Mencermati Upaya Bertahan Media Cetak
Industri surat kabar secara global mengalami penurunan serapan pasar secara signifikan. Bisnis media cetak pun kerap dilabeli sunset industry, ungkapan untuk menunjukkan muramnya masa depan industri ini. Namun, fenomena berbeda justru terjadi di sejumlah negara Asia, khususnya di India dan Jepang.
Di kedua negara tersebut, industri surat kabar tak sekadar mampu bertahan di tengah perubahan perilaku bermedia masyarakat. Oplah dan jumlah pembaca koran justru meningkat pesat di India dan Jepang selama beberapa tahun terakhir.
Koran-koran berbahasa lokal di India mengalami peningkatan oplah berlipat dalam beberapa tahun terakhir karena jutaan orang baru yang melek huruf memilih surat kabar sebagai sumber informasi utama mereka.
Oplah dan jumlah pembaca koran justru meningkat pesat di India dan Jepang selama beberapa tahun terakhir.
World Association of Newspapers and News Publishers mencatat, sirkulasi surat kabar India meningkat 32 persen pada periode 2013-2015. Padahal, kondisi sebaliknya terjadi di negara-negara Barat, sirkulasi turun, seperti di Amerika Serikat mengalami penurunan sirkulasi (-3 persen), Perancis (-6 persen), Jerman (-9 persen), dan Inggris (-12 persen).
Sebelumnya, India memang telah memiliki sejarah panjang dalam industri media cetak. Surat kabar pertama telah berdiri lebih dari 230 tahun yang lalu. Lembaga Pendaftaran Surat Kabar India (Registrar of Newspapers for India/RNI) mencatat sampai saat ini ada lebih dari 82.000 surat kabar beredar di India.
Tidak kurang dari 33.000 surat kabar adalah surat kabar berbahasa Hindi, yakni bahasa yang digunakan oleh 41 persen dari 1,35 miliar penduduk India. Sirkulasi surat kabar di India meningkat lebih dari 23 juta eksemplar per hari dalam kurun waktu 2006-2016, atau menunjukkan pertumbuhan rata-rata hampir 5 persen per tahun.
Surat kabar Dainik Bhaskar dan Daily Sun merupakan surat kabar berbahasa Hindi yang paling terkenal di India, oplahnya mencapai 3,57 juta eksemplar terjual tiap hari. Surat kabar lainnya terbit menggunakan banyak bahasa lokal (bahasa daerah) India dengan total jumlah oplah mencapai jutaan eksemplar.
Tingkat keterbacaan koran pun lebih tinggi daripada oplah, karena satu eksemplar surat kabar sering kali dibaca oleh lebih dari satu orang dalam satu keluarga, kerabat, atau lingkungan tetangga.
Meningkatnya literasi, tingkat jenjang pendidikan, pertumbuhan ekonomi, serta maraknya konten lokal ditengarai menjadi faktor yang mendorong pertumbuhan industri surat kabar di India. Dalam lima dekade terakhir, perbaikan bidang pendidikan juga mendorong peningkatan tingkat melek huruf di India, dari 65 persen menjadi 74 persen.
Jutaan orang baru yang melek huruf di India memilih surat kabar sebagai sumber informasi utama mereka kendati jumlah stasiun televisi di India juga meningkat secara bersamaan. Meskipun jumlah pengakses internet di India juga meningkat pesat, surat kabar tetap menjadi primadona bagi masyarakat dalam mengakses informasi.
Harga berlangganan surat kabar India dapat diperoleh dengan harga kurang dari 120 rupee atau sekitar 2 dollar Amerika Serikat (AS) per bulan, harga yang relatif terjangkau bagi sebagian besar masyarakat di India.
Hasil riset Pusat Studi Media di New Delhi menemukan, banyaknya saluran televisi berita yang mengudara dalam bahasa lokal di India secara mengejutkan ternyata justru meningkatkan jumlah pembaca surat kabar.
Dalam penelitian kebiasaan bermedia masyarakat di India, riset ini menemukan bahwa semakin banyak masyarakat menonton berita televisi, semakin banyak pula mereka beralih ke surat kabar untuk mengecek fakta-fakta yang diberitakan. Kredibilitas konten surat kabar diyakini jauh melebihi kredibilitas siaran berita di televisi.
Jutaan orang baru yang melek huruf di India memilih surat kabar sebagai sumber informasi utama mereka kendati jumlah stasiun televisi di India juga meningkat secara bersamaan.
Seiring semakin pesatnya pertumbuhan ekonomi India, pendapatan iklan surat kabar cetak di India juga meningkat. Surat kabar berbahasa Inggris di India menguasai sebagian besar anggaran iklan, terutama di kota-kota besar di India.
Namun, saat ini para pengiklan telah menemukan pesatnya media cetak berbahasa daerah dan kemampuannya untuk menjangkau pelanggan di kota-kota menengah sebagai potensi pasar. Peningkatan iklan di surat kabar didorong oleh pertumbuhan pembaca, dan meningkatnya kekuatan ekonomi kelas menengah yang menggunakan bahasa daerah.
Fenomena industri surat kabar di Jepang serupa di India. Sebagai negara dengan teknologi paling maju dan inovatif, oplah dan pembaca surat kabar di Jepang tetap stabil bertahan tinggi. Pesatnya perkembangan teknologi digital di negara ”Matahari Terbit” ini terbukti masih memberi ruang luas bagi kelangsungan bisnis surat kabar.
Surat kabar terbesar di Jepang, Yomiuri Shimbun, yang terbit sejak 1874, tetap sukses meraih pembaca di saat mudahnya masyarakat mengakses berita melalui internet. Yomiuri Shimbun yang terbit dua kali sehari (edisi pagi dan edisi sore) masih mampu menjaga konsistensi oplahnya sebanyak 10 hingga 11 juta eksemplar per hari.
Sampai saat ini, edisi surat kabar Yomiuri Shimbun pagi dicetak tak kurang dari delapan juta eksemplar. Sementara pada pada edisi sore, Yomiuri Shimbun mencetak dua sampai tiga juta eksemplar. Jumlah ini mengokohkan Yomiuri Shimbun sebagai surat kabar dengan oplah terbesar tidak hanya di Jepang, tetapi juga di dunia.
Dengan total perkiraan pembaca mencapai 26,2 juta, Yomiuri Shimbun menjadi gambaran umum masih bersinarnya bisnis surat kabar cetak di negeri Sakura.
Peningkatan iklan di surat kabar didorong oleh pertumbuhan pembaca, dan meningkatnya kekuatan ekonomi kelas menengah yang menggunakan bahasa daerah.
Media di Eropa dan Amerika
Kondisi sebaliknya berlangsung di Eropa dan Amerika. Di AS, salah satu negara yang memiliki sejarah panjang dan kerap menjadi barometer perkembangan jurnalistik tampak mengalami masa surutnya industri surat kabar. Puluhan perusahaan penerbitan media cetak, baik surat kabar maupun majalah, bangkrut dan berhenti terbit.
The New York Times pernah dikenal sebagai surat kabar harian terlaris di AS. Saat perusahaan media tersebut telah mengganti 95 persen format penyajian berita mereka, dari cetak ke digital, oplah koran yang sudah terbit sejak 1851 tersebut terus menurun.
Sejumlah upaya dilakukan untuk mempertahankan reputasi The New York Times sebagai surat kabar yang menyajikan konten berkualitas. Dengan munculnya internet, surat kabar mengalihkan sebagian besar konten editorial atau pemberitaannya ke platform online. Ini dilakukan untuk menjangkau pembaca yang lebih luas serta memenuhi permintaan pembaca.
The New York Times berjuang untuk menemukan strategi yang tepat dalam mendistribusikan produk mereka dan memonetisasi konten mereka secara online. Setelah bertumpu pada strategi pendapatan iklan online selama beberapa tahun, The New York Times menyadari bahwa pendapatan iklan digital gagal mengurangi kerugian pendapatan iklan surat kabar versi cetak.
Ditambah lagi, pendapatan iklan digital juga gagal mengimbangi berkurangnya pendapatan sirkulasi surat kabar. Pada Maret 2011, The New York Times memperkenalkan sebuah laman atau web online untuk pembaca.
Dalam strategi awal ini, The New York Times memberikan kemudahan kepada pembaca untuk mengakses 20 artikel online per bulan, setelah itu mereka diharuskan membayar langganan (cetak atau digital) untuk melihat konten online tambahan. Pendekatan konten berita secara berbayar sebelumnya telah dirintis oleh Wall Street Journal dan dinyatakan berhasil. The New York Times tampak mengikuti kesuksesan Wall Street Journal.
Konten digital berbayar berhasil menarik pelanggan digital dan meningkatkan pendapatan The New York Times secara signifikan. Namun, proses peralihan platform ini tidak berlangsung instan. Perusahaan tersebut membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa membentuk formula monetasi platform digital yang tepat.
Keberhasilan transformasi The New York Times dari cetak ke digital tidak banyak dialami oleh penerbit surat kabar tradisional lainnya yang juga menerbitkan konten digital berbayar. Surat kabar terbitan Inggris, The Independent dan Independent on Sunday, secara resmi meninggalkan edisi cetak tahun lalu.
Edisi cetak The Independent terakhir terbit pada hari Sabtu, 26 Maret 2016. Sementara itu, edisi terakhir Independent on Sunday terbit pada 20 Maret 2016. Meski dua media cetak itu tutup, edisi daringnya masih terbit. Media daring dipertahankan karena menjadi strategi terbaik.
Keputusan ini untuk mempertahankan brand The Independent dan memungkinkan untuk terus berinvestasi di konten editorial berkualitas tinggi yang menarik lebih banyak pembaca untuk beralih ke platform daring.
Rata-rata, oplah per hari The Independent 56.074 eksemplar pada Desember 2015. Padahal, pada masa-masa awal berdirinya tahun 1986, oplah The Independent pernah mencapai puncaknya, yakni 428.000 eksemplar per hari.
Kini, surat kabar ini bahkan hanya mampu menjual sekitar 28.000 eksemplar per hari pada hari kerja. Jumlah tersebut jauh di bawah penjualan surat kabar nasional lainnya di Inggris. Harian The Sun, misalnya, meraup oplah 180.000 eksemplar dan The Guardian mencapai 166.000 eksemplar.
Di tengah ambruknya bisnis media cetaknya, The Independent berhasil menguasai ruang digital. Laman independent.co.uk berhasil menarik minat pembaca internet. Saat ini, jumlah pengunjung laman independent.co.uk tak kurang dari 70 juta pengunjung, meningkat sebesar 33,3 persen di bandingkan tahun sebelumnya.
Terobosan surat kabar
Upaya mempertahankan bisnis surat kabar terus dilakukan dengan berbagai terobosan. Strategi konten digital berbayar acap kali harus berhadapan dengan konten digital gratis yang bertebaran di dunia digital.
Surat kabar di era serba digital ini dihadapkan pada beberapa tantangan: menyajikan konten bermutu di tengah-tengah miliaran informasi yang bertebaran, mempertahankan dan meningkatkan jumlah pembaca, serta mampu mempertahankan kelangsungan bisnisnya.
Fenomena industri media cetak yang terjadi di India dan Jepang menunjukkan bahwa industri surat kabar masih mampu menunjukkan taringnya di tengah perubahan perilaku bermedia masyarakat.
Saat ini, saluran untuk menyebarkan konten tidak hanya terpaku pada web atau portal resmi organisasi pemberitaan, tetapi media sosial juga turut menjadi pemantik yang akan mengarahkan pembaca ke portal utama.
Surat kabar bisa memanfaatkan media sosial untuk menyebarluaskan kontennya atau sekadar mengarahkan khalayak media sosial tertarik untuk membaca berita di portal utamanya. Fenomena industri media cetak yang terjadi di India dan Jepang menunjukkan bahwa industri surat kabar masih mampu menunjukkan taringnya di tengah perubahan perilaku bermedia masyarakat.
Surat kabar edisi cetak seharusnya masih bisa bertahan bersamaan tumbuhnya surat kabar versi digital. Upaya memenuhi kebutuhan pembaca digital menjadi keniscayaan agar perusahaan media bisa tetap bertahan.
Meski demikian, konsumen informasi, baik di platform cetak maupun digital, memiliki ceruk pembaca yang beririsan. Pada akhirnya, surat kabar dituntut untuk terus meningkatkan jumlah pembaca dan pendapatan iklan di kedua platform yang masing-masing memiliki karakter pembaca dan pengiklan yang khas. (LITBANG KOMPAS)