Meneropong Dua Sisi Pedang KPK
Upaya DPR mendelegitimasikan kelembagaan KPK terus berlanjut. Melalui Panitia Angket DPR, celah kelemahan lembaga antirasuah itu terus-menerus dieksploitasi sebagai alasan mendekonstruksi pamor positif yang tersemat.
Pemerintah sejauh ini cenderung bersikap normatif. Presiden dalam sikapnya sebatas menyatakan tidak ingin KPK dilemahkan.
Di tengah arus pelemahan KPK tersebut, patut diketahui, mengapa kali ini DPR sedemikian reaktif bertindak? Bagaimana pula dengan pemerintah? Haruskah ikut bertindak dalam penyelamatan atau justru mendukung pelemahan KPK?
Dalam kasus-kasus penegakan hukum yang terjadi selama ini, relasi triangular lembaga Kepresidenan-DPR-KPK tidak selalu berjalan mulus. Pasalnya, komisi antikorupsi itu dalam kiprahnya tampak dominan, tampil bagaikan pedang tajam bermata dua.
Di satu sisi, ia mampu mendelegitimasikan eksistensi kelembagaan negara lainnya. Kasus-kasus penegakan hukum KPK yang melibatkan aparat kelembagaan negara selama ini secara langsung mencoreng kedudukan dan citra kelembagaan negara tersebut.
Sementara pada saat lain, KPK pun mampu melegitimasikan eksistensi kelembagaan negara lainnya, khususnya citra kelembagaan negara yang terkait dengan kinerja penegakan hukumnya. Dua peran yang disandangnya itu menjadikan KPK pusat dari relasi triangular yang terbentuk.
Pola relasi yang sangat tersentralisasi pada peran KPK semacam ini jelas menjadi pemicu ketidaksukaan bagi lembaga negara lain sebagai pihak yang kerap terugikan.
Alasan semacam ini pula yang dapat dibaca dalam mencermati perilaku politik DPR saat ini melalui penggunaan hak angket terkait KPK. Dalam hal ini, upaya penggunaan hak angket dapat dimaknai sebagai langkah mendekonstruksi tatanan relasional yang dinilai tidak simetris tersebut.
Cerminan dua sisi pedang penegakan hukum yang disandang KPK dalam kaitannya dengan eksistensi kelembagaan negara Kepresidenan dan DPR tersebut juga tertanam dalam benak publik selama ini.
Dalam perspektif publik, upaya penegakan hukum menjadi kunci penting dalam menilai keberhasilan ataupun kegagalan jalannya kehidupan bernegara. Terkait dengan hal demikian, tidak dapat disangkal jika KPK selama ini ditempatkan sebagai aktor penegakan hukum yang sangat prestise.
Penilaian dari sisi citra kelembagaan, misalnya, KPK selalu dipandang positif selama ini. Bahkan, oleh publik belakangan ini tren apresiasi menjadi semakin positif. Akan tetapi, di sisi lain, terdapat dua pemandangan yang berbeda terhadap penilaian publik pada kinerja kelembagaan Kepresidenan dan DPR.
Di satu sisi, kelembagaan Kepresiden yang dalam hal ini terepresentasikan pada citra kabinet pemerintahan juga cenderung dinilai positif oleh publik. Khusus dalam penegakan hukum, kinerja kabinet pemerintahan cenderung meningkat.
Sayangnya, kondisi tersebut tidak terjadi pada DPR. Citra kelembagaan DPR justru dinilai negatif. Bahkan, tren apresiasi publik terhadap lembaga yang justru merupakan representasi rakyat tersebut semakin rendah dari waktu ke waktu.
Apa yang dapat dimaknai dari informasi itu? Berdasarkan pembacaan atas grafik perkembangan apresiasi yang diekspresikan publik selama ini, dapat ditelusuri adanya hubungan yang signifikan di antara pencapaian kinerja ketiga institusi tersebut.
Jika dipetakan, hubungan yang tampak positif terjadi di antara lembaga Kepresidenan dan KPK. Dalam hal ini, tinggi rendahnya penilaian publik terhadap kinerja Kepresidenan berkorelasi dengan tinggi rendahnya penilaian mereka terhadap citra kelembagaan KPK.
Begitupun jika dielaborasi secara spesifik terhadap kinerja penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah. Dapat dikatakan, semakin tinggi skor kepuasan yang dinyatakan publik terhadap citra kinerja KPK, maka semakin tinggi pula apresiasi publik yang mereka nyatakan terhadap kinerja penegakan hukum yang dilakukan pemerintah.
Pola hubungan antara penilaian publik terhadap kinerja penegakan hukum kabinet pemerintahan dan KPK yang terpetakan semacam ini tampak searah (berbanding lurus) dan bersifat positif.
Hanya, pola relasi tersebut masih belum mampu menggambarkan secara jelas siapakah yang memiliki kontribusi terbesar sehingga publik menilai positif upaya penegakan hukum di negeri ini. Apakah apresiasi tinggi publik disebabkan oleh kinerja kabinet dalam penegakan hukum ataukah justru akibat kontribusi KPK selama ini?
Apakah apresiasi tinggi publik disebabkan oleh kinerja kabinet dalam penegakan hukum ataukah justru akibat kontribusi KPK?
Faktor pengaruh
Berbagai pencermatan coba dilakukan dalam memahami pola relasi yang terbentuk. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa dari berbagai aspek penegakan hukum yang dilakukan oleh kabinet pemerintahan saat ini, kasus-kasus yang terkait dengan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat diapresiasi publik, selain pemberantasan kasus kriminalitas dan narkoba.
Penelusuran lebih jauh, dengan menggunakan analisis faktor, didapati bahwa indikator kinerja ”upaya pemberantasan suap” menjadi kinerja paling signifikan yang menjadi rujukan publik.
Sekalipun aspek penegakan hukum lainnya—seperti penuntasan kasus-kasus kriminalitas dan narkoba, penuntasan kasus HAM, dan pemberian jaminan perlakuan hukum yang sama—dinilai publik juga memuaskan, pemberantasan suap menjadi faktor yang terbesar perannya.
Berdasarkan analisis di atas, mengindikasikan kedua indikator, baik pemberantasan suap dan jual beli kasus serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, tersebut menjadi dasar bagi apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah dalam penegakan hukum.
Terkait dengan kinerja pemberantasan suap dan pemberantasan KKN itu, yang menjadi pertanyaan, bukankah KPK yang memegang peran dalam penanganan kasus-kasus semacam ini?
Berbagai operasi tangkap tangan yang berkali-kali dilakukan KPK terhadap para petinggi negeri selama ini menunjukkan bagaimana lembaga antikorupsi yang dilahirkan era Reformasi ini tidak pandang bulu dalam bertindak. Terhadap kiprah semacam ini pun, publik memberikan apresiasi yang tinggi terhadap KPK.
Apabila ditelusuri pola hubungan kausalitas yang terbentuk, hasil analisis regresi menunjukkan bahwa memang kinerja KPK yang berperan sebagai pendeterminasi penilaian positif publik terhadap kinerja penegakan hukum pemerintah.
Dengan demikian, hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa kinerja KPK yang mendongkrak kinerja penegakan hukum kabinet pemerintahan dibandingkan kondisi sebaliknya. Dengan perkataan lain, pemerintah diuntungkan oleh kinerja KPK. Pedang penegakan hukum KPK melegitimasikan pamor kabinet saat ini.
Pedang penegakan hukum KPK melegitimasikan pamor kabinet saat ini.
Kondisi positif di atas sayangnya tidak berlaku terhadap DPR. Malah, relasi yang terbentuk di antara DPR dan KPK justru semakin bertolak belakang. Berdasarkan hasil survei opini publik, semenjak Oktober 2015 hingga kini, peningkatan apresiasi terhadap KPK terjadi justru bersamaan dengan tren penurunan apresiasi mereka terhadap DPR.
Demikian juga jika dikaji lebih jauh terhadap pola hubungan kausalitas yang terbentuk pada keduanya yang menunjukkan bagaimana surplus dukungan terhadap KPK terjadi justru menyurutkan pandangan positif publik terhadap eksistensi DPR. Dalam pola hubungan demikian, pedang penegakan hukum KPK terlihat mendelegitimasikan DPR.
Persoalan-persoalan yang merefleksikan hubungan di antara kedua lembaga tersebut menjadi relevan jika dikaitkan dengan kemunculan hak angket DPR terkait KPK, yang dapat dicermati sebagai upaya kesekian kali DPR mencoba melumpuhkan peran KPK.
Membaca pola relasi yang selama ini terbentuk, jelas kemunculan hak angket KPK itu semakin memperlebar jurang penilaian publik antara lembaga DPR dan KPK. Di balik ketegangan keduanya, pemerintah, yang kerap diuntungkan dari kinerja KPK, akankah membiarkannya? (LITBANG KOMPAS)