Indikasi Positif dari Indeks Kebebasan Ekonomi Indonesia
Di tengah riuhnya situasi politik Indonesia, kabar gembira berembus dari bidang ekonomi. Tahun ini, situasi ekonomi di negeri ini masuk dalam level ”cukup bebas” dan dinilai lebih longgar dibandingkan kondisi ekonomi dunia pada umumnya.
Pertama kalinya sejak tahun 2000, indeks kebebasan ekonomi Indonesia bisa melebihi skor dunia. Indonesia masuk dalam pengamatan sejak Heritage Foundation (HF) yang mengawali penyusunan indeks yang terentang dari angka 0 hingga angka tertinggi, yakni skor 100.
Semakin tinggi nilai menunjukkan kondisi kebebasan ekonomi yang membaik. Lembaga HF yang berkedudukan di Washington DC, Amerika Serikat, memang secara konsisten menyusun indeks kebebasan ekonomi sejak 1995 untuk menangkap dinamika kebebasan ekonomi di sejumlah negara.
Upaya yang menerus ini didasari pandangan bahwa kebebasan, termasuk kebebasan dalam lingkup ekonomi, menjadi elemen penting untuk menyejahterakan masyarakat.
Sebenarnya tak hanya HF yang telah berupaya menghadirkan indeks seperti ini. Namun, insitusi inilah yang setiap tahun menerbitkan indeks kebebasan ekonomi yang memiliki cakupan luas sejak awal dan kini telah mencakup 186 negara.
Lembaga lain, Fraser Institute, yang juga menyusun indeks semacam ini, tak bisa menyediakan data dari negara dalam jumlah yang sama.
Independensi yang dibicarakan dalam indeks kebebasan di sini bukan terbatas tentang bagaimana konflik antara otonomi warga dan kontrol dari negara. Karena bagaimanapun, tindakan pemerintah tetap diperlukan untuk menjaga kedamaian di masyarakat.
Sudut pandang yang digunakan adalah kebebasan ekonomi dalam arti positif, yakni akan medorong munculnya aksi saling menguntungkan bagi semua orang.
Menurut HF, kebebasan ekonomi punya andil besar dalam pencapaian kesejahteraan setiap warga dan masyarakat secara luas. Alasannya sederhana, setiap orang paling tahu bagaimana cara terbaik meraih impiannya.
Kebebasan ekonomi punya andil besar dalam pencapaian kesejahteraan setiap warga dan masyarakat secara luas.
Dalam skala yang lebih luas, negara dengan kebebasan ekonomi yang tinggi akan mampu memanfaatkan secara optimal dan lengkap semua kemampuan dan menggunakan akumulasi pengetahuan di masyarakat. Kekebasaan ekonomi pada akhirnya dapat memberdayakan warga dan pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.
Untuk menilai kelonggaran dalam ekonomi, ada empat hal yang diamati oleh institusi asal Benua Amerika ini. Aturan hukum, kemampuan pemerintah dalam hal keuangan, efisiensi regulasi, dan keterbukaan pasar menjadi dasar bagi penilaian kebebasan.
Meski sudah diluncurkan lebih dari dua dekade, indeks ini kurang populer, misalkan dibandingkan Indeks Daya Saing Global terbitan Forum Ekonomi Dunia ataupun Indeks Kemudahan Berbisnis milik Bank Dunia. Padahal, indikator ini boleh dikatakan luar biasa.
Seorang ekonom mengatakan bahwa kebebasan ekonomi menyangkut multidimensi sehingga pengukurannya sulit, bahkan bisa dikatakan mustahil. Oleh sebab itu, penyusunan indeks yang menyediakan indikator yang komprehensif ini adalah langkah berani dan hasil dari upaya yang sangat besar.
Sejauh ini, indeks ini lebih populer di kalangan akademisi. Padahal, dengan luasnya cakupan, menurut ekonom Heckelman dan Stroup, indeks kebebasan ekonomi bisa sangat bermanfaat bagi pembuat kebijakan.
Dengan mengetahui hubungan antara kebebasan dan pertumbuhan ekonomi serta mendalami indikator, bisa disusun kebijakan untuk mendorong independensi di area-area yang diperlukan. Selain pembuat kebijakan, indeks ini juga bisa digunakan oleh wartawan, guru, murid, dan pelaku bisnis, keuangan, serta advokasi.
Naik kelas menuju ”cukup bebas”
Pada tahun 1995, indeks kebebasan ekonomi negeri ini hanya 54,9. Dengan nilai yang berada dalam rentang 50 hingga 60, perekonomian Indonesia bisa dikatakan berada dalam situasi ”sebagian besar tidak bebas”.
Selanjutnya, keleluasaan ekonomi Indonesia sempat mengalami perbaikan dan terus naik hingga mencapai skor 63,4 pada 1998. Saat skor Indonesia melebihi angka 60, ekonomi Indonesia berada dalam kondisi ”cukup bebas”.
Seiring dengan krisis ekonomi dan pergolakan politik di negeri ini dan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, kelonggaran ekonomi negeri ini kemudian justru sempat turun dan berfluktuasi. Skor Indonesia pernah sampai 51,9 pada 2006 yang artinya dekat sekali dengan situasi ekonomi ”tertekan”.
Tahun 2017 Indonesia berhasil melampaui nilai indeks kebebasan ekonomi di tingkat regional Asia dan dunia.
Setelah itu, perlahan situasi membaik hingga pada 2017 berhasil melampaui nilai indeks kebebasan ekonomi di tingkat regional Asia dan dunia. Tahun ini, skor Indonesia mencapai 61,9, sementara skor dunia mencapai 60,9. Indeks kebebasan di tingkat Asia hanya 60,3.
Dengan nilai ini, Indonesia dapat kembali menyandang status cukup bebas, status yang dilepas pada akhir 1990-an. Jika dibandingkan dengan 186 negara yang dinilai, Indonesia menduduki posisi ke-84.
Perbaikan di Indonesia
Menurut HF, cukup banyak perbaikan di negeri ini. Pemberantasan korupsi terus diupayakan. Meski kadang ada ganjalan, operasi tangkap tangan pelaku korupsi dan suap terus dilakukan. Manajemen keuangan publik pun dinilai kian membaik.
Subsidi bahan bakar yang berhasil dipotong dengan signifikan telah meringankan beban defisit fiskal. Bahkan, menurut laporan HF, IMF memuji kebijakan reformasi subsidi bahan bakar yang disebut sangat sukses pada 2016. Reformasi subsidi ini akan dijadikan model bagi negara lain.
Di sisi lain, iklim usaha memulih, yang dianggap menjadi buah dari perbaikan dan efisiensi regulasi. Hambatan-hambatan yang menjadi kendala masuknya investasi asing juga diminimalkan. Aneka usaha inilah yang kemudian mendorong situasi ekonomi Indonesia membaik sekaligus bisa naik kelas ke kategori ekonomi ”cukup bebas”.
Jika dibandingkan dengan tahun lalu, kemampuan pemerintah mengelola keuangan negara menjadi motor pendorong utama peningkatan kebebasan ekonomi. Menurut catatan HF, tarif pajak perusahaan teratas di negeri ini adalah 25 persen. Pajak lainnya termasuk pajak pertambahan nilai dan pajak properti. Beban pajak keseluruhan sama dengan 10,9 persen dari total pendapatan domestik.
Belanja pemerintah telah mencapai 18,4 persen dari total output (PDB) selama tiga tahun terakhir dan defisit anggaran rata-rata mencapai 2,3 persen dari PDB. Utang publik setara dengan 27,3 persen dari PDB. Elemen-elemen yang menggambarkan kapasitas Pemerintah Indonesia melebihi skor rata-rata global. Nilai sektor ini umumnya di atas 80. Bahkan, untuk kesehatan fiskal, nilai Indonesia mencapai 90,1.
Kebebasan ekonomi global
Meski polanya tidak benar-benar mirip, kemajuan dalam konteks kebebasan ekonomi di Indonesia ternyata selaras dengan semakin bebasnya ekonomi global. Pada 1995, indeks kebebasan dunia hanya 57,6 atau boleh dikatakan ”sebagian besar tertekan”.
Tahun 2017, ekonomi dunia sudah semakin bebas, dengan skor 60,9 dan berpindah kelas menjadi ”bebas sebagian”. Artinya, sejak indeks diperkenalkan, kebebasan ekonomi global meningkat rata-rata sebesar 0,2 poin setiap tahunnya.
Dari 186 negara yang dinilai, hanya ada lima negara ekonominya bisa masuk dalam kategori ”bebas”. Kelima negara yang berhasil mencapai skor lebih dari 80 ini adalah Hongkong, Singapura, Selandia Baru, Swiss, dan Australia.
Sementara itu, negara populer seperti Amerika Serikat hanya menduduki ranking ke-17 dengan nilai 75,1. Mesin ekonomi dunia, yakni China, ternyata hanya menduduki ranking ke-111 dengan skor 57,4, masih di bawah Indonesia dan nilai global.
Tertinggal di kawasan ASEAN
Walau sudah naik kelas, kebebasan ekonomi Indonesia ada di urutan enam di antara negara ASEAN. Meski terletak di satu kawasan, keleluasaan ekonomi di dalam negara-negara yang saling bertetangga ini bisa sangat berjarak.
Urutan pertama diduduki oleh Singapura, yang juga memiliki skor terbaik kedua di dunia, disusul oleh Malaysia, Brunei, Thailand, dan Filipina. Setelah itu baru Indonesia dan empat negara ASEAN lainnya.
Namun, jika kita lihat dalam kerangka waktu yang lebih panjang, langkah Indonesia menuju ekonomi yang lebih berdikari ternyata masuk dalam tiga besar di kawasan ini. Skor indeks kebebasan ekonomi Indonesia tumbuh 12,14 persen untuk periode 2000 hingga 2017, berada di bawah Laos dan Vietnam.
Di antara 10 negara anggota ASEAN, indeks Laos ternyata tumbuh paling tinggi. Pada 2000, ekonomi negara ini berada di status ”tertekan” dengan nilai 36,8 dan 17 tahun kemudian statusnya berubah menjadi 54,1 dengan status ”sebagian besar tertekan”. Skor negera ini naik lebih dari 40 persen.
Di urutan kedua terdapat Vietnam dengan skor 43,7 pada tahun 2000 dan naik hampir 20 persen menjadi 52,44. Dari status, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang pada 2017 sudah masuk dalam kategori ”cukup bebas” dibandingkan dua negara lainnya.
Dibandingkan dengan skor rata-rata di kawasan ini, Indonesia ternyata cukup unggul di bidang integritas pemerintah, pengeluaran pemerintah, dan kesehatan fiskal. Tingkat kebebasan finansial bagi warga Indonesia juga ternyata lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN pada umumnya.
Indonesia cukup unggul di bidang integritas pemerintah, pengeluaran pemerintah, dan kesehatan fiskal.
Tak selalu selaras
Peningkatan kebebasan ekonomi diyakini bisa memberdayakan masyarakat dan mendorong kebebasan di bidang lainnya sehingga pada akhirnya mampu meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Namun, sayangnya iklim ekonomi yang kian bebas tidak selalu bisa meniup pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Misalkan pada periode 2010 hingga kini. Sejak 2010, ketika skor kebebasan ekonomi negeri ini secara menerus naik perlahan, pertumbuhan ekonomi justru fluktuatif. Bisa jadi, ada faktor lain di luar indikator kebebasan ekonomi yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi kala itu, misalnya kondisi global.
Selain itu, sifat ataupun keunikan suatu negara menyebabkan hubungan antara kelonggaran dan pertumbuhan berbeda dengan negara lain. Mulai 2015, baru pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa sebangun dengan kebebasan ekonomi yang kian tinggi.
Ke depan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan agar iklim kebebasan bisa efektif mendorong pertumbuhan ekonomi negeri ini. Pemberantasan korupsi harus terus dijalankan. Demikian pula dengan penegakan hukum.
Penegakan aturan tak semata untuk keadilan, tetapi juga berdampak pada membaiknya iklim investasi yang pada akhirnya dapat membuka lapangan kerja. Seperti yang dikatakan oleh Fuat Erdal, ekonom asal Italia dalam kajiannya, butuh jalan panjang untuk menggenggam kebebasan ekonomi. (Ratna Sri Widyastuti/Litbang Kompas)