluran ke selatan sampai kawasan Taman Nasional Meru Betiri.
Di antara dua taman nasional itulah, masyarakat Using tersebar bertempat tinggal. Namun, penetapan Desa Kemiren menjadi salah satu Desa Wisata Using menjadi bukti kuat secara geografis dan sosiologis bahwa desa ini menjadi ikon tersendiri bagi masyarakat budaya Osing.
Untung-rugi
Tidak heran jika kemudian respons warga Desa Kemiren terkait status desanya menjadi lokasi wisata relatif ditanggapi beragam meskipun secara umum memandangnya sebagai sebuah keuntungan dan bermanfaat bagi warga.
Salah satu dampak positif yang mereka tangkap adalah popularitas desanya akan melejit namanya karena didatangi banyak wisatawan, baik domestik maupun internasional. Setidaknya keberhasilan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menggenjot pariwisata di daerah ini turut menjadi pertimbangan warga Desa Kemiren ketika desanya menjadi salah satu ikon wisata Banyuwangi.
Lihat saja data berikut ini. Dalam waktu singkat, kunjungan wisatawan domestik melonjak 161 persen. Pada 2010, misalnya, tercatat 651.500 wisatawan berkunjung. Pada 2015, jumlahnya menjadi 1,7 juta wisatawan. Hal yang sama terjadi pada kunjungan wisatawan mancanegara yang meningkat 210 persen.
Namun, bukan berarti semua ada dampak positifnya. Kerugian pun juga ditangkap sebagian warga desa akibat wilayahnya menjadi sasaran wisata. Setidaknya 38 persen responden warga Desa Kemiren mengaku biaya ritual dari pelaksanaan tradisi semakin mahal sejak banyak wisatawan berkunjung ke desa ini.
Setidaknya hal ini juga diungkap sejumlah warga yang menyatakan, di setiap acara budaya, misalnya Kopi Sewu dan Ider Bumi, sebagian besar biaya ditanggung oleh warga sendiri. Sumiati (55), misalnya, mengaku memasak pecel pitik, makanan khas Desa Kemiren dalam pelaksanaan Ider Bumi, biayanya semakin mahal karena harga ayam yang harus dibelinya.
Namun, Sumiati juga tidak keberatan melaksanakannya meskipun dari sisi nominal pasti rugi. Semua dilakukannya dengan tujuan untuk menghormati tradisi. ”Ini, kan, untuk tradisi Mas, gak apa-apa,” ujarnya. Inilah modal sosial warga Desa Kemiren yang menjadi kekuatan dan ketahanan sosialnya di tengah gempuran modernisasi dan komersialisasi. (YOHAN WAHYU/LITBANG KOMPAS)