Ancaman Sampah Plastik di Laut Kita
World Ocean Day atau Hari Laut Dunia jatuh pada 8 Juni setiap tahun. World Ocean Day secara tidak resmi sudah diperingati sejak 1992. Baru pada 2008 PBB menetapkan hari laut secara resmi.
Tema besar peringatan World Ocean Day (WOD) tahun ini adalah ”Our Oceans, Our Future”, yang fokus pada pencegahan polusi plastik dan sampah di laut. Bersamaan dengan peringatan WOD tahun ini, diselenggarakan pula Konferensi Lautan PBB di New York yang memantapkan tujuan menggiatkan konservasi dan pelestarian lautan.
Bukan tanpa alasan peringatan WOD 2017 menitikberatkan pada pencegahan polusi plastik dan sampah di lautan. Dalam laporan Ocean Atlas 2017 (publikasi Heinrich Böll Foundation dan University of Kiel’s Future Ocean Cluster of Excellence, Jerman) disebutkan lautan di seluruh dunia berada dalam tahap krisis.
Perlakuan terhadap laut sangat buruk. Di satu sisi, manusia mengeruk lebih dari apa yang disediakan oleh laut. Di sisi lain, menjadikan laut sebagai tempat buangan sampah apa pun yang diproduksi di darat. Akibatnya, ekosistem laut menjadi rusak.
Perlakuan terhadap laut sangat buruk.
Sampah yang masuk ke laut bermacam-macam. Ada yang berupa bahan-bahan kimia, mesiu, dan bahan baja berat buangan dari industri, penambangan, atau sisa perang. Ada sampah plastik ukuran makro ataupun mikro. Ada pula tumpahan minyak, baik karena faktor kebocoran, kecelakaan kerja, maupun kesengajaan.
Terkait sampah plastik, hanya 20 persen dari sampah plastik yang berada di laut diproduksi dari laut sendiri. Sementara porsi terbesar yang 80 persen merupakan sampah plastik yang diproduksi di darat. Umumnya sampah plastik itu berasal dari negara-negara yang buruk dalam pengelolaan sampahnya.
Sekali sampah plastik masuk ke laut, tidak ada cara apa pun yang dapat dilakukan untuk mengeluarkannya atau membersihkannya dari laut. Hal itu disebabkan kebanyakan sampah plastik di laut berubah menjadi mikroplastik, plastik yang berukuran sangat kecil (kurang dari 5 milimeter) yang langsung menyatu dengan air.
Laut mencerna sampah
Laut membutuhkan waktu yang berbeda-beda dalam mengurai atau mencerna sampah. Ada yang dalam beberapa bulan saja sampah bisa dicerna laut, tetapi ada juga yang membutuhkan puluhan bahkan ratusan tahun untuk dicerna.
Sampah berupa kertas tisu termasuk yang paling cepat dicerna laut, hanya membutuhkan waktu sekitar satu bulan. Laut membutuhkan waktu 2 bulan untuk mencerna kulit buah, 3 bulan untuk mencerna kotak makanan, dan 5 bulan untuk mengurai bungkus rokok.
Laut membutuhkan waktu lebih lama untuk mencerna kayu yang dicat, yaitu 20 tahun. Sementara sampah berbahan dasar kaleng memerlukan waktu 50 tahun. Untuk sampah bahan plastik berupa tas keresek saja dibutuhkan waktu 400 tahun.
Untuk mencerna sandal dan botol plastik lebih lama lagi, yaitu 500 tahun. Sementara sampah berupa botol dan gelas kaca belum diketahui berapa lama bisa dicerna laut.
Ada banyak cara yang menyebabkan siklus plastik berakhir di lautan. Jika dirunut, semuanya bersumber dari perilaku manusia yang tidak terkontrol. Pengelolaan sampah yang buruk dan ketiadaan sistem daur ulang sampah menjadi penyebab utama.
Jika dirunut, semuanya bersumber dari perilaku manusia yang tidak terkontrol.
Sampah plastik yang berasal dari rumah tangga dan industri banyak yang masuk ke sungai dan mengalir ke laut tanpa pengolahan. Sementara ada juga mikroplastik yang terdapat dalam produk kosmetik tidak terfilter oleh air sehingga juga mudah terbawa sampai ke laut. Belum lagi adanya sampah ilegal yang sengaja dibuang ke laut. Juga barang-barang buangan dari kapal yang beraktivitas di laut.
Namun, terdapat pula kondisi sampah plastik berakhir di lautan tanpa unsur kesengajaan, seperti jaring atau jala penangkap ikan yang hilang atau hanyut di laut. Begitu pula pada banyak kejadian bencana alam yang menyebabkan sampah terbawa ke laut, seperti tersapu badai, terbawa banjir bandang, bahkan terseret tsunami.
Sampah plastik di Indonesia
Dalam hal pengelolaan sampah plastik, Indonesia merupakan negara terburuk kedua setelah China menurut laporan Ocean Atlas 2017. Dalam setahun, Indonesia memproduksi sampah plastik yang tak terkelola dengan baik sebanyak 3,22 juta metrik ton. Dari jumlah tersebut, diperkirakan sebanyak 0,48 juta metrik ton hingga 1,29 juta metrik ton terbuang ke laut.
Rekor Indonesia ini hanya dikalahkan oleh China. China memproduksi sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik sebanyak 8,82 juta metrik ton setahun. Dari jumlah tersebut, diperkirakan sebanyak 1,32 juta metrik ton hingga 3,53 juta metrik ton berakhir di laut.
Amerika Serikat termasuk yang cukup baik dalam mengelola sampah plastiknya. Dari 20 negara yang dikaji, AS menempati urutan terakhir soal pengelolaan sampah plastik yang buruk. Artinya, pengelolaan sampah plastik di AS sudah lebih baik.
Produksi sampah plastik AS yang dianggap dikelola dengan buruk hanya 0,28 juta metrik ton per tahun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 0,04 juta metrik ton hingga 0,11 juta metrik ton menyumbang ke laut.
Wilayah perairan laut di Indonesia semakin tercemari sampah plastik. Riset yang dilakukan Noir Primadona Putra dari Departemen Kelautan Universitas Padjadjaran menunjukkan tingginya volume sampah di sekitar Pulau Biawak, Indramayu, Jawa Barat (Kompas, 9/6/2017).
Volume sampah yang dikumpulkan mencapai 68 kilogram dari garis pantai sepanjang 655 meter. Sebagian besar dari sampah tersebut berupa busa styrofoam dan plastik. Volume sampah mikroplastik mencapai 0,08 per 1 kilogram.
Selain itu, penelitian di 46 lokasi lain di Laut Jawa, di sekitar Kepulauan Seribu dan perairan Banten, juga ditemukan tingkat pencemaran plastik yang tinggi. Pencemaran sampah plastik, baik ukuran makro maupun mikro, juga ditemukan di belahan perairan Indonesia lainnya, seperti Selat Bali, Selat Makassar, perairan Bunaken, bahkan Laut Banda.
Pencemaran sampah plastik ini sudah dalam tingkat mengkhawatirkan, terutama untuk jenis sampah mikroplastik. Sampah mikroplastik bersifat karsinogen yang masuk ke rantai makanan di laut dan bisa masuk ke tubuh manusia melalui konsumsi ikan yang tercemar.
Stop sampah plastik
Oleh karena sumber sampah plastik terbesar berasal dari daratan, penanganan terbaik mesti dimulai di darat. Hal itu terkait dengan perilaku mengonsumsi bahan berdasar plastik. Kita dapat mengurangi pemakaian plastik atau menolak pemakaian mikroplastik yang terdapat di dalam kosmetik.
Mengurangi konsumsi plastik harus diikuti dengan mengurangi membuang sampah ke sungai dan aliran air yang bermuara ke laut. Pengolahan sampah plastik harus dilakukan dengan baik. Dan, yang paling utama adalah melakukan daur ekonomi yang bisa mengurangi produksi plastik baru.
Tentunya, semua langkah ini membutuhkan kemauan politik yang kuat yang terimplementasikan dalam kebijakan pemerintah. Pemerintah tidak cukup hanya berkampanye makan ikan hasil laut, tetapi juga perlu menjamin ikan yang dikonsumsi sehat bagi tubuh. Bebas dari bahan karsinogen.
Oleh karena itu, kampanye ”Stop Sampah Plastik” menjadi relevan dan juga harus digalakkan untuk menyelamatkan laut kita. Menyelamatkan laut berarti menyelamatkan masa depan. (LITBANG KOMPAS)