Mengulang Cerita tentang Pemindahan Ibu Kota
Wacana pemindahan ibu kota negara Indonesia bukanlah hal baru. Rencana ini pernah muncul sejak saat pemerintahan Presiden Soekarno dan terus timbul-tenggelam pada masa pemerintahan selanjutnya.
Menurunnya daya dukung lingkungan Jakarta, kepadatan dan kemacetan lalu lintas, serta beragam problem sosial membuat ide memindahkan ibu kota kembali mencuat.
Wilayah Palangkaraya menjadi pilihan Presiden Soekarno untuk memindahkan ibu kota Indonesia. Dari bentangan pulau-pulau dari barat (Sabang) hingga timur (Maluku), Palangkaraya dinilai paling tepat karena berada di tengah-tengah wilayah Indonesia.
Tahun 1950-an, Palangkaraya hanya sebuah kampung kecil bernama Pahandut dengan jumlah penduduk sekitar 900 jiwa. Geliat pembangunan ekonomi jelas masih sangat kecil dan belum meng-”kota”. Tetapi, bayangan Soekarno tentang nasionalisme sudah kuat di benak sang Fajar.
Saat itu, pemindahan ibu kota ke luar Jakarta dinilai perlu karena Presiden Soekarno mengharapkan Indonesia memiliki ibu kota yang dibangun oleh anak bangsa sendiri. Jakarta yang telah dikukuhkan menjadi ibu kota pasca-kemerdekaan merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang dirancang oleh Belanda (Batavia).
Selain itu, Soekarno juga ingin membagi beban Jakarta yang mulai padat penduduk karena faktor migrasi. Beban tersebut akan dibagi ke wilayah lain, yakni Palangkaraya, yang merupakan wajah kota baru lain di Indonesia.
Kemudian, pada Juli 1957, Presiden Soekarno mengunjungi kampung tersebut menggunakan perahu. Setelah dua kali berkunjung ke bagian tengah Kalimantan itu, Presiden Soekarno memutuskan menjadikan kampung di aliran Sungai Kahayan tersebut menjadi ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, yang merupakan pecahan Provinsi Kalimantan Selatan.
Jakarta yang menjadi ibu kota merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang dirancang oleh Belanda (Batavia).
Tak hanya itu, melihat wilayah Palangkaraya yang masih luas dan minim potensi bencana alam gempa bumi, Soekarno saat itu juga menginginkan Palangkaraya bisa menjadi ibu kota negara baru. Sejak itu, kawasan yang kosong tersebut mulai ditata ruangnya menjadi sebuah kota baru.
Namun, rencana pemindahan tersebut kemudian urung dilaksanakan. Perekonomian Indonesia pada era sepuluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan dinilai masih belum stabil untuk mewujudkan rencana sebesar itu. Rencana pemindahan ibu kota pun mengendap.
Era Orde Baru
Pada era Orde Baru, wacana pemindahan ibu kota kembali bergulir pada tahun 1980. Saat itu, Presiden Soeharto menyuarakan Kecamatan Jonggol di Kabupaten Bogor dipilih menjadi calon lokasi pusat pemerintahan baru.
Penyebab wacana pemindahan pun relatif sama dengan saat ini, yaitu soal kepadatan wilayah, problem sosial, kemacetan, dan daya dukung lingkungan. Wilayah Jonggol dipilih karena hanya berjarak 40 kilometer dari Jakarta, relatif masih kosong, cuaca cukup sejuk, dan bebas dari bencana banjir.
Namun, lagi-lagi wacana pemindahan ibu kota tersebut menguap seiring dengan berakhirnya era Orde Baru. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebutkan, biaya untuk pemindahan ibu kota ke Jonggol membutuhkan anggaran sekitar Rp 100 triliun.
Rencana pemindahan ibu kota Jakarta kembali muncul pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ide tersebut kembali timbul setelah banjir besar melanda selama sepekan pada tahun 2007.
Wacana pemindahan ibu kota tersebut menguap seiring dengan berakhirnya era Orde Baru.
Saat itu, hampir seluruh jalan di Jakarta terendam air dan perdagangan serta transportasi lumpuh.
Presiden SBY menggulirkan tiga skenario. Pertama, mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota, pusat pemerintahan, ekonomi, dan perdagangan.
Konsekuensinya harus ada pembenahan total pada persoalan macet, banjir, transportasi, permukiman, dan tata ruang. Langkah konkret tersebut terwujud dari ”17 Langkah Mengatasi Kemacetan Jakarta” yang akan dilaksanakan oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pimpinan Kuntoro Mangkusubroto.
Langkah mengatasi kemacetan tersebut antara lain penerapan electronic road pricing (ERP) atau sistem jalan berbayar, sterilisasi dan penambahan jalur transjakarta, perbaikan jalan, kebijakan perparkiran, perbaikan pengelolaan angkutan kereta, hingga peninjauan penggunaan kendaraan kecil bagi angkutan transportasi.
Skenario kedua, membangun ibu kota yang benar-benar baru di wilayah lain. Adapun skenario ketiga, ibu kota tetap di Jakarta, tetapi memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi lain. Ada berbagai pilihan kota, antara lain Jonggol, Purwokerto, Yogyakarta, atau Malang.
Selain ketiga skenario tersebut, pada kesempatan lain Presiden SBY menginginkan perluasan cakupan Jakarta sebagai ibu kota menjadi ”Greater Jakarta” hingga Sukabumi dan Purwakarta.
Pemerintahan SBY pernah membentuk Tim Visi Indonesia 2033 yang tugasnya mengkaji wacana pemindahan ibu kota. Dalam kajian tersebut, pemindahan ibu kota ke Kalimantan akan memakan biaya hingga Rp 100 triliun yang akan dikeluarkan bertahap selama 10 tahun.
Biaya tersebut merupakan investasi bangsa yang akan menghasilkan keuntungan berlipat-lipat dalam jangka panjang, untuk masa depan Indonesia. Ibu kota yang baru akan menambah daya tarik Indonesia di mata dunia internasional, yang akan mendatangkan nilai devisa bagi negara melalui aliran investasi ataupun wisatawan.
Meski Presiden Yudhoyono telah membentuk tim pengkajian pada 2010, wacana tersebut tak juga terlaksana.
Dorodjatun dalam seminar ”Dampak, Peluang, Tantangan, dan Harapan Perpindahan Pusat Pemerintahan” menyatakan, kepindahan ibu kota membutuhkan waktu lebih dari lima tahun, bahkan bisa sampai tiga kali pergantian pemimpin, seperti pengalaman negara lain. Kepemimpinan SBY yang telah berakhir pada 2014 akhirnya membuat rencana tersebut tak juga terwujud.
Urgensi pemindahan
Kini, Presiden Joko Widodo kembali mengeluarkan wacana pemindahan ibu kota. Pemindahan tersebut secara konsep hanya berfokus memindahkan pusat pemerintahan, sedangkan pusat perekonomian (perdagangan/jasa) tetap di Jakarta.
Joko Widodo melihat bahwa beban Jakarta sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat industri, perdagangan, dan jasa sangat berat. Demikian pula daya dukung lingkungan dan daya tampung sosial Jakarta semakin menurun.
Adapun sisi daya dukung lahan hampir terlampaui. Pasalnya, dengan luas 662,33 kilometer persegi, ibu kota Indonesia ini dihuni 10.277.000 jiwa. Hal tersebut berarti satu orang hanya mendapat ruang gerak 8 meter x 8 meter atau berjarak 8 meter antarindividu. Keterbatasan ini membuat warga Jakarta tak punya privasi untuk melakukan aktivitas pribadinya.
Banyaknya jumlah penduduk akhirnya juga berpengaruh pada kebutuhan air tanah permukaan untuk berbagai keperluan. Akibatnya, muncul gejala penurunan muka tanah. Apalagi ditambah kondisi wilayah utara Jakarta yang secara alam sudah berada 60 persen di bawah permukaan laut.
Belum lagi ditambah aktivitas pengambilan air tanah berlebihan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air di bangunan vertikal.
Berdasarkan data Bappeda DKI, penurunan muka tanah di Jakarta Utara sudah mencapai 7,5 sentimeter per tahun. Bisa jadi gejala tersebut akan semakin besar jika Pemerintah Provinsi DKI tidak mengatur kembali tata ruang dan menegakkan aturan pengambilan air tanah.
Banjir yang kerap berulang juga menjadi penanda daya dukung lingkungan Jakarta mulai menurun. Berbagai upaya penanggulangan telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi banjir. Namun, banjir masih saja terjadi, terutama di beberapa kawasan yang dilewati sungai.
Banjir tahun 2007 menjadi banjir terbesar di era 2000-an. Saat itu, banjir menggenangi sekitar 68 persen wilayah Jakarta (89 kelurahan) dan berlangsung selama dua minggu. Diperkirakan lebih dari 500.000 keluarga atau sekitar 2 juta penduduk terdampak banjir.
Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi kerugian banjir mencapai Rp 6,7 triliun. Sekitar Rp 2,7 triliun berasal dari kerusakan langsung harta masyarakat dan sekitar Rp 4 triliun akibat dampak tidak langsung pascabanjir.
Satu lagi masalah yang masih menghantui Jakarta, yakni kemacetan. Menurut laporan Castrol’s Magnatec Stop-Start Index (2014), kemacetan di Jakarta mendapat peringkat pertama di dunia! Salah satu penyebab kemacetan ialah banyaknya kendaraan yang beroperasi di jalan Ibu Kota.
Survei Komuter (BPS, 2014) mencatat, kendaraan tersebut 58 persen didominasi oleh sepeda motor dan 13 persen oleh mobil pribadi. Di sisi lain, masyarakat yang menggunakan angkutan umum hanya 28 persen.
Kemacetan sampai kapan pun akan terjadi jika masyarakat tidak mengubah kebiasaan sehari-harinya untuk menggunakan angkutan umum.
Menurut laporan Castrol’s Index (2014), kemacetan di Jakarta mendapat peringkat pertama di dunia.
Meski demikian, sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan sejumlah jurus untuk mengatasi kemacetan, seperti membangun ruas tol baru, flyover atau underground, memperlebar jalan, serta membangun sarana angkutan massal.
Meski daya dukung lingkungan semakin menurun, di sisi lain pertumbuhan ekonomi Jakarta makin tinggi. Ekonomi Jakarta triwulan I tahun 2017 tumbuh rata-rata 6,5 persen per tahun, lebih tinggi dari nasional (5,01 persen per tahun).
Peranan ekonomi Jakarta terhadap PDB nasional pun meningkat dari 15,7 persen (2010) menjadi 17 persen (2015). Bahkan, peredaran uang negara 70 persen terpusat di Jakarta. Tak heran, dengan fakta-fakta ekonomi yang menguat tersebut, akan selalu memancing warga dari daerah lain untuk mengadu nasib di Jakarta.
Melihat kondisi daya dukung lingkungan dan sosial Jakarta yang terus menurun, diperlukan langkah strategis untuk menanganinya. Pemindahan lokasi ibu kota bisa menjadi salah satu pilihan. Namun, tetap diperlukan kajian khusus dan mendalam untuk melaksanakan wacana tersebut. Memindah ibu kota negara Indonesia tak semudah membalik telapak tangan. (LITBANG KOMPAS)