Berbagai Skenario Pemindahan Ibu Kota
Keinginan memindahkan ibu kota Indonesia mencuat kembali pada masa pemerintahan Joko Widodo. Sebelumnya, skenario pemindahan Ibu Kota sudah muncul sejak era pemerintahan Orde Lama oleh Presiden Soekarno.
Saat itu, Presiden Soekarno ingin memindahkan ibu kota dari Jakarta karena alasan sejarah dan nasionalisme, yaitu bahwa Batavia sebagai cikal bakal Jakarta, adalah ibu kota ciptaan kolonial Belanda.
Wacana pemindahan ini kemudian muncul terus pada era pemerintahan Presiden Soeharto hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejumlah nama disebut-sebut sebagai alternatif lokasi, yakni Palangkaraya (Kalimantan Tengah) dan Joglo (Jawa Barat).
Di sisi lain, meski pemindahan itu mendesak dilakukan karena daya dukung Jakarta yang terus menurun, tetap dibutuhkan berbagai kajian mendalam untuk melihat permasalahan dan tantangan yang bakal muncul.
Sejak Presiden Joko Widodo mengeluarkan wacana relokasi ibu kota negara, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah melakukan beberapa kajian yang menghasilkan beberapa skenario pemindahan. Kajian yang dilakukan membutuhkan waktu panjang yang mempertimbangkan sejumlah aspek, yakni politik, pemerintahan, ketersediaan infrastruktur, permukiman, tenaga kerja, serta dampak bagi wilayah di sekitarnya.
Kajian mengenai ”Wacana Pemindahan Ibu Kota” dari Bappenas sebagaimana dipaparkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebutkan sejumlah skenario dari yang paling ideal hingga paling realistis dilakukan.
Beberapa Skenario
Dari pandangan Apindo, skenario yang paling realistis dilakukan adalah mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota yang memikul dua peran sekaligus, yaitu sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis. Ini berarti mempertahankan kondisi saat ini.
Konsekuensinya, harus ada perubahan besar terhadap Jakarta dari masalah perkotaan yang ada. Ini mungkin dilakukan jika ada kerja sama kuat antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Skenario kedua lebih moderat, yakni pusat pemerintahan dipisah dengan ibu kota negara. Dengan demikian, fungsi ibu kota menekankan pada menjalanlan urusan administratif pemerintahan sehari-hari.
Konsep ini berarti Jakarta akan tetap sebagai pusat perdagangan, jasa, dan industri, sedangkan pusat pemerintahan akan dipindahkan ke lokasi baru di luar Jakarta. Hal semacam ini dilakukan Malaysia yang pada 1999 berhasil memindahkan pusat pemerintahan administratif dari Kuala Lumpur ke Putrajaya.
Sementara skenario ketiga bersifat radikal, yakni membangun ibu kota yang benar-benar baru di luar Jakarta, baik dari urusan administratif maupun urusan bisnis. Hal ini bisa berarti membiarkan wilayah Jakarta kembali ”kosong”, baik dari urusan administratif pemerintahan maupun bisnis.
Merunut ke masa lalu, pemindahan ibu kota pernah dilakukan di Batavia pada masa lalu, yakni pada era pemerintahan Kolonial Belanda masa Gubernur Jenderal Daendels. Saat itu lingkungan kota lama Benedenstad (daerah kota tua Fatahillah) kotor dan menjadi endemik malaria.
Pusat pemerintahan Kolonial Belanda kemudian dipindah ke arah selatan, pinggiran kota (Weltevreden-daerah Lapangan Banteng). Akibatnya, kota lama saat itu menjadi kota mati.
Pemindahan ibu kota pernah dilakukan di Batavia pada masa lalu, yakni pada era pemerintahan Kolonial Belanda masa Gubernur Jenderal Daendels.
Alternatif Palangkaraya
Merujuk pada sejumlah skenario, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, merupakan daerah yang banyak disebut sebagai daerah ibu kota administratif yang baru. Pusat perdagangan, industri, dan jasa tetap di Jakarta.
Pemindahan sentra pemerintahan ke ibu kota Kalimantan Tengah tersebut dirasa cukup ideal karena menurut kajian Bappenas tahun 2017 masih ada sekitar 500.000 hektar lahan yang tersebar di Palangkaraya, Kabupaten Katingan, dan Gunung Mas.
Lahan yang cukup luas tersebut akan mudah mewadahi pembangunan fasilitas kementerian dan lembaga serta permukiman PNS. Selain itu, kepindahan pusat pemerintahan ke Palangkaraya, yang diikuti pemindahan sebagian masyarakat, secara tidak langsung akan membangkitkan perekonomian di Palangkaraya dan kabupaten sekitarnya.
Pembangunan sejumlah kantor pemerintahan dan fasilitas pendukungnya seperti permukiman akan meningkatkan lapangan kerja. Belum lagi fasilitas lainnya, seperti pusat perdagangan, jasa, serta hotel/restoran yang harus tersedia untuk mendukung pusat pemerintahan tersebut.
Tak hanya sektor bangunan dan perdagangan/jasa yang meningkat, sektor angkutan dan komunikasi serta keuangan dan jasa juga meningkat.
Tahun 2015, pertumbuhan ekonomi Palangkaraya 7,18 persen dan berada pada urutan kelima setelah Kabupaten Pulang Pisau, Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, dan Kapuas. Harapannya, setelah menjadi ibu kota negara, pertumbuhan ekonominya menjadi nomor satu di Kalimantan Tengah dan menarik perekonomian Kalimantan Tengah.
Kepindahan pusat pemerintahan ke Palangkaraya secara tidak langsung akan mengurangi beban Jakarta, khususnya dari jumlah penduduk yang berpengaruh pada beban arus lalu lintas dan lingkungan. Berdasarkan kajian Bappenas (2017), penghematan dari sisi transportasi saja akan menghemat biaya sekitar Rp 2 triliun.
Tantangan
Namun, tak semudah itu memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Palangkaraya. Setidaknya perlu didukung perencanaan yang matang, termasuk sistem infrastruktur yang terintegrasi untuk mendukung kegiatan pemerintahan di lokasi baru.
Perencanaan yang matang tersebut harus bisa meminimaliasi sejumlah kekurangan yang dimiliki Palangkaraya. Kekurangan itu di antaranya struktur geologi Palangkaraya. Data RPJMD 2013-2018 Kota Palangkaraya menyebutkan, struktur geologi Palangkaraya sebagian besar disusun dari batuan kuarsa dan endapan kuarter. Endapan kuarter akan membentuk lahan gambut.
Struktur geologi Palangkaraya sebagian besar disusun dari batuan kuarsa dan endapan kuarter.
Lahan gambut yang mayoritas berada di Kecamatan Sebangau ini kurang cocok dikembangkan sebagai lahan perkotaan. Jika akan menjadi ibu kota negara Indonesia, akan ada hambatan pada membangun kawasan bergambut. Dibutuhkan teknologi khusus untuk bisa mengelolanya dengan konsekuensi biaya yang mahal.
Apalagi lahan gambut ini rawan bencana kebakaran sebagaimana sering terjadi dalam kasus kebakaran hutan pada tahun-tahun yang lalu. Hal ini akan menjadi catatan khusus dalam mengatur ulang rencana tata ruang yang ada.
Bencana banjir juga bakal mengintai Palangkaraya. Kota Palangkaraya dialiri Sungai Rungan dan Kahayan yang sangat besar. Meski hanya dua sungai dan tidak sebanyak Jakarta, sungai di Palangkaraya mempunyai karakteristik badan sungai yang besar dan lebar sehingga luasan banjirnya berpotensi lebih besar dibandingkan dengan Jakarta. Terlebih bagian hulu sungai-sungai tersebut sudah rusak karena penebangan hutan.
Tidak hanya urusan fisik alam, akses transportasi sebuah pusat pemerintahan juga harus dipertimbangkan. Dari transportasi udara, darat, sampai air. Akses penerbangan transportasi udara ke Palangkaraya terbatas. Dalam sehari hanya lima kali penerbangan dari Jakarta yang dijangkau oleh penerbangan domestik. Kapasitas bandara Palangkaraya pun harus diperbaiki supaya bisa didarati pesawat-pesawat berbadan lebar.
Terakhir yang harus diperhitungkan adalah soal kesiapan sumber daya manusia untuk bisa mengelola calon ibu kota Indonesia ini. Angka partisipasi sekolah Palangkaraya harus ditingkatkan. Selama ini angkanya (93,74) masih di bawah dibandingkan dengan ibu kota provinsi lain di Kalimantan.
Indikator pendidikan ini berkorelasi dengan partisipasi angkatan kerja. Jika penduduk tidak punya pendidikan tinggi, bagaimana bisa menembus pasar tenaga kerja profesional.
Apalagi, Palangkaraya sebagai ibu kota negara akan membutuhkan tenaga kerja berkualitas tinggi. Tantangannya adalah dibutuhkan beberapa penguatan kualitas pendidikan dan keterampilan tenaga kerja.
Alternatif Jonggol
Jonggol menjadi skenario lain tujuan pemindahan ibu kota negara selain Palangkaraya. Salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor ini berlokasi sekitar 40 kilometer di selatan Jakarta. Dilihat dari faktor jarak, tidak terlalu jauh dari Ibu Kota, biaya pemindahannya bisa jadi lebih kecil dan tidak berisiko.
Jarak dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta pun tidak terlalu jauh meski risiko kemacetan di jalur Cengkareng-Jonggol masih menjadi ancaman. Kelebihan lainnya adalah lahan kosong masih bisa ditemukan di kecamatan yang pada zaman Orde Baru pernah diusulkan menjadi ibu kota RI ini.
Lahan kosong seluas 30 hektar akan memudahkan melakukan perencanaan tata ruang dibandingkan lahan yang sudah berisi berbagai bangunan. Tidak akan ada benturan pembebasan lahan dan akan mengurangi biaya pembebasan lahan.
Selain itu, Kecamatan Jonggol ini berada pada ketinggian 110 meter di atas permukaan laut sehingga bebas dari banjir. Meski demikian, harus waspada dengan berbagai bencana lain yang muncul seperti tanah longsor. Kecamatan Jonggol dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025 telah ditetapkan sebagai kawasan gerakan tanah tinggi.
Namun, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan secara matang sebelum menjadikan Jonggol menjadi ibu kota negara. Jonggol sekarang statusnya sebagai kecamatan. Infrastruktur yang dimiliki tentunya hanya skala kecamatan sehingga membutuhkan banyak pembangunan untuk meningkatkannya menjadi skala ibu kota negara.
Untuk meningkatkannya dibutuhkan biaya investasi yang tidak kecil. Hal ini juga harus menjadi pertimbangan utama. Selain itu, sejumlah infrastruktur, seperti jalan dan jembatan, juga rawan rusak. Bahkan April 2017, Jembatan Cipamingkis di Kampung Jagagita, Desa Jonggol, Kecamatan Jonggol, putus dan membuat akses transportasi Cariu dan Jonggol terganggu.
Belum lagi lebar jalan yang hanya 6 meter dan hanya bisa menampung dua mobil. Jonggol, menurut Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat, telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Provinsi. Jonggol bersama kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur dinilai berperan penting dalam konservasi lingkungan, yang ujungnya untuk mengatasi masalah banjir Jakarta.
Peran kawasan konservasi tersebut juga diperkuat dengan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 (Perda Nomor 19 Tahun 2008), yang menyebutkan Kecamatan Jonggol menjadi kawasan resapan air. Perannya sebagai kawasan konservasi ini sebaiknya juga menjadi pertimbangan khusus sebelum mengubah semuanya menjadi kawasan budidaya.
Kecamatan Jonggol merupakan kawasan resapan air.
Pemindahan pusat jasa, perdagangan, dan industri
Skenario memindahkan pusat jasa, perdagangan, dan industri juga menjadi pilihan lain. Pusat pemerintahan tetap di Jakarta untuk mempertahankan simbol sejak kemerdekaan. Ketiga pusat pertumbuhan tersebut bisa disebar ke lima pulau besar lainnya, seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Papua.
Persebaran tersebut bisa memanfaatkan Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang sudah terbentuk sebelumnya. KSN itu di antaranya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Perbatasan (KP), Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet), Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas (KPBPB), serta Kawasan Perbatasan Negara (KPN) di Sumatera, Kalimantan, Sulawaesi, Maluku, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Kawasan Strategis Nasional terbentuk berdasarkan UU Penataan Ruang tahun 2007 yang diperjelas dengan Peraturan Pemerintah No 26/2008 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).
Dua aturan tersebut menegaskan KSN merupakan kawasan berlangsungnya kegiatan yang berpengaruh besar terhadap tata ruang di wilayah sekitarnya, kegiatan lain di bidang yang sejenis dan di bidang lainnya, serta terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Jika persebaran pusat pertumbuhan tersebut telah dilakukan, beban Jakarta khususnya pada lingkungan dan transportasi akan berkurang. Namun, untuk mewujudkan KSN pun tak mudah. Laporan Akhir Koordinasi Strategis KSN (Bappenas 2015) menyebutkan ada sejumlah kendala dalam pengembangan KSN bidang ekonomi.
Di antaranya, Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) belum berfungsi sebagai motor penggerak utama sebagai penyeimbang pertumbuhan antara kawasan barat dan timur Indonesia, masih minimnya pembiayaan infrastruktur, serta kelembagaan KSN di tingkat pusat ataupun daerah belum efektif, termasuk belum dilimpahkan sepenuhnya kewenangan perizinan.
Selanjutnya, masalah sumber daya manusia juga masih melingkupi KSN ini. Sumber daya manusia belum sesuai standar. Kondisi ini berimplikasi pada rendahnya upah buruh. Juga dengan keterisolasian infrastruktur dasar wilayah dan pelayanan social dasar. Agaknya, jika skenario ini dijalankan, dibutuhkan perlakukan khusus untuk membenahi Kawasan Strategis Nasional supaya rencana berjalan lancar.
Berbagai skenario pemindahan ibu kota negara, hendaknya perlu dikaji serius dan mendalam dengan mempertimbangkan untung ruginya. Belum tentu memindahkan ibu kota, baik pusat pemerintahan maupun pusat jasa, perdagangan, dan industri akan menyelesaikan masalah. (M Puteri Rosalina/Litbang Kompas)